Oleh : Yanto Rochmayanto
”Di masyarakat Sumatera (Riau khususnya) telah terjadi demotivasi penanaman kayu. Situasi tersebut terbentuk akibat penurunan kepercayaan petani kepada sistem pemasaran dan harga sengon yang merambat ke berbagai jenis kayu lainnya, termasuk kayu pulp.”
Kebutuhan bahan baku kayu pulp untuk memenuhi kebutuhan terpasang industri pulp semakin tinggi seiring dengan peningkatan konsumsi kertas per kapita. Namun karena harga kayu pulp di tingkat petani rendah, motivasi petani menanam kayu tidak muncul kendati potensi lahan tersedia masih banyak yang berasal dari lahan diluar kapasitas garap. Harga pada tahun 2009 di mill gate PT RAPP berada pada harga Rp. 250.000,-/m3, dan di mill gate PT Indah Kiat Rp. 325.000,-/m3, dan di Inhutani IV Rp 220.000-230.000/m3. Pada tingkat harga tersebut, margin keuntungan untuk hutan rakyat belum sebanding dengan tingkat korbanan masyarakat.
Motivasi menanam kayu masyarakat akan meningkat apabila harga mencerminkan pembagian profit yang wajar sesuai korbanannya. Terbukti, terhadap komoditi sawit dan karet telah terjadi motivasi yang luar biasa untuk mengganti penggunaan lahan sebelumnya. Beberapa tahun terakhir, kayu jabon memberikan nuansa motivasi menanam kayu yang mulai membaik di Kabupaten Rokan Hilir dan sekitarnya karena dipicu oleh kebutuhan industri kayu lapis yang kekurangan bahan baku dengan memasang harga Rp. 440.000,-/m3. Namun demikian, fenomena ini belum memperbaiki situasi demotivasi program sengonisasi yang berdampak pada traumatis masyarakat akibat kayu sengon yang tidak laku dijual pada akhir daur.
Upaya untuk meningkatkan harga kayu pulp rakyat melalui mekanisme pasar akan lebih sulit dibandingkan dengan kayu lapis. Struktur pasar kayu pulp sangat sedikit sehingga diduga terjadi pasar monopsoni atau duopsoni yang begitu kuat mengendalikan harga kayu di tingkat petani. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya penyehatan harga termasuk intervensi pemerintah dalam penetapan harga kayu.
Berdasarkan latar belakang tersebut penting diketahui berapa harga kayu yang dinilai wajar dan bagaimana upaya penyehatan harganya. Harga kayu yang wajar dapat dihitung melalui 2 pendekatan kalkulasi, yaitu dari Harga Pokok Produksi dan Distribusi Margin Keuntungan. Sedangkan usaha penyehatan harga dapat didekati dari karakteristik ekonomi makro yang berlaku pada pasar kayu pulp.
Harga Pokok Produksi Kayu Pulp
Harga pokok produksi (HPP) merupakan satuan harga yang mewakili keseluruhan biaya yang akan tergantikan oleh harga jual produk. Harga pokok produksi belum mengikutsertakan rencana profit yang akan diperoleh pelaku usaha. Dengan demikian untuk menganalisis kewajaran harga berlaku di pasar diperlukan analisis komparasi dengan harga teoritis yang terbentuk dari analisis finansial dengan metode pembentukan harga dasar yang tersedia.
Hasil kajian di lokasi yang sama menunjukkan bahwa harga pokok produksi kayu pulp pada HTI dan HR menunjukkan nilai yang berbeda. Manajemen produksi dengan skala besar (HTI dengan mekanisasi) mampu menjadikan HPP lebih rendah 30% – 45% dari pada manajemen hutan rakyat.
Produksi kayu pulp dalam skala luas dan manajemen mekanis menghasilkan HPP lebih rendah dibanding dalam skala hutan rakyat. Situasi ini menggambarkan bahwa praktek mekanisasi dan skala industri menghasilkan sistem investasi yang lebih efisien. Hutan rakyat dengan manajemen konvensional menghasilkan biaya produksi hampir 2 kali lipat HTI pulp (Tabel 1).
Oleh karena itu, harga pasar kayu pulp saat ini terjadi kegagalan pembentukan harga di tingkat petani. HPP hutan rakyat kayu pulp memiliki selisih yang kecil dibandingkan dengan nilai kini (present value) kayu rakyat non akasia. Adapun jika komparasi dilakukan dengan nilai kini harga kayu jabon, maka HPP hutan rakyat kayu pulp memiliki nilai yang lebih kecil.
Tabel 1. HPP, harga dasar dan distorsi harga pasar kayu pulp
Suku bunga (%) | HPP (Rp/m3) | Harga dasar (Rp/m3) | Harga pasar kayu rakyat (Rp/m3) | Distorsi harga kayu pulp hutan rakyat (Rp/m3) | ||||
HTI | HR | HTI | HR | Mangium | Lainnya | Mangium | Lainnya | |
7,5 | 107.176 | 240.051 | 200.954 | 450.097 | 250.000 | 325.000 | 200.097 | 125.097 |
10 | 86.740 | 223.632 | 173.480 | 447.264 | 250.000 | 325.000 | 197.264 | 122.264 |
12,5 | 71.514 | 209.081 | 151.968 | 444.298 | 250.000 | 325.000 | 194.299 | 119.299 |
15 | 59.962 | 196.139 | 134.916 | 441.313 | 250.000 | 325.000 | 191.313 | 116.313 |
Harga kayu pulp yang wajar dari hutan rakyat dapat didekati melalui harga dasar teoritis di atas. Pada harga dasar tersebut sudah mengakomodir tingkat suku bunga selama masa pengusahaan serta tingkat keuntungan selama masa pengusahaan, yaitu 30%/m3/tahun (mark up pricing method). Dengan demikian, harga kayu yang wajar dari hutan rakyat berkisar antara 441.300,-/m3 hingga Rp. 450.100,-/m3 sesuai dengan tingkat suku bunga (Tabel 1).
Berdasarkan pendekatan harga dasar teoritis sebagai harga yang wajar, maka teridentifikasi terjadinya distorsi harga. Penyebab distorsi harga ini sangat berhubungan dengan struktur pasar monopsonistik dibanding struktur pasar industri kayu lainnya (plywood). Situasi distorsi dan disparitas harga kayu pulp ini memperparah pasar kayu pulp domestik. Berdasarkan kalkulasi tabel 1 menunjukkan bahwa harga pasar kayu mangium mengalami distorsi 76-80%, dan distorsi harga terhadap harga pasar kayu rakyat lain (non mangium) terjadi lebih kecil, yaitu 35-39%.
Distribusi Profit Margin yang Adil
Harga kayu pulp yang wajar berkeadilan adalah 7-8% dari harga pulp di pasar internasional (Manurung, 2010). Harga pulp menurut standar harga pasar Asia untuk Februari 2011 sebesar USD 860/ton (BBPK, 2011), maka harga kayu yang wajar berkisar Rp. 584.318/ton atau Rp. 502.513/m3 (angka konversi kayu mangium adalah 1 m3 = 0.86 ton). Sementara itu harga kayu pulp di mill gate berkisar pada 25-30 USD/ton (setara dengan Rp. 212.325 – 254.790/ton) (Manurung, 2009), dengan demikian terjadi distorsi harga kayu pulp sebesar Rp. 329.528 – 371.993,- per ton yang dinikmati oleh industri.
Mencermati harga kayu yang berlaku di industri dan membandingkannya dengan harga pokok produksi (HPP) HTI pulp untuk A. mangium, terjadi distribusi profit margin yang sangat kecil bagi produsen kayu pulp. Rochmayanto (2010) menjelaskan bahwa HPP kayu pulp dari HTI adalah Rp. 86.740/m3 (atau Rp. 100.860,-/ton), dimana HPP tersebut tidak berbeda jauh dengan pendekatan Manurung (2009) sebesar USD 15/ton atau Rp. 127.395/ton.
Biaya produksi pulp berkisar antara 250-300 USD/ton, sehingga profit industri pulp 560-610 USD/ton (200% dari biaya produksi). Margin keuntungan penjualan kayu pulp yang di-share oleh industri pulp hanya 3.14% dan sebagian besarnya 96.86% dinikmati oleh industri pulp. Kalkulasi ini sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendekatan HPP menurut Manurung (2009) yang diperoleh margin keuntungan produsen kayu pulp sebesar 2.61%. Profit margin petani akan semakin kecil (0.65% saja) apabila petani hutan rakyat hanya mampu menjalankan usaha tani hutan rakyat dengan produktivitas seperti saat ini dengan HPP yang lebih tinggi. (Catatan : Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang digunakan pada kalkulasi paper ini adalah Rp. 8.493/USD menurut kurs tanggal 12 Mei 2011 dari Bank Indonesia) (www.ortax.org., 2011)
Strategi Penyehatan Harga
Dalam upaya mencapai penerimaan sebesar-besarnya untuk petani hutan rakyat kayu pulp, yang perlu dilakukan antara lain adalah efisiensi, stimulasi dan intervensi.
1. Efisiensi
Strategi efisiensi dapat dilakukan sendiri oleh petani melalui aktivitas yang secara manajerial mampu dilakukan dengan teknologi sederhana. Efisiensi dapat dilakukan pada pengadaan bibit dan pemanenan. Pengadaan bibit yang biasanya dilakukan oleh petani hutan rakyat melalui pembelian dapat dilakukan dengan pembibitan mandiri. Dalam beberapa jenis bibit, perubahan keputusan pembelian bibit menjadi pembibitan mandiri dapat menurunkan biaya pembibitan sebesar 16-47%. Efisiensi akan makin bertambah apabila pengadaan bibit menggunakan teknik konvensional namun dengan tetap memperhatikan benih unggul.
Efisiensi lain dapat dilakukan pada pemanenan dari mekanisme kontrak (pihak ketiga) menjadi swakelola. Pilihan ini bisa jadi merupakan pilihan yang sulit sebab tidak semua petani memiliki keterampilan operasional penebangan, dan secara khusus keterampilan mengoperasikan gergaji mesin (chain saw). Namun langkah ini dapat dilakukan dengan bantuan pemerintah atau swasta (perusahaan HTI mitra) melalui trainning penebangan. Penguasaan keterampilan operasi gergaji mesin oleh petani akan membantu meningkatkan efisiensi biaya borongan penabangan, upah tebang akan kembali ke petani atau keluarganya.
2. Stimulasi
Strategi stimulasi merupakan strategi yang dilakukan oleh pemerintah melalui regulasi yang berakibat pada sistem pasar secara tidak langsung. Akibat yang diinginkan dari regulasi tersebut adalah terjadinya peningkatan harga beli kayu pulp oleh industri. Kebijakan ekspor log diharapkan dapat menstimulasi bangkitnya harga kayu pulp domestik. Kebijakan ini akan mendorong supplier kayu pulp untuk mengekspor kayunya sehingga industri pulp domestik akan membeli kayu pulp dengan harga kompetitif dengan harga internasional. Namun konsekuensinya perlu peningkatan kapasitas petani dan kelembagaan ekonomi hutan rakyat. Stimulasi lain berupa kebijakan insentif, dapat diberikan kepada petani yang menanam kayu pulp yang dapat diletakkan pada harga input dan/atau pada harga output (harga jual kayu) sehingga terjadi penyesuaian dengan besaran harga kayu industri lainnya. Insentif ini dapat direalisasikan sebagai subsidi yang secara konkret disalurkan pada bibit, pupuk, biaya panen atau melalui industri pembeli kayu untuk mensubsidi harga beli kayu rakyat.
3. Intervensi
Intervensi merupakan strategi yang dilakukan oleh pemerintah melalui regulasi yang berakibat langsung pada harga. Strategi ini dapat dipilih dengan mendasarkan pada konsep ekonomi merchantilisme, yaitu pemerintah melakukan intervensi sebesar-besarnya pada sistem pasar (Apridar, 2009), yang dalam hal ini adalah pasar kayu pulp agar distribusi profit bisa lebih adil kepada semua pihak. Intervensi pemerintah dapat dilakukan melalui regulasi penetapan harga dasar kayu pulp di tingkat petani atau di tingkat industri, sehingga profit margin bagi petani/produsen kayu pulp mejadi lebih baik dan sebagian profit margin yang dinikmati (dikuasai) industri pulp didistribusikan ke tingkat petani. Mencermati kondisi pasar kayu pulp di Indonesia, upaya penyehatan harga yang dipandang paling efektif mampu menembus pasar adalah strategi ketiga ini (intervensi). Strategi efisiensi dan stimulasi akan sulit mengendalikan harga hingga ke tingkat yang diharapkan secara teoritis sebab kekuatan monopsoni berakar pada lembaga perusahaan multinasional yang memiliki kekuatan pangsa pasar tinggi.
Daftar Pustaka
Anonimus. 2008. Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman : Peran Hutan Tanaman Rakyat Pola Kemiteraan, Masalah dan Rekomendasi. www.aphi-et.co. diakses pada tanggal 6 Oktober 2008.
Apridar. 2009. Ekonomi Internasional : Sejarah, Teori dan Permasalahan dalam Aplikasinya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
[BBPK] Balai Besar Pulp dan Kertas. 2011. Harga Pulp Dunia Mengalami Peningkatan. www.bbpk.go.id/main/index.php/. Diakses pada tanggal 11 Mei 2011.
Hooijer A, Silvius M, Wösten H, Page S. 2006. PEAT-CO2 : Assessment of CO2 emission from drained peatlands in SE Asia. Wageningen: Delft Hydraulics in corporation with Wetland International and Alterra Wageningen.
Manurung, EGT. 2009. Komunikasi pribadi. Rimbawan-interaktif, yahoo.group., tahun 2009.
Rimbawanto A. 2007. Peran Pemuliaan Pohon Dalam Pengembangan Hti Pulp. Makalah disampaikan pada Sosialisasi Kegiatan BPHPS Guna Mendukung Kebutuhan Riset Hutan Tanaman Kayu Pulp di Pekanbaru pada tanggal 27 November 2007. Pekanbaru: Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat.
Santoso B. 2009. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman dalam Rangka Memenuhi Bahan Baku Industri Perkayuan. Makalah pada Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. 18 Juni 2009. Pekanbaru: Balai Penelitian Hutan Penghasil Sera.
PT Riau Andalan Pulp & Paper. 2008. Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam. PT Riau Andalan Pulp & Paper. Pangkalan Kerinci.
www.ortax.org. 2011. Kurs Bank Indonesia. Diakses pada tanggal 12 Mei 2011.
By: Yanto Rochmayanto
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar