Tingkat degradasi Hutan saat ini terus saja meningkat dan semakin mengkhawatirkan. Keprihatinan dan perhatian dunia atas degradasi Hutan ternyata sejalan dengan terus meningkatnya kerusakan Hutan tersebut. Sumber-sumber dari pemeringkat Nasional dan dunia mengatakan bahwa luas Kawasan Hutan yang semula 120 juta-an Ha, kini hanya tersisa 90 juta-an Ha saja, dengan laju penyusutan Hutan lebih dari 1 juta Ha/Thn. (Otto Soemarwoto, 2003). Sejak Tahun 1996, laju kerusakan Kawasan Hutan meningkat hingga mencapai rata-rata 2 juta Ha/Thn yang berarti setara dengan 4 (empat) kali luas lapangan Real Madrid VS Chelsea tiap menitnya (FWI/GPC, 2001; ”Potret keadaan Hutan Indonesia”; Forest Watch Indonesia dan Washington DC; Global Forest Watch).
Sementara itu Departemen Kehutanan pada Tahun 2002 menyampaikan data bahwa deforestasi telah mencapai 2,3 juta Ha/Thn dan terus meningkat sebagaimana pernyataan Menteri Kehutanan MS. Kaban yang menyatakan laju degradasi Hutan mencapai 2,87 Ha dengan total kerusakan 59 juta Ha. Pendapat yang lebih ekstrim lagi sebagimana dikeluarkan Greenpeace Tahun 2007 yang mengutip laporan Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Tahun 2007, bahwa laju deforestasi Indonesia mencapai 2 persen/Thn dari total luasan hutan, atau lebih sederhananya 300 kali lapngan sepakbola dirusak tiap jam tiap hari (Metro TV, 2008). Angka tersebutlah yang menjadi alasan Greenpeace mengajukan Indonesia agar menerima rekor dari Guiness of World Records sebagai negeri dengan tingkat penghancuran Hutan tercepat di dunia. Angka ini tentunya sangat terlalu berlebihan dan tentunya menyakiti perasaan tiap Rimbawan Indonesia. Ada tendensi lain yang sangat subjektif di balik data dan pernyataan Greenpeace tersebut. Kenapa Greenpeace tidak punya keberanian untuk mendemo negara-negara penampung kayu illegal atau negara maju perusak Hutan di masa lampau.
Degradasi tersebut tidak hanya berupa kerusakan dari sudut kuantitas (luas lahan, jumlah pohon dan kubikasi) tapi juga dari sudut kualitasnya. Karena deforestasi tidak hanya terjadi pada Kawasan Hutan Produksi tapi lebih besar terjadi pada kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi. Yang dampaknya berpengaruh nyat pada kualitas udara, air, dan kehidupan secara keseluruhan. Pembukaan lahan dengan cara merambah Hutan , menjadikan Hutan telah berubah makna. Hanya pada makna lahan saja sebagai justifikasi dari suatu Kawasan Hutan, sementara makna pohon-pohonan/tegakan yang membentuk suatu ekosistem tertentu yang berbeda dengan ekosistem di luarnya menjadi hilang. Akibat-akibat dari kerusakan Kawasan Hutan tersebut akhirnya menyebabkan penurunan kualitas kehidupan.
Kemampuan bumi menyimpan air berkurang, musim hujan terjadi banjir, musim kemarau terjadi kekeringan. Efek rumah kaca sampai dengan pemanasan global menghantui penduduk dunia, sampai harus melaksanakn konferensi khusus. Kualitas udara di berbagai kota besar dunia terus menurun menyebabkan munculnya berbagai macam penyakit, serta bencana dan kerusakan-kerusakan lainnya. Dengan demikian, degradasi Hutan bukan hanya isue tapi sudah menjadi Bencana Nasional yang menjadi akar dari bencana-bencana lainnya dan lebih hebat dari korupsi. Pertanyaannya sekarang, apakah kita akan membangun peningkatan kualitas Hutan dengan mengembalikan Hutan pada maknanya atau kita akan hanya menghijaukan bumi ini dari warna coklat abu-abu, agar mata astronot kosmonot di luar angkasa menjadi segar kembali.
Esensi Dasar
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan , Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Reboisasi adalah upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong, alang-alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2002 Tentang Dana Reboisasi)
Berdasarkan pengertian di atas, artinya kegiatan Rehabilitasi Hutan diarahkan untuk membangun hutan yang berkualitas dan mengembalikan fungsinya. Namun yang terjadi, sasaran RHL adalah lahan dengan indikator penilaian yaitu volume bibit yang tertanam dan luas lahan yang ditanami. Bukti nyata, laporan-laporan pelaksanan rehabilitasi selama ini selalu menyampaikan indikator luas lahan yang tertanami dan jumlah bibit yang tertanam, belum pernah memberikan indikator bahwa bibit yang tertanam berbanding lurus dengan penyerapan curah hujan ke tanah, peningkatan kualitas udara, lahan bebas erosi dan longsor, dan terbentuknya kembali Hutan sebagai satu kesatuan ekosistem. Harapan atau output dari pelaksanaan RHL dimaksud adalah terwujudnya penutupan lahan kritis dan potensial kritis baik di dalam maupun di luar Kawasan Hutan oleh jenis kayu – kayuan maupun MPTS.
Selanjutnya dalam rangka menuju pengembalian kualitas Hutan dan fungsinya, seakan-akan tanaman tersebut berusaha mandiri untuk bertahan hidup dari segala resiko kematian demi mencapai tujuan RHL yaitu kembalinya lahan kritis tersebut berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan dalam hal pencegahan banjir, erosi, longsor dan sebagainya.
Perjalanan Pembangunan RHL
Pada masa lalu, proyek RHL termasuk dalam Proyek Penghijauan atau Inpres Bantuan Penghijauan yang sekarang berubah nama menjadi Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). Proyek ini pertama kali diluncurkan pada tahun 1969/1970 sampai dengan Tahun 1990-an yang bersumber dari dana APBN. Dari Statistik Kehutanan Indonesia diperoleh angka total realisasi penanaman selama sekitar 35 tahun sekitar 1.789.700 ha atau rata-rata pertahun 51.500 Ha. Realisasi ini hampir semuanya dibawah target atau perkiraan banyak kalangan angka keberhasilan itu jauh di bawah target, bahkan banyak tanaman masuk kategori gagal. Sedangkan keberhasilan dari realisasi penanaman menjadi tegakan Hutan belum pernah ada datanya (Yaman Mulyana, 1997). Hal ini terjadi karena pola keproyekan yang hanya mengagendakan kegiatan sampai dengan Pemeliharaan Tahun ke I dan atau Pemeliharaan Tahun ke II. Merupakan umur yang labil bagi suatu tanaman untuk menuju sukses keberhasilan membentuk ekosistem Hutan.
Hantu Kegagalan
Demikian pula pola RHL yang dilaksanakan melalui proyek kegiatan GERHAN, bisa jadi akan mengalami nasib yang sama dengan seniornya Proyek Penghijauan. Mengapa demikian ? Karena pada prinsipnya pola yang dilaksanakan tidak jauh berbeda. Tanaman Reboisasi hanya mendapat perhatian dan campur tangan Pemerintah sampai dengan Tahun ke II, setelah itu serahkan sepenuhnya pada suksesi alam yang berakibat pada resiko kegagalan yang tinggi. Memang dari beberapa hasil penilaian tanaman GERHAN oleh Lembaga Penilai Independen (LPI) di beberapa daerah menunjukkan hasil yang baik. Namun angka tersebut didapatkan ketika tanaman masih mendapat perhatian dan campur tangan Pemerintah, namun setelah itu ? Ini jika berbicara RHL di dalam Kawasan Hutan (Reboisasi), sedangkan pola RHL di luar Kawasan Hutan (Penghijauan) menunjukkan hasil/trend positif dalam membentuk tegakan Hutan. Hal ini dapat terjadi karena perhatian dan perawatan dari petani selaku pemilik tanaman sangat besar.
Kembali ke Esensi Dasar
Memperhatikan pemahaman-pemahaman tersebut di atas, maka Pembangunan Kehutanan yang sat ioni gencar-gencarnya pada bidang Rehabilitasi hutan dan Lahan, hendaknya bisa kembali ke pengertian dan esensi dasar dari RHL itu sendiri. Kenapa kita mesti berbangga dengan jumlah atau kuantitas atau ajir yang terpasang atau lubang yang tergali. Begitu besarnya anggaran dan dengung dari One Billion Trees, One Man One Tree, Gerakan Serentak penanaman Satu Juta Pohon, Penanaman Seratus Juta Pohon, sementara secara sadar kita tidak begitu yakin bahwa itu akan menjadi bangunan hutan yang utuh. Mengapa begitu banyak kita habiskan uang untuk menanam di luar Kawasan Hutan, sedangkan Kementrian Kehutanan yang mengurus Hutan hanya memberikan sebagian kecil uangnya untuk kembali ke dalam Kawasan Hutan. Pondasi dan bangunan yang akan kita bangunada dalam Hutan sana. Kembali ke esensi dasar, itulah roh Pembangunan Kehutanan. Ibarat membangun sebuah rumah, penanaman itu hanyalah baru membuat pondasi, belum bernilai guna jika tembok dan atapnya belum jadi. Demikian pula Kehutanan, bagaimana kita menjadikan pondasi penanaman itu sehingga menjadi sebuah bangunan Hutan yang bernilai guna. Cukup membuat bangunan 1, maka Hutan akan bisa mengembangkan dirinya sendiri karena Hutan adalah makhluk Hidup.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar