Sejak saya masih sekola di bangku sekolah menengah (SKMA Kadipaten 1994 -1997), sudah diajarkan bahwa pengelolaan hutan yang lestari itu harus memiliki pengelola tingkat tapak (site). Saat itu yang digadang-gadang sebagai pengelola tapak adalah HPH, HTI, Perhutani dan Inhutani. Semua serba bagus dan terkontrol. Kita diberitahu bahwa sektor kehutanan adalah penyumbang devisa terbesar setelah migas. Bangga sekali rasanya menjadi (calon) orang kehutanan saat itu.
Bekerja pertama kali tahun 1997 pada Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan menjadikan saya masih asyik dengan kebanggaan sebagai rimbawan. Terlebih saat itu daya tawar Kanwil masih sangat tinggi di daerah. Lengkap dengan Unit Pelaksana Teknis yang buanyak membuat saya percaya bahwa memang pembangunan kehutanan sudah berada pada jalur yang benar. Apalagi saat itu konsep KPH/P (Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi) sudah dirapatkan dan diseminarkan sering sekali. Rancang Bangun KPHP sedang naik daun saat itu sebagai langkah yang dipercaya bisa menjadikan hutan kita lestari.
Namun, seiring pengalaman bertugas ke lapangan membuat saya cukup banyak berinteraksi dan melihat kondisi masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Banyak sekali daftar keluhan dari masyarakat tentang hutan yang pada intinya bermuara kepada satu hal; mengapa hutan belum bisa memberikan manfaat yang nyata untuk kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Ditambah dengan keluhan-keluhan dari rekan-rekan di kabupaten yang sering merasa mentok oleh terlalu kuatnya kewenangan pusat. Hutan rusak di sini yang merasakan adalah kami, yang kena banjir masyarakat kami, yang didemo warga ya kami. Mengapa hampir semua hal harus tergantung kepada pusat? Itu lah kira-kira kalimat dari saya sendiri yang menggambarkan bagaimana keluh kesah rekan-rekan rimbawan di kabupaten.
Akhirnya, pandangan dan pola pikir saya dalam hal memandang hutan dan kehutanan pun lambat laun berubah. Dahulu saya yang sangat percaya bahwa untuk menyelamatkan hutan semua harus melalui satu pintu yaitu menteri kehutanan, sekarang saya berpandangan bahwa pengelolaan hutan harus dikelola di tingkat bawah, bukan di pusat. Dari pemikiran-pemikiran saya mengenai hal tersebut akhirnya saya coba buat point-point pemikiran redesain kelembagaan kehutanan sebagai berikut :
1. Kewenangan Menteri Kehutanan banyak yang harus didelegasikan ke daerah.
Ongkos birokrasi kehutanan itu sangat mahal. Tuntutan untuk mempermurah ongos birokrasi ini sudah lama sekali disuarakan. Tetapi anehnya makin hari ongkos ini semakin besar. Contoh yang kongkrit, jika saya tanya kepada pemilik Kuasa Pertambangan berapa biaya mengurus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan? Jawabannya mesti dalam satuan M. Sungguh fantastis. Saya setuju bahwa harus ada biaya ini itu terkait dengan pengurusan keluarnya izin apa pun. Tetapi harus riil dan akuntable. Diperlukan biaya untuk orientasi dan cek lapangan, itu pasti. Tetapi apakah totalnya menjadi sebesar itu? Siapa yang sebenarnya yang bayar?
Mungkin para pemegang kewenangan harus belajar sedikit masalah ekonomi tingkat dasar. Jika biaya birokrasi tinggi maka ongkos produksi juga tinggi yang pada akhirnya harga jual juga tinggi. Beban ongkos birokrasi kelihatannya dibayar oleh pengusaha tetapi sebenarnya yang membayar adalah konsumen. Bagaimana investasi-investasi di Indonesia bisa bersaing dengan investasi di negara lain jika harga jual produknya tinggi? Ongkos birokrasi berbanding eksponensial dengan tingginya tingkatan birokrasi. Dampak lain dari tingginya ongkos birokrasi adalah sedikitnya manfaat yang diterima oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan. CSR atau apapun program pemberdayaan masyarakat akan dibiayai secara minim oleh perusahaan. Kiranya mendelegasikan (atau apa pun istilahnya) kewenangan Menteri Kehutanan ke pejabat publik di daerah (Gubernur dan Bupati) bisa memangkas ongkos birokrasi ini. Bagaimana pusat bisa mengontrol kewenangan pejabat daerah ini? Lihat lah begitu banyaknya unit pelaksana teknis di daerah yang bisa terlibat dalam proses pemberian izin. Apakah tidak cukup kepanjangan tangan Kementrian Kehutanan saja yang terlibat sehingga harus mentrinya yang turun tangan dalam setiap perizinan?
Mungkin rekan-rekan yang bekerja di Kementrian Kehutanan akan menanggapi point ini secara sinis. Hutan akan semakin rusah, pejabat daerah akan menjadi raja-raja kecil yang mengeksploitasi hutan. Hey… Bangun! Memangnya selama ini kewenangan di tangan menteri pengelolaan hutan lebih baik? Saya maklum. Saya pun dulu berpikiran seperti itu. Pendelegasian ini tidak secara cuma-cuma diberikan. Harus disertai kontrol yang bagus baik oleh pemerintah pusat itu sendiri maupun oleh publik.
2. Dinas Kehutanan Provinsi idealnya memiliki pegawai 20 orang saja.
Sejak beralih tugas ke Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, saya melihat jumlah pegawai yang bekerja tidak sampai seperempatnya saja. Fenoma apa kah ini? Sebagian besar pegawai adalah spesialis pegawai lapangan yang datang ke kantor untuk mengawasi adanya SPT. Dengan jumlah pegawai lebih dari 100 orang, Dinas Kehutanan menjadi lembaga yang gemuk tapi sibuk bekerja bukan pada tupoksinya. Demikian juga halnya dengan instansi-instansi kehutanan lain seperti UPT dan Dinas Kehutanan di Kabupaten. Bagi instansi yang memiliki fungsi pelayanan administrasi, saya pikir 20 orang sudah cukup menjalankan sebuah kantor bernama Dinas Kehutanan Provinsi. Tidak ada pegawai yang pergi survey, cek dokumen di logpond, dan sebagainya. Semua pekerjaan di kantor adalah bersifat kebijakan dan administratif. Lalu bagaimana mendapatkan tenaga untuk groundcheck, inventarisasi, sampling dan sebagainya? Jawabannya adalah pengelola tingkat tapak.
3. Dibangun kelembagaan pengelolaa hutan di tingkat tapak.
Point ini lah inti dari redesain kelembagaan kehutanan. Heran banget rasanya kok sudah belasan tahun digelindingkan isu KPH(P) masih saja rancang bangun terus menerus. Kita terlalu NATO alias No Action Talk Only. Terlalu lama berdebat menyebabkan tidak rampung-rampung membuat KPH. Nanti keburu habis hutannya.
Bagi saya, pengelola tingkat tapak adalah suatu keharusan. Saya pernah ditanya oleh salah satu pimpinan di kantor apakah mau nanti jadi pengelola KPH? Saya jawab mau sekali. Asal ada komitmen kewenangan, ada anggaran, ada support sarana dan prasaran, dan semua kegiatan yang menyangkut tapak tersebut harus saya yang menjalankan.
Setiap pegawai kehutanan baik itu pusat atau daerah yang masuk ke tapak harus lapor ke saya dan membawa ‘bekal’ sendiri. Selfish, mungkin. Tapi itu lah idealnya pengelolaan tingkat tapak. Anggaran seperti tata batas, survey potensi, identifikasi, groundcheck, dan apa pun yang bersifat lapangan harus diberikan kepada pengelola tapak. Jadi, Dinas Kehutanan hanya melayani administrasi saja. Tamu yang datang harus bawa amplop sendiri. Jika pengelola tapak harus mengantar mereka ke sana-sini, mereka harus bayar biaya sewa kendaraan dan supir. Kantor tapak harus ada di dalam hutan, tetapi dilengkapi dengan koneksi internet, generator 24jam, satelite TV, kantor, ruang rapat dan pelatihan, MCK sekelas hotel yang bisa membuat pengelola lebih betah di hutan daripada di kota. Bahkan, masyarakat di dalam dan sekitar hutan pun akan betah berkunjung, berkomunikasi dan diskusi tentang bagaimana mereka bisa terlibat dalam melestarikan hutan. Mahal? Bagi saya tidak. Yang mahal itu adalah kegiatan yang hasilnya tidak jelas seperti koordinasi ke kabupaten-kabupaten yang seharusnya bisa dilakukan lewat surat ataupun email. Koneksi internet lewat Vsat berkecepatan cukup harus ada. Saya akan posting dan promosikan tapak yg saya kelola sehingga donor (lembaga atau perorangan) bisa masuk untuk melakukan kegiatan apa saja termasuk terhadap masyarakat hutan. Akan saya lelang nama-nama di tapak untuk diberi nama Bukit SBY, DAS Golkar, Lembah Zulkifli atau siapa pun yang mau mendanai kegiatan reboisasi pada bukit, lembah ataupun DAS yang bersangkutan. Namun sepertinya tidak akan pernah ada pimpinan yang menyetujui saya jadi pengelola tapak jika tahu program saya seperti itu.
Pengelola tingkat tapak saya percaya bisa lebih efektif melakukan kontrol terhadap ‘barang’ yang selama ini kita kelola, yaitu hutan. Pengelola tapak tahu di mana patok nomor 345, tahu di mana masyarakat meladang, tahu dimana tanah yang subur, tahu di mana ada pohon sumber benih yang bagus, tahu di mana ada pohon raksasa, dsb. Dalam hal aspek sosial, pengelola tapak bisa lebih tahu dan mengerti bagaimana agar hutan memberikan manfaat bagi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
Saya tidak peduli pengelola tingkat tapak ini berada di bawah Menteri Kehutanan, Gubernur, Bupati atau Kepala Dinas. Yang penting ada. Mungkin di bawah Menteri lebih baik sehingga ada perimbangan kewenangan antara kewenangan pengambil keputusan dan rekomendasi teknis, serta UPT-UPT Departemen Kehutanan bisa ikut Dinas Kehutanan dengan pegawai 20 orang saja karena hampir semua tugas-tugas teknis dijalankan oleh pengelola tingkat tapak. Saya cukup iri dengan teman-teman di konservasi. Mereka punya Taman Nasional yang menurut saya sudah jauh lebih maju dibandingkan (rancang bangun) KPH.
4. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas.
Point 1 – 3 tersebut di atas akan semakin menambah carut marut pengelolaan hutan jika tanpa dibarengi dengan transparansi dan akuntabilitas. Saya membayangkan bahwa jika ada pengusaha yang sedang mengurus perizinan kehutanan akan langsung terupdate di website pemerintah provinsi sehingga semua orang tahu dan akan memiliki awareness. Itu adalah contoh simple untuk sebuah transparansi. Publik lokal sudah memiliki perhatian yang lebih baik terhadap hutan dan kehutanan. Skema redesain kelembagaan hanya perlu memberdayakan publik sebagai alat kontrol yang efektif.
Semoga lestari hutanku.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar