Terumbu karang Desa Les, Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Foto: Wisuda
Kondisi terumbu karang di Indonesia saat ini semakin memprihatinkan. Perusakan terus terjadi di mana-mana. Bahkan di kawasan Indonesia tengah dan timur, yang notabene memiliki sebagian besar sebaran terumbu karang di indonesia, yaitu 60.000 kilometer persegi.
Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan, hanya 30
persen terumbu karang dalam kondisi baik, 37 persen dalam kondisi
sedang, dan 33 persen rusak parah. Sebagian besar terumbu karang dunia,
sekitar 55 persen, terdapat di Indonesia, Filipina, dan Kepulauan
Pasifik; 30 persen di Lautan Hindia dan Laut Merah; 14 persen di
Karibia; dan 1 persen di Atlantik Utara.
Selain pemanasan global dan penimbunan laut dengan dalih reklamasi,
faktor pendorong kerusakan terumbu karang di Indonesia yang terbesar,
justru datang dari masyarakat pesisir sendiri. Pencarian hasil laut
dengan menggunakan bom dan potasium, masih sering dilakukan.
Padahal fungsi terumbu karang adalah sebagai tempat tinggal, serta
tempat berkembang biak dan mencari makan ribuan jenis ikan, hewan, dan
tumbuhan laut. Terumbu karang juga merupakan pelindung ekosistem pantai
karena akan menahan dan memecah energi gelombang sehingga mencegah
terjadinya abrasi dan kerusakan di sekitarnya.
Diperkirakan setiap terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 25
ton ikan per tahun. Sekitar 300 juta orang di dunia menggantungkan
nafkahnya pada terumbu karang.
Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali
adalah salah satu desa yang sadar akan bahaya kehilangan terumbu
karang. Sebelum tahun 1982 hanya terdapat nelayan ikan untuk tujuan
konsumsi di Desa Les. Nelayan dari pulau Jawa yang mencari ikan hias di
desa inilah yang mendorong nelayan Les, mempelajari apa yang sedang
dilakukan oleh nelayan Jawa tersebut.
Kemudian, nelayan Les pun mulai beralih dari profesi sebagai nelayan
ikan untuk konsumsi, menjadi nelayan ikan hias. Pada awalnya nelayan
ikan hias Les hanya berjumlah empat sampai tujuh orang. Melihat
perkembangan yang dihasilkan, jumlah nelayan ikan hias terus berkembang
dalam jumlah yang lumayan besar.
Cara tangkap yang dilakukan pada waktu itu adalah dengan
menggunakan jaring yang tradisional. Sejalan dengan meningkatnya
permintaan pasar serta tergiur kemudahan yang ditawarkan penggunaan
sianida, nelayan kemudian beralih menggunakan sianida. Padahal Pemakaian
dalam jangka waktu yang lama, akan mengakibatkan kerusakan pada terumbu
karang.
Karena kebutuhan keluarga yang mendesak, maka kegiatan menggunakan
sianida ini, berlangsung cukup lama. Dan secara perlahan terumbu karang
desa les semakin rusak. Ikan-ikan hias dan konsumsi pun berkurang secara
drastis. Para nelayan Desa Les, harus mencari ikan hias jauh dari
kampung halaman mereka. Waktu itu, pencarian ikan hias bisa mencapai
dataran sulawesi dan Nusa Tenggara Timur.
Beberapa orang dan LSM pencinta lingkungan pun mulai mengadakan
perdekatan ke beberapa tokoh nelayan ikan hias Desa Les. Dan beberapa
diantaranya mulai terketuk dan sadar akan bahaya dari sianida.
Pada tahun 2001, sianida pun mulai ditinggalkan, dan kembali pada
jaring tradisional. Bahkan jaring pun digunakan yang lembut, agar tidak
merusak karang-karang Desa Les. Rehabilitasi karang pun dilakukan.
Kelompok nelayan ikan hias juga dibentuk, untuk mewadahi kegiatan para
nelayan. Dan dilakukan standarisasi untuk pencarian ikan hias yang ramah
lingkungan. Salah satu nelayan pelopor ikan hias ramah lingkungan ini
adalah Made Merta atau biasa dipanggil Bli Eka.
Saat ini, Desa Les, namanya sudah mendunia. Beberapa stasiun
televisi asing bahkan pernah berdatangan untuk meliput kisah desa ini.
Sukses di sektor ikan hias, kini Desa Les juga menjelma menjadi desa
wisata selam yang cukup menarik. Berkat program transplantasi karang
yang dilakukan kelompok nelayan Les, terumbu karang yang dulunya rusak
karena sianida, sekarang sudah menjelma menjadi barisan hard dan soft coral yang indah. Ikan-ikan warna-warni yang dulunya hilang, kini kembali berdatangan menghiasi dunia bawah laut desa Les.
Pencariannya dilakukan dengan sangat sederhana, yaitu dengan
meletakkan jaring lembut yang telah diberi pemberat ke sekitar karang,
lalu para nelayan ikan hias, akan menggiring ikan dengan jala kecil dan
menangkapnya.
Memang, menangkap ikan dengan menggunakan jala tradisonal, membutuh
ketelatenan dan keuletan tersendiri. Tetapi hasil yang didapat sangat
seimbang. Karena tidak menggunakan sianida, maka kualitas ikan hiaspun
terjaga. Dan terumbu karang tetap lestari.
Pesanan ikan hias pun, tidak datang dari propinsi Bali saja, namun
juga dari Jakarta, bahkan mancanegara mulai berdatangans. Komoditas ikan
hias air laut memang booming beberapa tahun belakangan ini.
Keunikan ikan laut yang lebih beragam, dibandingkan dengan ikan air
tawar, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pehobi ikan hias.
Tidak hanya pemandangan bawah lautnya yang menawan, Desa Les juga
mempunyai pantai yang cukup indah. Hampir setiap hari libur, turis lokal
sudah banyak mendatangi desa ini untuk bermain-main di pantainya.
Selain terkenal sebagai desa ikan hias, les juga terkenal sebagai
desa pembuat garam. Garam dibuat dari air Desa Les yang diuapkan.
Alat-alat dan cara pembuatan garamnya pun sangat unik. Air laut diambil
dan dituangkan ke dalam tempat anyaman bambu yang telah diisi pasir dan
ditunggu sampai air meresap ke dalam pasir, dan mengalir ke dalam tempat
yang telah disediakan. Layaknya orang membuat anggur tradisional,
pembuatan garam di desa les juga dilakukan dengan menginjak-injak pasir
yang berisi air laut tadi berulang kali.
Saat musim panas, hasil garam Desa Les cukup lumayan. Setiap
karungnya bisa berharga 200 sampai 250 ribu rupiah. Perolehan ini cukup
membantu sebagai usaha sampingan, selain usaha utama mereka sebagai
nelayan.
Langit yang biru, laut yang biru, dan pemandangan alam atas serta
bawah laut yang luar biasa, membuat Desa Les tidak hanya hanya menjadi
salah satu pelopor nelayan ramah lingkungan, tetapi juga tempat yang
pantas untuk dihormati dan dikenang akan kearifan masyarakatnya dalam
menghargai alamnya.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar