Author : Siti Napisah 
NIM : D1D010010
Jurusan Kehutanan Universitas Jambi 
1.1.       Latar Belakang
Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa 
tetumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan 
organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah 
ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan bergambut
 di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, 
muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap 
dari bahasa daerah Banjar.
Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber 
energi. Volume gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun 
m³, yang menutupi wilayah sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 
2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi energi kira-kira 8 
miliar terajoule.
Gambut terbentuk tatkala bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya, biasanya di lahan-lahan berawa, karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob di perairan setempat. Tidak mengherankan jika sebagian besar tanah gambut tersusun dari serpih dan kepingan sisa tumbuhan, daun,
 ranting, pepagan, bahkan kayu-kayu besar, yang belum sepenuhnya 
membusuk. Kadang-kadang ditemukan pula, karena ketiadaan oksigen 
bersifat menghambat dekomposisi, sisa-sisa bangkai binatang dan serangga yang turut terawetkan di dalam lapisan-lapisan gambut.
Lazimnya di dunia, disebut sebagai gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah melebihi 30%; akan tetapi hutan-hutan rawa gambut di Indonesia umumnya mempunyai kandungan melebihi 65% dan kedalamannya melebihi dari 50cm. Tanah dengan kandungan bahan organik antara 35–65% juga biasa disebut muck.
Pertambahan lapisan-lapisan gambut dan derajat pembusukan (humifikasi)
 terutama bergantung pada komposisi gambut dan intensitas penggenangan. 
Gambut yang terbentuk pada kondisi yang teramat basah akan kurang 
terdekomposisi, dan dengan demikian akumulasinya tergolong cepat, 
dibandingkan dengan gambut yang terbentuk di lahan-lahan yang lebih 
kering. Sifat-sifat ini memungkinkan para klimatolog
 menggunakan gambut sebagai indikator perubahan iklim pada masa lampau. 
Demikian pula, melalui analisis terhadap komposisi gambut, terutama tipe
 dan jumlah penyusun bahan organiknya, para ahli arkeologi dapat merekonstruksi gambaran ekologi pada masa purba.
Pada kondisi yang tepat, gambut juga merupakan tahap awal pembentukan batubara. Gambut bog yang terkini, terbentuk di wilayah lintang tinggi pada akhir Zaman Es terakhir, sekitar 9.000 tahun yang silam. Gambut ini masih terus bertambah ketebalannya dengan laju sekitar beberapa milimeter setahun. Namun gambut dunia diyakini mulai terbentuk tak kurang dari 360 juta tahun silam; dan kini menyimpan sekitar 550 Gt karbon
Sifat tanah gambut berbeda dengan tanah mineral lainya dan untuk 
menanam atau membuka lahan seperti ini memerlukan tindakan pengelolaan 
khusus. Sifat tanah gambut antara lain:
- Kandungan bahan organik yang tinggi karena tanah berasal dari sisa tanaman mati dalam keadaan penggenangan permanen
- Berat isipada (bulk density) sangat rendah sehingga dalam keadaan kering konsistensinya sangat lepas
- Kadar hara makro tidak seimbang
- Kadar hara mikro sangat rendah
- Daya menahan air sangat besar dan jika mengalami kekeringan, tanah mengalami pengerutan (irreversible shrinkage)
- Jika dilakukan pembuangan air (drainase) permukaan tanah akan mengalami penurunan (soil subsidence)
1.2.       Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari pelaksanaan praktikum ini adalah sebagai berikut :
- Untuk mengetahui klasifiksi tanah gambut dengan menggunakan metode persan tangan
- Untuk mengidentifikasi kelas kematangan gambut pada kedua areal hutan gambut yang dikunjungi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara 
anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada 
laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula 
terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan 
oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah 
tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut 
ombrogen yang berbentuk kubah (dome) . Gambut ombrogen di Indonesia 
terbentuk dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan 
tahun, sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu 
yang tinggi (Radjagukguk, 1990).
Di daerah tropis, penggunaan lahan gambut dimulai pada tahun 1900-an.
 Penebangan hutan, pembakaran dan pengatusan lahan dilakukan untuk 
tujuan pertanian dan pemukiman. Untuk tujuan perdagangan, 150.000 km2 
per tahun dari lahan gambut dibuka dan diambil hasil kayunya, sedangkan 
di beberapa negara gambut digunakan sebagai energi sumber panas (Anonim,
 2002). Hal ini tentu saja akan memberikan dampak yang sangat kuat bagi 
penurunan stabilitas gambut.
Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia terutama
 di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia lahan gambut tersebar di 
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Tidak seluruh lahan ini 
bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan masih mungkin untuk dimanfaatkan 
seluas 5,6 juta hektar (Subagyo et al, 1996).
Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang 
menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan 
ini sepanjang tahun/selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh
 air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut terdapat di 
cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar
 di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas 
adalah lahan gambut yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah 
sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati depresi 
luas yang menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, 
dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian 
air laut.
Penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di pantai timur pulau
 Sumatera, pantai barat dan selatan pulau Kalimantan dan pantai selatan 
dan utara pulau Irian Jaya. Penyebaran dan data luas gambut di Indonesia
 yang lebih pasti dan akurat belum dapat dipastikan. Terkecuali Sumatera
 yang gambutnya secara relatif telah banyak diteliti selama 
berlangsungnya Proyek Pembukaan Pasang Surut 1969-1984 (Subagyo, et al, 
1996).
Luas lahan rawa yang terdiri tanah gambut dan tanah mineral 
(non-gambut) di Indonesia diperkirakan seluas 39,4-39,5 juta hektar, 
yakni kurang lebih seperlima (19,8 %) luas daratan Indonesia. Dari 
luasan tersebut tanah gambut terdapat sekitar 13,5-18,4 juta hektar atau
 rata-rata 16,1 juta hektar.
Sementara itu Nationwide Survey of Coastal and Near Coastal Swampland
 yang dilaksanakan oleh Euroconsult (1984) menyajikan data sebagai 
berikut : (Diemont, 1991, Subagyo et al, 1996)
- Lahan rawa pasang surut 24,6 juta ha
- Tanah gambut (peat) 20,0 juta ha
- Lahan rawa pasang surut air payau/salin 3,5-4 juta ha
- Lahan rawa mangrove dan gambut dalam (lebih dari 2 meter) tidak sesuai untuk pertanian 16,0 juta ha
- Tanah mineral dan gambut dangkal (kurang dari 2 meter) telah direklamasi menjadi lahan pertanian 3,3 juta ha
- Gambut dangkal masih tertutup hutan, secara potensial sesuai untuk reklamasi guna lahan pertanian 5,6 juta ha
Jika data tersebut masih berlaku, karena sampai tahun 2000 tidak 
terdapat proyek reklamasi lahan rawa berskala besar, maka lahan gambut 
dangkal yang potensial untuk usaha pertanian diperkirakan masih terdapat
 5,6 juta hektar.
Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok 
yakni eutrofik (kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral atau 
alkalin), oligotrofik (kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi 
masam) dan mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH sekitar 5, 
kandungan basa sedang). Ketebalan atau kedalaman gambut juga menentukan 
tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. 
Widjaja-Adhi,   et al, (1992) dan Subagyo, et al, (1996) membagi gambut 
dalam 4 kelas, yaitu dangkal (50-100 cm), agak dalam (100-200 cm), dalam
 (200-300 cm) dan sangat dalam (lebih dari 300 cm).
Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut di Indonesia 
dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (1) gambut ombrogenous, dimana 
kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk
 dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa 
hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli 
(inherent) dari tumbuhnya itu sendiri (2) gambut topogenous, dimana 
kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini 
diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh 
elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut. Daerah gambut 
topogenous lebih bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan dengan 
gambut ombrogenous, karena gambut topogenous mengandung relatif lebih 
banyak unsur hara (Rismunandar, 2001).
Sifat-sifat Tanah Gambut
Diantara sifat inheren yang penting dari tanah gambut di daerah 
tropis adalah : bahan penyusun berasal dari kayu-kayuan, dalam keadaan 
tergenang, sifat menyusut dan subsidence ( penurunan permukaan gambut) 
karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan status 
kesuburan tanah yang rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat 
dibatasi oleh beberapa hal di atas (Andriesse, 1988).
A. Sifat Fisik
Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua 
(gelap) tergantung tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan
 kapasitas memegang air 15-30 kali dari berat kering, rendahnya bulk 
density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-95% menyebabkan
 terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas 
yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000)
Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, 
karet dan kelapa cenderung pertumbuhannya miring bahkan  ambruk sebagai 
akibat akar tidak mempunyai tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986).
Sifat lain yang merugikan adalah apabila gambut mengalami pengeringan
 yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Terjadi gejala 
kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti 
arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo 
et al, 1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu 
pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar.
B. Sifat-sifat Kimia
Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air 
sungai mempengaruhi komposisi kimia gambut. Pada tanah gambut yang 
sering mendapat luapan, semakin banyak kandungan mineral tanah sehingga 
relatif lebih subur.
Tanah gambut tropis mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan 
kandungan bahan organik lebih dari 90%. Secara kimiawi gambut bereaksi 
masam (pH di bawah 4) Andriesse (1988). Gambut dangkal pH lebih tinggi 
(4,0-5,1), gambut dalam (3,1-3,9). Kandungan N total tinggi tetapi tidak
 tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kandungan unsur 
mikro khususnya Cu, B dan Zn sangat rendah ( Subagyo et al, 1996).
Di Malaysia, pH gambut berkisar antara 3,2 – 4,9 sedangkan di pantai 
timur Sumatera berkisar 3,42 – 4,3. Gambut yang berkembang disepanjang 
pantai timur Sumatera mempunyai sifat-sifat : gambut dalam (lebih dari 4
 m) dengan status hara kahat N, P, K, Mg, Ca, Zn dan B berada dalam 
keadaan cukup, sedangkan faktor pembatas utama pada lahan gambut adalah 
tidak tersedianya unsur Cu bagi tanaman (Sudradjat dan Qusairi, 1992).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1.       Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 16 Desember 
2012. Praktikum ini dilakukan pada dua lokasi berbeda, yaitu pada areal 
Hutan Tanaman Industri distrik VII PT. Wira Karya Sakti dan pada Hutan 
Lindung Gambut Sungai Buluh Tanjung Jabung Timur.
3.2.       Alat dan Bahan
- Bor tanah
- Kamera
- Alat tulis
3.3.       Prosedur Kerja
- Mengamati tanah gambut yang ada di kedua areal.
- Mengidentifikasi sifat morfologi tanah gambut
- Menganalisis klasifiasi kematangan gambut
- Mendokumentasi tanah gambut di kedua area
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis kematangan gambut di areal distrik VII PT.
 Wira Karya Sakti dengan menggunakan metode perasan tangan, dapat 
diketahui bahwa pada permukaan tanah merupakan gambut dengan tingkat 
fibrik dan pada kedalaman 750 cm baru didapatkan gambut dengan tingkat 
saprik. Di bawah ini adalah gambar yang diambil saat dilakukan metode 
perasan tangan.
Berdasarkan dari tingat kematangan gambut yang ada di areal distrik 
VII PT. Wira Karya Sakti tersebut, maka dapat diidentifikasi bahwa 
gambut fibrik terdiri dari bahan organik yang belum benar-benar melapuk,
 bahan asalnya masih bisa dikenali, warnanya coklat dan saat diremas 
dengan tangan, serat yang tersisa lebih dari 75%.
Sedangkan gambut hemik yang dijumpai memiliki warna yang lebih tua 
dari gambut fibrik, bahan asalnya sudah tidak dapat dikenali dan saat 
diremas dengan tangan, serat yang tertinggal adalah sekitar 50%.
Pada kedalaman 750 cm, ditemukan gambut saprik atau gambut yang sudah
 matang. Gambut ini sudah melapuk dan terlihat seperti tanah karena 
bahan asalnya sama sekali tidak terlihat. Warnanya coklat hitam dan saat
 diremas dengan tangan, serat yang tertinggal di telapak tangan hanya 
sekitar 10-20% saja.
Warna air yang terdapat pada areal ini adalah coklat kehitaman. 
Karena areal ini merupakan areal HTI, maka tumbuhan yang ada di sana 
adalah tanaman HTI yang kebetulan sedang dipanen saat kami melakukan 
praktikum di kawasan ini. Tumbuhan lain yang hidup di sana adalah 
sejenis paku-pakuan.
Pada kawasan Hutan Lindung Gambut Sei. Buluh Tanjung Jabung Timur, 
keadaan tanahnya tidak jauh berbeda dari yang ada di distrik VII. 
Setelah melakukan analisis klasifikasi gambut dengan metode perasan 
tangan, dapat dikatakan bahwa gambut yang ada di permukaan Hutan Lindung
 ini berada pada tingkat hemik dan pada kedalaman selanjutnya tingkat 
kematangannya adalah saprik.
Sama seperti pada distrik VII, ciri-ciri yang ditunjukkan tanah 
gambut ini tidak jauh berbeda. Gambut hemik yang dijumpai memiliki warna
 yang coklat tua, bahan asalnya sudah tidak dapat dikenali dan saat 
diremas dengan tangan, serat yang tertinggal adalah sekitar 50%.
Dan selanjutnya, ditemukan gambut saprik atau gambut yang sudah 
matang. Gambut ini sudah melapuk dan terlihat seperti tanah karena bahan
 asalnya sama sekali tidak terlihat. Warnanya coklat hitam dan saat 
diremas dengan tangan, serat yang tertinggal di telapak tangan hanya 
sekitar 10-20% saja.
Warna air yang ada di Hutan Lindung Gambut ini juga sama dengan yang ada di distrik VII, yaitu berwarna coklat tua.
Ada banyak vegetasi yang ditemukan di dalam Hutan Lindung Gambut Sei.
 Buluh Tanjung Jabung Timur ini, antara lain adalah jelutung, rotan, 
medang-medangan dan juga ramin. Lantai hutan ini juga ditutup oleh 
banyak serasah.
BAB V
PENUTUP
5.1.      Kesimpulan
Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara 
anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada 
laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula 
terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan 
oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah 
tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut 
ombrogen yang berbentuk kubah (dome).
Ada tiga klasifikasi gambut berdasarkan tingkat kematangannya, yaitu 
Gambut fibrik terdiri dari bahan organik yang belum benar-benar melapuk,
 bahan asalnya masih bisa dikenali, warnanya coklat dan saat diremas 
dengan tangan, serat yang tersisa lebih dari 75%.
Gambut hemik memiliki warna yang lebih tua dari gambut fibrik, bahan 
asalnya sudah tidak dapat dikenali dan saat diremas dengan tangan, serat
 yang tertinggal adalah sekitar 50%.
Gambut saprik atau gambut yang sudah matang. Gambut ini sudah melapuk
 dan terlihat seperti tanah karena bahan asalnya sama sekali tidak 
terlihat. Warnanya coklat hitam dan saat diremas dengan tangan, serat 
yang tertinggal di telapak tangan hanya sekitar 10-20% saja.

 
 
0 komentar:
Posting Komentar