Perdebatan soal perubahan iklim di Indonesia masih berkutat soal penataan hutan dan lahan gambut daripada soal area perkotaan. Padahal, kota-kota di Indonesia memiliki kerentanan sendiri terhadap berbagai dampak perubahan iklim.
Beberapa dampak itu sudah mulai kita rasakan sekarang. Perubahan iklim bisa menyebabkan kemarau berkepanjangan yang kemudian mengancam terjadinya krisis air bersih.
Badai tropis juga bisa semakin sering terjadi, begitu pula dengan hujan yang intensitasnya semakin deras. Infrastruktur perkotaan kadang membuat manusia-manusia di dalamnya terjebak saat banjir atau hujan deras melanda, tanpa sistem perlindungan atau pengetahuan cukup akan cara mengatasi situasi tersebut.
Bayangkan saja, jika banjir seperti di Bangkok terjadi di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, apakah pemerintah lokal sudah siap untuk mengatasinya? Sementara, Pusat Data Informasi dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah memperkirakan Jakarta akan lumpuh total akibat banjir yang terjadi pada akhir tahun ini sampai awal tahun depan, sesuai siklus banjir lima tahunan.
Belum lagi ketika kenaikan permukaan air laut terjadi. Kota-kota yang berada di daerah pesisir akan terancam terendam. Orang-orang yang tinggal dekat dengan pinggir laut pun bisa kehilangan rumahnya. Tidak jarang, penduduk yang tinggal tepat di pinggir laut memiliki kemampuan ekonomi terbatas. Memindahkan rumah pun jadi sesuatu yang tidak mungkin bagi mereka.
Sekitar 75% dari kota-kota di Indonesia terletak di area pesisir. Jakarta, Semarang, Surabaya, Cirebon, kota-kota di sepanjang jalur Pantura, Medan, Makassar, Pontianak, dan Padang hanyalah beberapa contohnya. Kementerian Pekerjaan Umum mencatat ada 123 juta penduduk Indonesia yang kini tinggal di perkotaan. Mereka semua terancam akan berbagai risiko dari dampak perubahan iklim.
Perubahan iklim juga membuat Indonesia berpikir ulang soal emisi gas karbondioksida yang dilepaskan ke udara. Indonesia menargetkan, pada 2020 nanti akan mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 26%.
Kota, tempat terjadinya pusat aktivitas industri dan konsumsi energi, tentu menjadi sumber emisi karbon yang besar. Jumlah kota di Indonesia pun terus bertambah, dari 45 kota pada 1970, Indonesia memiliki 98 kota pada 2010.
Pembangunan yang tidak merata di Indonesia selama ini membuat Jakarta jadi kota modern yang sejahtera. Kota-kota di Indonesia pun seolah belum beranjak dari upaya 'menyaingi Jakarta'.
Padahal Jakarta adalah kota yang tidak efisien, salah satunya dari segi konsumsi energi dan air. Pengelolaan sampah juga menjadi masalah menahun. Sistem transportasi tidak terintegrasi dengan rencana penataan kota. Alhasil, masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi sebagai solusi transportasi sehari-hari mereka. Kemacetan (sedikitnya) dua jam menjadi menu sehari-hari penduduk kota.
Kementerian Pekerjaan Umum meminta kota-kota di Indonesia untuk mulai membuat perencanaan 'hijau' agar mengurangi emisi karbondioksidanya.
Kota hijau, dalam pandangan mereka, bukan hanya soal menanam pohon atau menambah ruang terbuka hijau, tapi juga soal pengelolaan sampah, efisiensi penggunaan air dan energi, serta penerapan sistem transportasi yang terintegrasi dengan perencanaan tata kota.
Menurut Wakil Kepala Perencanaan Pengembangan Tata Ruang Nasional Kementerian Pekerjaan Umum Budi Situmorang di Durban, Afrika Selatan, Kamis (2/12) lalu, tercatat sudah ada 60 kota di Indonesia yang akan mengembangkan perencanaan kota hijau ini.
Sampai 2011, Kementerian Pekerjaan Umum memprioritaskan pengembangan kota hijau dari segi perencanaan tata kota, peningkatan jumlah ruang terbuka hijau, dan penguatan komunitas sebagai elemennya. Pada 2012, ditargetkan kota-kota ini harus sudah melaksanakan perencanaan kota hijau yang mereka buat tersebut.
Sayangnya, elemen transportasi dalam perencanaan kota hijau ditargetkan baru mulai direncanakan pada 2020 untuk diterapkan pada 2025. Padahal ada kebutuhan yang nyata dan mendesak antara sekarang sampai 2025 untuk mengatasi kepemilikan motor dan mobil yang terus bertambah setiap harinya di berbagai kota besar di Indonesia.
Perlu diingat juga, salah satu yang menjadikan Jakarta kota yang tidak efisien adalah tidak ada ketersambungan antara penataan ruang dan sistem transportasi. Tanpa kesinambungan itu, kota-kota terancam dibangun dengan paradigma kendaraan pribadi, seperti yang sudah terjadi selama ini.
Memisahkan antara target penataan ruang dan transportasi hijau berarti memunculkan potensi munculnya Jakarta-Jakarta baru di Indonesia, yaitu kota-kota yang tidak memiliki sistem transportasi publik yang bagus sehingga boros energi. Padahal, rencana kota hijau ini dimaksudkan untuk menghindari 'model Jakarta' dalam pembangunan kota-kota di Indonesia.
Ketika ditanya alasan pemisahan antara tata ruang dan transportasi, Budi mengatakan, "Kita tidak akan menggunakan transportasi konvensional seperti yang kita lihat sekarang. Transportasi hijau bukan cuma efisiensi energi, tapi juga soal menggunakan bahan bakar yang lebih rendah emisi."
Menurut dia, Kementerian Pekerjaan Umum lebih berharap dalam jangka waktu 13 tahun itu, sektor privatlah yang akan menyiapkan bahan bakar rendah emisi atau sistem transportasi hijau yang kemudian bisa diadopsi oleh kota-kota di Indonesia.
Di sisi lain, Kepala Pusat Penelitian Energi, Iklim, dan Pengembangan Berkelanjutan Badan Lingkungan PBB (United Nations Environmental Programme/UNEP) John Christensen memperingatkan adanya bahaya dalam model pembangunan kota yang memisahkan antara tata kota dengan perencanaan jalur transportasi.
Ia melihat ada fenomena di negara-negara berkembang akan ketidaksinambungan pembangunan kota dengan perencanaan trayek angkutan umum. Akibatnya, transportasi publik tidak bisa menjawab kebutuhan warganya untuk kenyamanan atau kecepatan. Mereka pun kembali memilih kendaraan pribadi sehingga kota-kota menjadi sumber kemacetan sekaligus emisi gas rumah kaca.
Tak perlu berpikir muluk soal teknologi yang baru akan tersedia satu dekade mendatang. Menurut Christensen, pemerintah lokal sudah harus mulai dari sekarang menunjukkan kemauan politik mereka menciptakan kota ramah energi dengan menginvestasikan lebih banyak uang di sektor transportasi publik.
Direktur Iklim dan Energi World Future Council Stefan Schurig dalam presentasinya soal membangun kota-kota hijau di Durban, Rabu (1/12) juga menyebut, salah satu elemen penting untuk meminimalkan emisi karbon perkotaan adalah lewat memikirkan cara-cara baru untuk memenuhi atau mengubah pola konsumsi penduduk kota dari segi transportasi.
Bahwa keputusan politik pemerintah lokal-lah yang pertama-tama punya kekuatan untuk menentukan bagaimana penduduk suatu kota bisa bergerak dari satu titik ke titik lainnya, bukan sekadar menunggu perkembangan yang masih belum pasti dari sektor privat.
Source : link
Beberapa dampak itu sudah mulai kita rasakan sekarang. Perubahan iklim bisa menyebabkan kemarau berkepanjangan yang kemudian mengancam terjadinya krisis air bersih.
Badai tropis juga bisa semakin sering terjadi, begitu pula dengan hujan yang intensitasnya semakin deras. Infrastruktur perkotaan kadang membuat manusia-manusia di dalamnya terjebak saat banjir atau hujan deras melanda, tanpa sistem perlindungan atau pengetahuan cukup akan cara mengatasi situasi tersebut.
Bayangkan saja, jika banjir seperti di Bangkok terjadi di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, apakah pemerintah lokal sudah siap untuk mengatasinya? Sementara, Pusat Data Informasi dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah memperkirakan Jakarta akan lumpuh total akibat banjir yang terjadi pada akhir tahun ini sampai awal tahun depan, sesuai siklus banjir lima tahunan.
Belum lagi ketika kenaikan permukaan air laut terjadi. Kota-kota yang berada di daerah pesisir akan terancam terendam. Orang-orang yang tinggal dekat dengan pinggir laut pun bisa kehilangan rumahnya. Tidak jarang, penduduk yang tinggal tepat di pinggir laut memiliki kemampuan ekonomi terbatas. Memindahkan rumah pun jadi sesuatu yang tidak mungkin bagi mereka.
Sekitar 75% dari kota-kota di Indonesia terletak di area pesisir. Jakarta, Semarang, Surabaya, Cirebon, kota-kota di sepanjang jalur Pantura, Medan, Makassar, Pontianak, dan Padang hanyalah beberapa contohnya. Kementerian Pekerjaan Umum mencatat ada 123 juta penduduk Indonesia yang kini tinggal di perkotaan. Mereka semua terancam akan berbagai risiko dari dampak perubahan iklim.
Perubahan iklim juga membuat Indonesia berpikir ulang soal emisi gas karbondioksida yang dilepaskan ke udara. Indonesia menargetkan, pada 2020 nanti akan mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 26%.
Kota, tempat terjadinya pusat aktivitas industri dan konsumsi energi, tentu menjadi sumber emisi karbon yang besar. Jumlah kota di Indonesia pun terus bertambah, dari 45 kota pada 1970, Indonesia memiliki 98 kota pada 2010.
Pembangunan yang tidak merata di Indonesia selama ini membuat Jakarta jadi kota modern yang sejahtera. Kota-kota di Indonesia pun seolah belum beranjak dari upaya 'menyaingi Jakarta'.
Padahal Jakarta adalah kota yang tidak efisien, salah satunya dari segi konsumsi energi dan air. Pengelolaan sampah juga menjadi masalah menahun. Sistem transportasi tidak terintegrasi dengan rencana penataan kota. Alhasil, masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi sebagai solusi transportasi sehari-hari mereka. Kemacetan (sedikitnya) dua jam menjadi menu sehari-hari penduduk kota.
Kementerian Pekerjaan Umum meminta kota-kota di Indonesia untuk mulai membuat perencanaan 'hijau' agar mengurangi emisi karbondioksidanya.
Kota hijau, dalam pandangan mereka, bukan hanya soal menanam pohon atau menambah ruang terbuka hijau, tapi juga soal pengelolaan sampah, efisiensi penggunaan air dan energi, serta penerapan sistem transportasi yang terintegrasi dengan perencanaan tata kota.
Menurut Wakil Kepala Perencanaan Pengembangan Tata Ruang Nasional Kementerian Pekerjaan Umum Budi Situmorang di Durban, Afrika Selatan, Kamis (2/12) lalu, tercatat sudah ada 60 kota di Indonesia yang akan mengembangkan perencanaan kota hijau ini.
Sampai 2011, Kementerian Pekerjaan Umum memprioritaskan pengembangan kota hijau dari segi perencanaan tata kota, peningkatan jumlah ruang terbuka hijau, dan penguatan komunitas sebagai elemennya. Pada 2012, ditargetkan kota-kota ini harus sudah melaksanakan perencanaan kota hijau yang mereka buat tersebut.
Sayangnya, elemen transportasi dalam perencanaan kota hijau ditargetkan baru mulai direncanakan pada 2020 untuk diterapkan pada 2025. Padahal ada kebutuhan yang nyata dan mendesak antara sekarang sampai 2025 untuk mengatasi kepemilikan motor dan mobil yang terus bertambah setiap harinya di berbagai kota besar di Indonesia.
Perlu diingat juga, salah satu yang menjadikan Jakarta kota yang tidak efisien adalah tidak ada ketersambungan antara penataan ruang dan sistem transportasi. Tanpa kesinambungan itu, kota-kota terancam dibangun dengan paradigma kendaraan pribadi, seperti yang sudah terjadi selama ini.
Memisahkan antara target penataan ruang dan transportasi hijau berarti memunculkan potensi munculnya Jakarta-Jakarta baru di Indonesia, yaitu kota-kota yang tidak memiliki sistem transportasi publik yang bagus sehingga boros energi. Padahal, rencana kota hijau ini dimaksudkan untuk menghindari 'model Jakarta' dalam pembangunan kota-kota di Indonesia.
Ketika ditanya alasan pemisahan antara tata ruang dan transportasi, Budi mengatakan, "Kita tidak akan menggunakan transportasi konvensional seperti yang kita lihat sekarang. Transportasi hijau bukan cuma efisiensi energi, tapi juga soal menggunakan bahan bakar yang lebih rendah emisi."
Menurut dia, Kementerian Pekerjaan Umum lebih berharap dalam jangka waktu 13 tahun itu, sektor privatlah yang akan menyiapkan bahan bakar rendah emisi atau sistem transportasi hijau yang kemudian bisa diadopsi oleh kota-kota di Indonesia.
Di sisi lain, Kepala Pusat Penelitian Energi, Iklim, dan Pengembangan Berkelanjutan Badan Lingkungan PBB (United Nations Environmental Programme/UNEP) John Christensen memperingatkan adanya bahaya dalam model pembangunan kota yang memisahkan antara tata kota dengan perencanaan jalur transportasi.
Ia melihat ada fenomena di negara-negara berkembang akan ketidaksinambungan pembangunan kota dengan perencanaan trayek angkutan umum. Akibatnya, transportasi publik tidak bisa menjawab kebutuhan warganya untuk kenyamanan atau kecepatan. Mereka pun kembali memilih kendaraan pribadi sehingga kota-kota menjadi sumber kemacetan sekaligus emisi gas rumah kaca.
Tak perlu berpikir muluk soal teknologi yang baru akan tersedia satu dekade mendatang. Menurut Christensen, pemerintah lokal sudah harus mulai dari sekarang menunjukkan kemauan politik mereka menciptakan kota ramah energi dengan menginvestasikan lebih banyak uang di sektor transportasi publik.
Direktur Iklim dan Energi World Future Council Stefan Schurig dalam presentasinya soal membangun kota-kota hijau di Durban, Rabu (1/12) juga menyebut, salah satu elemen penting untuk meminimalkan emisi karbon perkotaan adalah lewat memikirkan cara-cara baru untuk memenuhi atau mengubah pola konsumsi penduduk kota dari segi transportasi.
Bahwa keputusan politik pemerintah lokal-lah yang pertama-tama punya kekuatan untuk menentukan bagaimana penduduk suatu kota bisa bergerak dari satu titik ke titik lainnya, bukan sekadar menunggu perkembangan yang masih belum pasti dari sektor privat.
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar