Di Nusa Dua, Bali, pada 2007, dari Konferensi Perubahan Iklim PBB yang berlangsung di sana, muncul sebuah skema ekonomi yang cukup revolusioner. Negara-negara maju akan membayar negara-negara berkembang yang memiliki hutan luas untuk tidak menebang hutan mereka. Alasannya, hutan-hutan itu penting untuk menyerap gas rumah kaca akibat kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara maju. Skema ekonomi untuk menjaga hutan tetap lestari itu kemudian memiliki nama REDD (singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/mengurangi emisi dari penebangan dan kerusakan hutan).
Indonesia, sebagai pemilik hutan tropis terluas ketiga di dunia, tentu bisa mendapat keuntungan dari dana REDD yang diberikan oleh negara-negara maju. Seusai Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua itu pun, gubernur-gubernur di Indonesia yang wilayahnya memiliki hutan langsung bersemangat menentukan kawasan hutan mereka yang bisa dijadikan proyek percontohan bagi skema REDD ini. Tak bisa dipungkiri, antusiasme ini tentu berhubungan dengan janji-janji besarnya dana yang bisa diperoleh.
Lima tahun kini sudah berlalu sejak Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali. Ternyata, dalam jangka lima tahun itu ditemukan bahwa Indonesia masih memiliki masalah hutan yang harus diselesaikan jika ingin mendapat porsi dana besar dari skema REDD tersebut. Inti utama masalahnya adalah bahwa Indonesia masih belum bisa membuktikan bahwa mereka akan bisa melindungi hutannya dari ancaman kerusakan, bukan hanya akibat pembalakan liar, tapi juga karena keputusan-keputusan pemerintah.
Pada Forest Day 5 di Durban, Afrika Selatan, Minggu (4/12), peneliti kehutanan dari lembaga penelitian CIFOR yang berkantor di Bogor, Daju Pradnja Resosudarmo memetakan lima masalah utama soal perlindungan hutan di Indonesia yang bisa menghambat kemajuan skema REDD.
1. Penebangan hutan dalam skala besar masih terus terjadi di Indonesia.
Salah satu penyebab penebangan hutan yang terus terjadi adalah karena lahan hutan yang berubah fungsi, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan perkebunan.
2. Ekonomi Indonesia yang masih sangat tergantung pada sumber alam.
Kekayaan alam (hutan, tambang) masih menjadi pilar penyokong utama pemasukan di Indonesia. Daju menyebut, sekitar 70 persen pendapatan non-pajak Indonesia berasal dari kekayaan alam. Pelestarian hutan untuk persiapan proyek REDD pun belum menjadi prioritas. Singkatnya, masih lebih menguntungkan menebang hutan daripada menjaga hutan alami.
3. Perluasan wilayah pertanian, perkebunan, serta tambang.
Semakin banyaknya investor asing di bidang kelapa sawit dan tambang batubara menyebabkan ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit dan aktivitas pertambangan. Beban hutan pun bertambah karena lahan perkebunan kelapa sawit biasanya berasal dari kawasan hutan yang kemudian berubah fungsi. Selain itu, deposit batubara kebanyakan terletak di kawasan hutan.
Industri kelapa sawit dan tambang (yang bisa mengancam kelestarian hutan) juga mendapat keuntungan dan dukungan dari sektor finansial. Daju mengilustrasikan, karena industri ini sangat menguntungkan, maka perbankan memberi bunga rendah untuk pembukaan dan perluasan usaha kelapa sawit atau pertambangan. Belum lagi pajak bumi dan bangunan untuk hutan yang sangat rendah, sehingga memudahkan individu atau perusahaan untuk 'memiliki' ribuan hektar hutan dengan pajak murah.
4. Tabrakan administrasi.
Sekitar 70 persen dari lahan di Indonesia adalah hutan, dan ini menjadi milik negara. Dengan desentralisasi, hak pengelolaan hutan pun dikembalikan ke pemerintahan lokal. Sayangnya, situasi ini malah memunculkan tubrukan antara izin penggunaan lahan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah regional. Tumpang-tindih izin pengelolaan hutan pun bisa menambah beban pada upaya pelestarian.
Daju juga mencontohkan Provinsi Kalimantan Tengah yang sangat berminat untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawitnya. Ini tentu berpotensi menjadi kompetisi untuk skema pelestarian hutan di bawah REDD.
5. Keputusan-keputusan politik.
Proses pengambilan keputusan politik menjadi kelemahan terbesar. Salah satu yang menjadi sorotan adalah tidak transparannya proses pemberian izin pengelolaan untuk industri-industri yang bersifat mengeruk kekayaan alam. Selain itu, proses pengambilan keputusan juga jarang melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
Ketika ditanya apa solusi termudah untuk mempertahankan kondisi hutan Indonesia setelah melihat lima masalah di atas, Daju mengatakan, "Proyek pembangunan lain mendapat subsidi yang sangat besar. Jika tanah atau hutan dibuat lebih mahal, maka itu akan membatasi kompetisi atas hutan. Pemerintah harus mensubsidi lebih banyak proyek-proyek yang mengutamakan lingkungan." Dan tanpa keputusan politik yang besar di tingkat nasional, kerusakan hutan di Indonesia masih akan sulit dihentikan.
Source : link
Indonesia, sebagai pemilik hutan tropis terluas ketiga di dunia, tentu bisa mendapat keuntungan dari dana REDD yang diberikan oleh negara-negara maju. Seusai Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua itu pun, gubernur-gubernur di Indonesia yang wilayahnya memiliki hutan langsung bersemangat menentukan kawasan hutan mereka yang bisa dijadikan proyek percontohan bagi skema REDD ini. Tak bisa dipungkiri, antusiasme ini tentu berhubungan dengan janji-janji besarnya dana yang bisa diperoleh.
Lima tahun kini sudah berlalu sejak Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali. Ternyata, dalam jangka lima tahun itu ditemukan bahwa Indonesia masih memiliki masalah hutan yang harus diselesaikan jika ingin mendapat porsi dana besar dari skema REDD tersebut. Inti utama masalahnya adalah bahwa Indonesia masih belum bisa membuktikan bahwa mereka akan bisa melindungi hutannya dari ancaman kerusakan, bukan hanya akibat pembalakan liar, tapi juga karena keputusan-keputusan pemerintah.
Pada Forest Day 5 di Durban, Afrika Selatan, Minggu (4/12), peneliti kehutanan dari lembaga penelitian CIFOR yang berkantor di Bogor, Daju Pradnja Resosudarmo memetakan lima masalah utama soal perlindungan hutan di Indonesia yang bisa menghambat kemajuan skema REDD.
1. Penebangan hutan dalam skala besar masih terus terjadi di Indonesia.
Salah satu penyebab penebangan hutan yang terus terjadi adalah karena lahan hutan yang berubah fungsi, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan perkebunan.
2. Ekonomi Indonesia yang masih sangat tergantung pada sumber alam.
Kekayaan alam (hutan, tambang) masih menjadi pilar penyokong utama pemasukan di Indonesia. Daju menyebut, sekitar 70 persen pendapatan non-pajak Indonesia berasal dari kekayaan alam. Pelestarian hutan untuk persiapan proyek REDD pun belum menjadi prioritas. Singkatnya, masih lebih menguntungkan menebang hutan daripada menjaga hutan alami.
3. Perluasan wilayah pertanian, perkebunan, serta tambang.
Semakin banyaknya investor asing di bidang kelapa sawit dan tambang batubara menyebabkan ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit dan aktivitas pertambangan. Beban hutan pun bertambah karena lahan perkebunan kelapa sawit biasanya berasal dari kawasan hutan yang kemudian berubah fungsi. Selain itu, deposit batubara kebanyakan terletak di kawasan hutan.
Industri kelapa sawit dan tambang (yang bisa mengancam kelestarian hutan) juga mendapat keuntungan dan dukungan dari sektor finansial. Daju mengilustrasikan, karena industri ini sangat menguntungkan, maka perbankan memberi bunga rendah untuk pembukaan dan perluasan usaha kelapa sawit atau pertambangan. Belum lagi pajak bumi dan bangunan untuk hutan yang sangat rendah, sehingga memudahkan individu atau perusahaan untuk 'memiliki' ribuan hektar hutan dengan pajak murah.
4. Tabrakan administrasi.
Sekitar 70 persen dari lahan di Indonesia adalah hutan, dan ini menjadi milik negara. Dengan desentralisasi, hak pengelolaan hutan pun dikembalikan ke pemerintahan lokal. Sayangnya, situasi ini malah memunculkan tubrukan antara izin penggunaan lahan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah regional. Tumpang-tindih izin pengelolaan hutan pun bisa menambah beban pada upaya pelestarian.
Daju juga mencontohkan Provinsi Kalimantan Tengah yang sangat berminat untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawitnya. Ini tentu berpotensi menjadi kompetisi untuk skema pelestarian hutan di bawah REDD.
5. Keputusan-keputusan politik.
Proses pengambilan keputusan politik menjadi kelemahan terbesar. Salah satu yang menjadi sorotan adalah tidak transparannya proses pemberian izin pengelolaan untuk industri-industri yang bersifat mengeruk kekayaan alam. Selain itu, proses pengambilan keputusan juga jarang melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
Ketika ditanya apa solusi termudah untuk mempertahankan kondisi hutan Indonesia setelah melihat lima masalah di atas, Daju mengatakan, "Proyek pembangunan lain mendapat subsidi yang sangat besar. Jika tanah atau hutan dibuat lebih mahal, maka itu akan membatasi kompetisi atas hutan. Pemerintah harus mensubsidi lebih banyak proyek-proyek yang mengutamakan lingkungan." Dan tanpa keputusan politik yang besar di tingkat nasional, kerusakan hutan di Indonesia masih akan sulit dihentikan.
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar