Sudah terlalu lama Indonesia menggantungkan pemasukan negaranya dari sektor-sektor kekayaan alam. Peneliti kehutanan CIFOR, Daju Pradnja Resosudarmo menghitung, sekitar 70 persen dari pendapatan non pajak Indonesia berasal dari sumber-sumber alam. Tren ekspansi aktivitas pertambangan, perluasan wilayah perkebunan kelapa sawit yang kian agresif, dan dukungan institusi keuangan dalam kedua aktivitas tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia sepertinya masih akan datang dari sektor sumber alam.
Padahal, sejak 2007 lalu, Indonesia sudah menunjukkan ketertarikannya untuk terlibat dalam sebuah skema ekonomi yang mewajibkan negara pemilik hutan untuk melindungi hutannya. Indonesia ingin membuktikan komitmen bahwa mereka bisa menjaga hutan-hutannya dari pembabatan sehingga dapat menyerap gas karbondioksida yang semakin banyak dilepaskan ke udara.
Sebagai balasan atas usaha menjaga hutan itu, negara-negara maju akan membayar negara-negara berkembang pemilik hutan (seperti Indonesia) untuk tidak menebang hutan. Skema yang dikenal dengan nama REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/mengurangi emisi akibat penebangan dan kerusakan hutan) ini kini masih belum selesai dibahas soal pendanaannya di Konferensi Perubahan Iklim (COP 17) di Durban, Afrika Selatan.
Tetapi, sebelum Indonesia bisa ikut serta mendapat dana dalam skema keuangan ini, mereka harus terlebih dulu membuktikan kemampuannya menjaga hutan. Sayangnya, seperti dikatakan Daju dalam salah satu sesi acara Forest Day di Durban, Minggu (4/12) lalu, tingkat kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia sampai sekarang masih sangat tinggi.
Selain itu, semakin banyaknya investasi asing di bidang pertambangan dan kelapa sawit membuat beban hutan semakin berat. Perkebunan kelapa sawit tentu butuh lahan luas, yang berarti mengubah hutan menjadi perkebunan. Deposit batubara juga kebanyakan terdapat di dalam hutan.
Kredit rendah serta pajak murah untuk dua aktivitas tersebut juga membuat kalangan bisnis melihat bahwa membabat hutan masih lebih menguntungkan daripada menjaga hutan tetap hidup.
Perlindungan hutan menjadi semakin penting karena, selain ingin terlibat dalam skema REDD, Indonesia juga menyatakan kesanggupannya untuk mengurangi emisi gas karbondioksida sebesar 26% pada 2020. Cara mencapai target itu adalah lewat mengurangi penebangan hutan. Pada 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan moratorium atas pemberian izin pengelolaan hutan-hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun ke depan.
Indonesia kini menghadapi dilema. Di satu sisi, ada komitmen dan kepentingan ekonomi yang membuat hutan menjadi sangat penting untuk dilindungi. Di sisi lain, hutan masih menjadi salah satu sumber utama pemasukan negara. Secara nasional, Indonesia pun masih harus mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen sampai 2014. Bagaimana target pertumbuhan ekonomi itu bisa dicapai jika salah satu 'alat' untuk mencapai tingkat kesejahteraan tersebut (hutan) harus dibatasi pemakaiannya?
Setelah empat dekade mengandalkan sumber alam untuk membangun kekuatan ekonomi, Indonesia kini harus memikirkan sumber pemasukan lain yang bisa diandalkan.
Tantangan ini diakui oleh Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto. Sejak September 2010, Kuntoro juga mendapat tugas tambahan sebagai ketua gugus tugas khusus REDD+. Salah satu tugas utamanya adalah mencari cara terbaik menyeimbangkan antara mencapai pertumbuhan ekonomi lewat pemanfaatan hutan sambil melindungi hutan.
Saat ditanya soal model ekonomi seperti apa yang akan digunakan oleh Indonesia untuk beralih dari sumber kekayaan alam, ia menjawab, timnya saat ini masih merumuskan model-model ekonomi tersebut.
Selain itu, menurut Kuntoro, perlindungan hutan di Indonesia terganjal soal peraturan perundangan. Peraturan kehutanan yang dimiliki Indonesia sekarang banyak memiliki celah, belum lengkap, serta kadang sering bertubrukan dalam membahas kewenangan antarinstitusi. Hukum kehutanan yang ada selama ini juga, kata dia, belum mampu mengakui hak-hak kelompok adat. Produk hukum yang kini ada pun memungkinkan terjadinya praktik korupsi dalam pengelolaan hutan.
Dan, menurut Kuntoro, baru untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki satu peta yang sama untuk mengelola hutan. Sebelumnya, berbagai kementerian, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat menggunakan peta yang berbeda-beda untuk mengelola hutan. Tak jarang terjadi, ada dua atau tiga izin berbeda untuk satu wilayah yang sama.
"Kami juga sekarang masih melakukan analisis hukum atas semua peraturan perundangan yang berhubungan dengan kehutanan yang sudah ada selama empat puluh tahun terakhir. Untuk mulai mengatur hutan, kita tentu butuh mengeluarkan peraturan-peraturan baru. Sudah ada dua kelompok kerja dari presiden yang tugasnya mengeluarkan draf undang-undang baru soal hutan untuk kemudian diajukan ke DPR,"
tambahnya.
Direktur Pelaksana Bank Dunia yang juga mantan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati melihat sektor kehutanan adalah pembuktian besar Indonesia menunjukkan komitmennya di dunia internasional. "Kalau kita menunjukkan bukti perlindungan hutan yang diakui secara internasional, saya rasa itu akan menjadi modal kredibilitas yang sangat baik bagi Indonesia. Apalagi untuk mendapat lebih banyak pendanaan di luar sektor kehutanan. Kunci pelaksanaannya justru di tingkat provinsi dan kabupaten, karena di sanalah letak para pengelola hutan dan sektor pertanian."
Di Durban, Rabu (7/12) kemarin, Sri Mulyani juga menyoroti perlunya Indonesia mulai berinvestasi pada sektor energi terbarukan. "Indonesia punya banyak potensi di sektor energi terbarukan. Kita harus berinvestasi banyak di situ agar bisa memenuhi kebutuhan akan energi yang terus bertambah di Indonesia akibat tuntutan pertumbuhan ekonomi, tapi di saat bersamaan menambah porsi produksi energi terbarukan.
Source : link
Padahal, sejak 2007 lalu, Indonesia sudah menunjukkan ketertarikannya untuk terlibat dalam sebuah skema ekonomi yang mewajibkan negara pemilik hutan untuk melindungi hutannya. Indonesia ingin membuktikan komitmen bahwa mereka bisa menjaga hutan-hutannya dari pembabatan sehingga dapat menyerap gas karbondioksida yang semakin banyak dilepaskan ke udara.
Sebagai balasan atas usaha menjaga hutan itu, negara-negara maju akan membayar negara-negara berkembang pemilik hutan (seperti Indonesia) untuk tidak menebang hutan. Skema yang dikenal dengan nama REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/mengurangi emisi akibat penebangan dan kerusakan hutan) ini kini masih belum selesai dibahas soal pendanaannya di Konferensi Perubahan Iklim (COP 17) di Durban, Afrika Selatan.
Tetapi, sebelum Indonesia bisa ikut serta mendapat dana dalam skema keuangan ini, mereka harus terlebih dulu membuktikan kemampuannya menjaga hutan. Sayangnya, seperti dikatakan Daju dalam salah satu sesi acara Forest Day di Durban, Minggu (4/12) lalu, tingkat kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia sampai sekarang masih sangat tinggi.
Selain itu, semakin banyaknya investasi asing di bidang pertambangan dan kelapa sawit membuat beban hutan semakin berat. Perkebunan kelapa sawit tentu butuh lahan luas, yang berarti mengubah hutan menjadi perkebunan. Deposit batubara juga kebanyakan terdapat di dalam hutan.
Kredit rendah serta pajak murah untuk dua aktivitas tersebut juga membuat kalangan bisnis melihat bahwa membabat hutan masih lebih menguntungkan daripada menjaga hutan tetap hidup.
Perlindungan hutan menjadi semakin penting karena, selain ingin terlibat dalam skema REDD, Indonesia juga menyatakan kesanggupannya untuk mengurangi emisi gas karbondioksida sebesar 26% pada 2020. Cara mencapai target itu adalah lewat mengurangi penebangan hutan. Pada 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan moratorium atas pemberian izin pengelolaan hutan-hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun ke depan.
Indonesia kini menghadapi dilema. Di satu sisi, ada komitmen dan kepentingan ekonomi yang membuat hutan menjadi sangat penting untuk dilindungi. Di sisi lain, hutan masih menjadi salah satu sumber utama pemasukan negara. Secara nasional, Indonesia pun masih harus mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen sampai 2014. Bagaimana target pertumbuhan ekonomi itu bisa dicapai jika salah satu 'alat' untuk mencapai tingkat kesejahteraan tersebut (hutan) harus dibatasi pemakaiannya?
Setelah empat dekade mengandalkan sumber alam untuk membangun kekuatan ekonomi, Indonesia kini harus memikirkan sumber pemasukan lain yang bisa diandalkan.
Tantangan ini diakui oleh Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto. Sejak September 2010, Kuntoro juga mendapat tugas tambahan sebagai ketua gugus tugas khusus REDD+. Salah satu tugas utamanya adalah mencari cara terbaik menyeimbangkan antara mencapai pertumbuhan ekonomi lewat pemanfaatan hutan sambil melindungi hutan.
Saat ditanya soal model ekonomi seperti apa yang akan digunakan oleh Indonesia untuk beralih dari sumber kekayaan alam, ia menjawab, timnya saat ini masih merumuskan model-model ekonomi tersebut.
Selain itu, menurut Kuntoro, perlindungan hutan di Indonesia terganjal soal peraturan perundangan. Peraturan kehutanan yang dimiliki Indonesia sekarang banyak memiliki celah, belum lengkap, serta kadang sering bertubrukan dalam membahas kewenangan antarinstitusi. Hukum kehutanan yang ada selama ini juga, kata dia, belum mampu mengakui hak-hak kelompok adat. Produk hukum yang kini ada pun memungkinkan terjadinya praktik korupsi dalam pengelolaan hutan.
Dan, menurut Kuntoro, baru untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki satu peta yang sama untuk mengelola hutan. Sebelumnya, berbagai kementerian, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat menggunakan peta yang berbeda-beda untuk mengelola hutan. Tak jarang terjadi, ada dua atau tiga izin berbeda untuk satu wilayah yang sama.
"Kami juga sekarang masih melakukan analisis hukum atas semua peraturan perundangan yang berhubungan dengan kehutanan yang sudah ada selama empat puluh tahun terakhir. Untuk mulai mengatur hutan, kita tentu butuh mengeluarkan peraturan-peraturan baru. Sudah ada dua kelompok kerja dari presiden yang tugasnya mengeluarkan draf undang-undang baru soal hutan untuk kemudian diajukan ke DPR,"
tambahnya.
Direktur Pelaksana Bank Dunia yang juga mantan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati melihat sektor kehutanan adalah pembuktian besar Indonesia menunjukkan komitmennya di dunia internasional. "Kalau kita menunjukkan bukti perlindungan hutan yang diakui secara internasional, saya rasa itu akan menjadi modal kredibilitas yang sangat baik bagi Indonesia. Apalagi untuk mendapat lebih banyak pendanaan di luar sektor kehutanan. Kunci pelaksanaannya justru di tingkat provinsi dan kabupaten, karena di sanalah letak para pengelola hutan dan sektor pertanian."
Di Durban, Rabu (7/12) kemarin, Sri Mulyani juga menyoroti perlunya Indonesia mulai berinvestasi pada sektor energi terbarukan. "Indonesia punya banyak potensi di sektor energi terbarukan. Kita harus berinvestasi banyak di situ agar bisa memenuhi kebutuhan akan energi yang terus bertambah di Indonesia akibat tuntutan pertumbuhan ekonomi, tapi di saat bersamaan menambah porsi produksi energi terbarukan.
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar