Tujuh hutan mangrove Indonesia menjadi percontohan di ASEAN, meski hampir setengah dari total luas kawasan ini dalam kondisi rusak. Tidak usah sulit mencari contohnya, karena pantai utara Jakarta sudah habis diubah menjadi lokasi perumahan elit.

"Lebih dari separuh hutan mangrove kita rusak, sisanya baik dan sedang. Meski demikian, 70 persen kerusakan itu di luar kawasan hutan dan hanya 28 persen terjadi di dalam kawasan hutan," kata Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Ditjen BPDAS dan PS Kementerian Kehutanan, Billy Indra, di Jakarta, Selasa.

Berdasarkan hasil survei kementerian itu pada 2006, Indonesia memiliki luasan hutan mangrove terbesar di Asia Tenggara, yaitu sebesar 7,7 juta hektare. Namun ketika kembali disurvei tahun lalu, hutan mangrove di Indonesia dalam keadaan baik hanya 3,6 juta hektar, sisanya dalam keadaan rusak dan sedang.

Kerusakan hutan mangrove ini, katanya, diakibatkan konversi hutan mangrove menjadi perkebunan, pertambakan, dan pembangunan ekonomis (rumah, sawah) dan penebangan serta bencana alam.

Padahal, menurut dia, nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari pelestarian mangrove per hektar cukup tinggi. Jika semuanya dirupiahkan, nilainya mencapai angka Rp1,6 miliar per ha per tahun.

Untuk memperbaiki mangrove yang rusak, kata Billy, tiap tahun dilakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 10.000 hektare. Selain itu, dalam APBN juga dianggarkan untuk membangun kebun bibit rakyat (KBR).

Di tahun 2011, dianggarkan membuat 10.000 unit KBR yang dapat menghasilkan 500 juta batang tanaman mangrove. "Pada 2010 hanya 8.000 unit KBR, sedangkan di tahun depan akan dibangun 12.000 unit," katanya.

Menurut Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I Denpasar, Sasmitohadi, hutan mangrove tak sekedar memiliki fungsi ekologis. Saat mangrove rusak, menurut dia, bisa dipastikan akan terjadi penurunan ekonomi secara drastis.

"Jika mangrove hilang, pendapatan masyarakat menurun. Jika mangrove kembali digalakkan tangkapan nelayan menjadi tinggi," katanya.

Sasmitohadi mencontohkan, pendapatan kelompok masyarakat Bedul yang berada di hutan mangrove Alas Purwo dari sektor ekowisata berkisar Rp70 juta per bulan. Pada musim-musim tertentu, penghasilan kelompok masyarakat ini bahkan dapat mencapai Rp100 juta per bulan.

Aktivitas ekowisata di kawasan mangrove Alas Purwo yang dikelola masyarakat, kata Sasmitohadi, adalah wisata di hutan mangrove, atraksi berperahu, pemancingan di hutan mangrove, dan pendidikan lingkungan.

Sementara, Kepala Sub Direktorat Rehabilitasi Hutan Mengrove, Pantai, Rawa dan Gambut, Eko Warsito, mengatakan pihaknya optimis hutan mangrove Indonesia akan mengalami perbaikan.

Dia memperkirakan, dalam survei yang dilakukan lima tahun sekali ini akan ada tambahan sebesar 200.000 hektare hutan mangrove dalam kondisi baik.

Warsito menjelaskan yang masuk dalam kategori tanaman mangrove adalah tanaman yang dapat tumbuh dalam air yang bertekstur tanah lumpur.

Sementara, lanjut Warsito, kriteria hutan mangrove yang baik adalah hutan tersebut ditumbuhi lebih dari 1.000 batang mangrove per hektar. "Kalau hutan mangrove rusak, berarti kawasan itu hanya ditumbuhi kurang dari 400 batang mangrove per hektare."


Tujuh

Sementara dalam acara penandatanganan kerja sama antara Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDAS dan PS), dan Japan International Cooperation Agency (JICA), tujuh kawasan hutan mangrove akan dijadikan percontohan di lingkup ASEAN.

Ketujuh kawasan hutan mangrove yang akan menerapkan mekanisme share learning itu berlokasi di Surabaya, Lampung, Bali Barat, Alas Purwo (Banyuwangi), Balik Papan, Tarakan, dan Jepara.

"Ketujuh area model itu menjadi lokasi pembelajaran mangrove komunitas ASEAN dan internasional," kata Indra. Selain lokasi pembelajaran, ketujuh kawasan tersebut juga menjadi tempat pengembangan kemampuan ekonomi masyarakat lokal dari hutan mangrove.

Berdasarkan survey yang dilakukan JICA, masing-masing area memunyai keunggulan komparatif yang berbeda-beda.

Chief Advisor JICA, Takahisa Kusano, mencontohkan mangrove Surabaya dan Balikpapan, memiliki keunggulannya dalam sistem ekonomi pesisir terpadu. Mangrovenya berfungsi rehabilitasi lahan bekas tambak, pengurangan erosi, dan ekowisata.

Sementara itu, kawasan mangrove Tarakan dan Alas Purwo yang merupakan bagian dari kawasan konservasi Taman Nasional Alas Purwo yang memiliki keunggulan dari atraksi wisata alam.

Kerja sama pengembangan mangrove antara Indonesia dan Jepang melalui JICA, kata Indra, sudah terjalin sejak 1991. Kerja sama itu terbagi menjadi empat fase, yaitu fase pertama (1991-1999) melalui rehabilitasi mangrove di Bali dan fase kedua (2001-2006) melalui pembangunan pusat informasi mangrove di Bali.

Sementara fase ketiga (2007-2010) melalui survei dan pemilihan tujuh area percontohan mangrove Indonesia di ASEAN dan fase keempat (2011-2014) melalui penandatanganan kerjasama, dan proyek konservasi mangrove pada tujuh project sites tersebut. (A027)

Source : link