Hari masih terlalu pagi untuk beraktivitas bagi saya sebenarnya. Namun, hari itu kami harus bertolak dari Jakarta mulai pukul 5 pagi untuk menuju Bandung, dan mengunjungi beberapa lokasi disana. Saya, Ashov, dan seorang fotografer berkendara mobil mulai menembus kegelapan yang beranjak pagi, menyambut gelombang cahaya mentari yang perlahan menghiasi bumi.
Setelah tiga jam perjalanan, kami sampai di lokasi pertama. Hamparan sawah membentang di hadapan saya. Seeekor kerbau sedang dimandikan di tengah sawah oleh sang empunya. Mengingat matahari yang cukup terik meskipun jam masih menunjukkan pukul tujuh, saya tergoda untuk ikut membayangkan rasanya diguyur air langsung dari sungai, pasti segar rasanya. Kami berjalan menyusuri pematang sawah, tak begitu banyak petani disini, batin saya, atau mungkin mereka sedang pergi mengurusi hal yang lain, timpal saya sendiri.
Lokasi pertama adalah sebuah pipa yang sangat besar. Sebenarnya saya tidak cukup bisa mengambil kesimpulan dan mengatakan bahwa itu adalah sebuah pipa, karena bentuk pipanya tidak terlihat, dan air yang mengalir cukup deras seperti keluar dari sebuah pancuran raksasa. Air tersebut langsung mengalir menuju sungai. Belakangan saya baru mengetahui, sungai tersebut adalah anak dari anak sungai bersejarah di Bandung yaitu Sungai Citarum. Setelah mengenakan pakaian hazmat (hazardous material), kami memulai mengeluarkan peralatan yang dibutuhkan. Sebuah botol sampling, tongkat alumunium, masker, sarung tangan, GPS, dan juga seorang fotografer yang siap mengabadikan momen pengambilan contoh air ini.

Saya terkejut melihat warna air tiba-tiba berubah menjadi hijau kebiruan, kemudian berbuih. Tak lama setelah itu bau menyengat keluar menusuk indera penciuman kami. Saya dengan segera langsung mengenakan masker, untuk mengusir bau yang tak sedap tersebut. Namun, ternyata hal itu tak cukup membantu, karena baunya sangat tajam. Kami mulai membuka tutup botol dan membiarkan tumpahan air berwarna hijau kebiruan tersebut masuk ke dalam botol. Setelah itu, botol kami simpan di cooler box, agar sampel airnya tidak rusak. Setengah jam berlalu, saya kembali tersontak kaget, tiba-tiba air kembali berubah warna menjadi merah. Ya, merah. Warnanya sungguh tak wajar. Tak ingin kehilangan momen, kami kembali mengambil sampel air berwarna merah tersebut.
Saat kami mengambil sampel air, seorang bapak paruh baya melintas di pinggir sungai sambil membawa pancing. Kami sempat berinteraksi sebentar dengan beliau, menanyakan dia akan pergi kemana dan memancing dimana. Si Bapak menjawab, ia akan sedikit berjalan ke hilir, untuk mendapatkan ikan. Karena jika dia hanya berdiam disitu saja, sudah dapat dipastikan ia akan pulang dengan tangan hampa. Kemudian sebuah pertanyaan menggelitik benak saya, bagaimana ikan bisa hidup disini dengan kondisi air yang sangat keruh, berbuih dan berbau menyengat. Kasihan sekali si Bapak, jika tidak bisa mendapatkan ikan, lantas apa yang ia jual hari ini untuk sekedar membeli beras dan memberi makan keluarganya? Kami melintasi lagi kerbau yang sedang dimandikan tadi. Ingatan saya kembali tertuju pada warna air yang seketika berubah-ubah. Apa rasanya mandi dengan jenis air seperti itu, apa tidak menimbulkan gatal di kulit? Mungkin, karena jenis kulit kerbau berbeda dengan manusia, bisa jadi dia lebih kebal, ucap saya dalam hati.
Lokasi kedua dan ketiga tidak sedramatis lokasi pengambilan sampel pertama. Lokasi kedua hanya berupa aliran sungai yang surut, dimana kami bisa benar-benar turun dan menjejakkan kaki di bawahnya. Namun, lokasi kedua ini dekat dengan peternakan. Sehingga limbah peternakan, seperti tinja dibuang dan memenuhi badan sungai. Sudah bisa dibayangkan kan seperti apa baunya?
Hari semakin sore, kami bergegas menuju lokasi pengambilan sampel air ketiga. Disini kami mengambil sampel air di aliran sungai yang dekat dengan rumah penduduk. Di lokasi ini, saya menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan para warga. Saya melihat dan mendengar keluhan mereka tentang sulitnya sumber air yang mereka dapatkan untuk kehidupan sehari-hari. Mereka harus menyaring air yang keluar dari kran sebanyak empat sampai lima kali untuk mendapatkan air yang jernih. Itupun tidak cukup jernih menurut saya, karena masih berwarna kuning kecoklatan. Mereka juga bercerita, air yang dipakai oleh mereka ini, kadang menimbulkan gatal di kulit. Meskipun, mereka berbicara dalam bahasa Sunda, tetapi saya mengerti, dan paham apa yang mereka katakan. Saya melihat ada semacam kemarahan dari sorot mata mereka yang bercampur dengan keputusasaan akibat sumber air mereka tercemar. Mereka cukup mengetahui sebenarnya mengapa air mereka menjadi tidak layak konsumsi, tapi mereka bisa apa?
Sekali lagi disini saya melihat adanya sebuah kesewenangan para pemilik modal, para penguasa yang mengambil hak hidup rakyat kecil. Air adalah sumber kehidupan, semua orang berhak atas air yang layak dikonsumsi. Tapi disini kesadaran akan hak-hak dasar seperti itu, tampaknya sudah hilang. Citarum oh Citarum, malang benar nasibmu. Mereka memperlakukan dirimu tak ubahnya seperti sebuah selokan pribadi. Mereka siapa? Dan apa yang mencemari Citarumku? Kita berhak untuk tahu, dan memperjuangkan hak tersebut sampai kita kembali mendapatkannya.

Source : link