Sokola Rimba, sebuah kisah inspiratif tentang kehidupan anak-anak Rimba
dan sebuah kekuatan dari komitmen untuk melakukan perubahan. Sumber:
Miles Film
Mulai 21 November 2013 pecinta film di Indonesia dapat menyaksikan film Sokola Rimba berdurasi 90 menit di bioskop. Film ini diangkat dari kisah nyata Saur Marlina “Butet” Manurung yang mengajar anak-anak rimba di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Kisah itu diterbitkan Butet dalam buku berjudul Sokola Rimba.
Mulai 21 November 2013 pecinta film di Indonesia dapat menyaksikan film Sokola Rimba berdurasi 90 menit di bioskop. Film ini diangkat dari kisah nyata Saur Marlina “Butet” Manurung yang mengajar anak-anak rimba di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Kisah itu diterbitkan Butet dalam buku berjudul Sokola Rimba.
Ketika duet Riri Riza dan Mira Lesmana mengangkatnya ke layar lebar,
banyak orang berharap mereka mengulang sukses mengangkat kisah anak-anak
Belitong dari novel Laskar Pelangi. Sokola Rimba merupakan film keempat yang mereka adaptasi dari buku, setelah Gie (2005) yang dibuat berdasarkan buku Catatan Seorang Demonstran karya So Hok Gie (1983), serta Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) dari novel karya Andrea Hirata.
Tokoh Butet diperankan Prisia Nasution. Seperti Laskar Pelangi,
Riri kembali melibatkan orang lokal dalam filmnya kali ini. Mereka
adalah Nyungsang Bungo, Beindah, dan Nengkabau, serta dibantu sekitar 80
anak rimba yang berasal dari pedalaman hutan Bukit Dua Belas. Meski
bukan aktor profesional, Riri mengaku tidak mengalami kesulitan dalam
mengarahkan peran mereka.
Sang produser, Mira Lesmana mengatakan film yang memakan waktu 14
hari syuting itu menelan biaya sebesar Rp 4,6 miliar. Selain melibatkan
80 orang kru Orang Rimba, film ini juga melibatkan 35 kru film dari
Jakarta, 15 kru dari Jambi. Syuting film 95 persen di Provinsi Jambi
yakni di Kabupaten Merangin dan Tebo.
Orang Rimba adalah masyarakat adat yang hidup berkelompok dan
berpindah-pindah di pedalaman Jambi. Dengan memegang teguh
adat-istiadat, mereka mencoba bertahan meski tanah tempat mereka berdiam
tak serimbun dulu. Binatang buruan semakin langka. Orang-orang Rimba
hanya bisa menatap ketika satu per satu pohon madu raksasa yang selama
ini mereka keramatkan roboh dihajar gergaji mesin.
Segulung kertas berisi surat perjanjian yang kadung diberi cap jempol oleh kepala adat membuat mereka tak berdaya. Surat yang tak pernah mereka ketahui isinya lantaran mereka buta huruf itu jadi tameng bagi orang terang – sebutan bagi orang kota – untuk mengeksploitasi tanah leluhur mereka.
Segulung kertas berisi surat perjanjian yang kadung diberi cap jempol oleh kepala adat membuat mereka tak berdaya. Surat yang tak pernah mereka ketahui isinya lantaran mereka buta huruf itu jadi tameng bagi orang terang – sebutan bagi orang kota – untuk mengeksploitasi tanah leluhur mereka.
Butet, yang lahir pada 1972, bertekad membuat masyarakat Rimba
menjadi pintar supaya tak gampang dibodohi. Tak sekedar membuat mereka
melek huruf dan bisa berhitung. Dia juga menyelenggarakan pendidikan
yang membuat Orang Rimba bisa “bersuara” dan memberdayakan diri. Tentu
itu tak mudah. Bagi Orang Rimba, pendidikan merupakan hal tabu dan
melanggar adat mereka. Butet tak pernah menyerah.
Tentu tak semua pengalaman Butet yang kaya warna di bukunya setebal
348 halaman itu divisualkan. Ada keterbatasan durasi. Inti film berpijak
pada tokoh Butet dan Nyungsang Bungo, anak Rimba yang tinggal di Hilir
Sungai Makekal. Dia adalah remaja cerdas dan serius ingin belajar. Dari
Nyungsang inilah konflik dibangun.
Film ini diawali saat Butet, yang telah tiga tahun mengajar anak
Rimba di hilir Sungai Makekal Ulu, terserang malaria. Dia pingsan di
tepi sungai di tengah belantara dan ditolong seorang anak Rimba dari
hilir. Inilah pertemuan awal Butet dan Nyungsang.
Nyungsang diam-diam memperhatikan Butet mengajar. Keinginan kuat
untuk bisa membaca dan menulis mendorong Butet memperluas wilayah
kerjanya ke hilir Sungai Makekal, tempat tinggal Nyungsang. Muncul
masalah. Tidak hanya memanaskan hubungan Butet dengan atasannya. Butet
juga mesti berhadapan dengan sikap sinis orang-orang Rimba di hilir yang
menentang kehadirannya.
Butet diceritakan sebagai pekerja di Wanaraya, sebuah lembaga
konservasi yang memberikan pendidikan alternatif bagi anak rimba. Tanpa
disangka, perkelanaan Butet di tengah rimba itu berkembang menjadi tak
sebatas kewajiban semata. Dia malah menjadi ‘abdi’ bagi ratusan anak
rimba.
Dalam sebuah adegan tergambar ketegangan pecah. Menggetarkan wilayah rombong (kelompok) Tumenggung (tetua) Belaman Badai. Nyungsang bergegas menyongsong susudungan (pondok kecil) di jantung hutan Bukit Dua Belas, Jambi. Dengan wajah gusar, ia meluapkan kemarahan. ”Ke mano Bu Guru Butet pegi? Akeh ndok bolajor pado Bu Guru,” ujar Nyungsang meradang.
Anggota Orang Rimba yang masih remaja ini tidak bisa merima sikap
Tumenggung Badai yang mengusir secara halus sang ibu guru. Dalam adat
Orang Rimba, belajar atau sokola adalah pantangan. Mereka yakin, sokola akan mendatangkan bala, kutukan, bahkan kematian.
Bungo lari dari rombong-nya. Diam-diam ia menyusuri hutan demi ikut sokola.
Di tangannya sudah ada pensil dan buku. Tapi masih saja ia ragu
mengutarakan niat ingin belajar. Tekadnya itu dipantang oleh hukum adat.
”Bungo, ayo bolajor,” suara lirih Guru Butet mengajaknya
bergabung belajar bersama anak rimba lainnya. Butet sadar dilema dalam
diri Bungo yang terlanjur mencintai sokola, tapi juga terlahir untuk mencintai adat, kaum, dan tanah pusakanya.
Potret kehidupan Orang Rimba tersaji apik dalam film ini. Mulai dari
kondisi hutan Orang Rimba yang dikepung kelapa sawit,
gelondongan-gelondongan kayu bergelimpangan di sana-sini, hasil buruan
yang makin berkurang seiring dengan masifnya pembabatan hutan, sampai
pada transaksi ekonomi di pasar yang kerap menipu orang-orang rimba.
Riri mengungkapkan, agar bisa mendapat gambaran utuh tentang
kehidupan Orang Rimba, ia dan timnya riset turun ke lapangan sebelum
memulai rangkaian proses pengambilan gambar. Mereka tinggal berhari-hari
di dalam hutan, merasakan hidup bersama Orang Rimba. Mira Lesmana,
produser Sokola Rimba, mengaku sudah lama mengenal dan kagum pada
sosok Butet Manurung. ”Ada perempuan yang mau tinggalkan kehidupannya
di kota demi mengajar Suku Anak Dalam,” katanya.
Berbeda dengan novel Laskar Pelangi, buku Sokola Rimba bukanlah
fiksi, yang semua adegan dan deskripsinya sudah tersaji. Dramatisasi
juga tidak ada. Artinya Riri mesti membuat sendiri pengadeganannya agar
muncul cerita. Di banyak tempat, Prisia Nasution yang memerankan Butet
terdengar “berceramah”, menarasikan apa yang seharusnya diadegankan.
Pada tayangan premier 21 November 2013 lalu, Gubernur Jambi Hasan
Basri Agus (HBA) memborong 700 tiket empat teater bioskop 21 WTC, Jambi.
Hasan Basri, Riri Riza, Butet Manurung, Prisia Nasution bersama kru
film Sokola serta 568 siswa SD dan SMP yang ada di Kota Jambi cukup
antusias menonton bareng.
Kepala Biro Humas Pemprov Jambi, Rahmad Hidayat berpendapat menonton Sokola Rimba seperti menonton film dokumenter National Geographic.
Namun kata Rahmad, bagaimanapun juga film sarat pesan dan dapat memberi
gambaran secara utuh kehidupan sehari-hari Orang Rimba. “Pak Gubernur
juga bilang bahwa belajar itu bisa di mana saja dan kapan saja, termasuk
di hutan. Ayo generasi muda rajinlah belajar. Film ini jelas memotivasi
kita,” kata Rahmad kepada Mongabay Indonesia.
Sebagai sebuah film cerita, Sokola Rimba memang memasukkan
tokoh rekaan dan dramatisasi. Tapi itu tak membuat Riri menghilangkan
narasi. Dia mungkin punya alasan lain. Dengan membuatnya seperti film
dokumenter, kita justru bisa melihat kehidupan anak Rimba yang natural.
Misalnya cara mereka bicara, berpakaian, berburu, dan berhubungan dengan
orang lain, hingga ritual adat. Apa yang mereka ungkapkan dalam film
terasa betul murni dari hati.
Butet sampai mendidik Orang Rimba itu karena bekerja untuk Komunitas
Konservasi Indonesia (KKI) Warsi sejak 1999 hingga 2003. Setelah Butet resign,
dia mendirikan SOKOLA RIMBA – sebuah lembaga yang concern di bidang
pendidikan dan belakangan menyebar hingga ke Makasar, Aceh, Papua, dan
Kupang.
Sayang pihak KKI Warsi belum satu orang pun yang menonton film Sokola Rimba
sehingga belum bisa berkomentar atas film itu. “Saya belum tahu jika
film itu sudah beredar. Bagaimanapun karya seni harus diapreasiasi.
Karya seni ya karya seni,” kata Rakhmat Hidayat, Direktur KKI WARSI
kepada Mongabay Indonesia.
Dewi, seorang guru yang ikut nonton bareng juga berkata bahwa film
tersebut sangat bagus dan mendidik serta banyak pelajaran dan hikmah
yang bisa dipetik. “Filmnya luar bisa bagus. Yang paling berkesan yaitu
seorang guru yang mengajar anak Rimba yang awalnya sama sekali tidak
mengenal baca tulis. Akhirnya mereka bisa membaca dan menulis. Itu pesan
penting bagi kalangan guru agar tanpa pamrih mendidik anak muridnya,”
kata guru SMP ini.
Beindah dan Nengkabau mampu mencuri perhatian penonton lewat tingkah polahnya yang mengundang tawa. Terlebih umpatan mereka,”rajo penyakit” dan “melawon”. Seusai menonton, para siswa masih saja tertawa teringat dengan dua kata tersebut.
Beindah dan Nengkabau mampu mencuri perhatian penonton lewat tingkah polahnya yang mengundang tawa. Terlebih umpatan mereka,”rajo penyakit” dan “melawon”. Seusai menonton, para siswa masih saja tertawa teringat dengan dua kata tersebut.
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar