Seperti yang telah kami janjikan kepada publik bahwa Navicula akan melanjutkan kampanye musik ke Borneo (Kalimantan) untuk meningkatkan kesadaran bersama pentingnya menjaga habitat hutan hujan di Indonesia, melanjutkan kampanye Orangutan kita yang berlangsung sejak Desember 2011.  Di tur ini kami berkolaborasi dengan Kepak Sayap Enggang- Tur Mata Harimau seri Kalimantan, sebuah tur yang digagas oleh Greenpeace, bekerjasama dengan sejumlah organisasi lokal Kalimantan seperti WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
Awalnya kami membayangkan bahwa tur di Borneo ini bakal menjadi sebuah perjalanan yang melintasi kawasan hutan hujan dan rimba yang asri, yang sekian lama telah menjadi ikon Kalimantan. Welcome to the jungle? Ternyata tidak.

Tur ini telah berubah tema menjadi  “mencari hutan di Kalimantan”. Sebagian besar hutan telah dirusak oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang.  Bahkan kami dengan mata kepala sendiri menyaksikan puluhan ribu hektar hutan alami, rumah bagi Orangutan dan Enggang, yang baru saja dihancurkan, di sepanjang perjalanan dari Palangkaraya menuju Pontianak. Lima jam sebelum memasuki Pontianak, jutaan tunggak bangkai pohon di area gambut ini masih merah dan berdarah saat kami menyusuri kanal yang baru dibangun, di bawah suhu yang melampaui 40 Celcius, akibat lahan gambut yang dibongkar-perkosa sehingga melepas segunung karbon ke angkasa.

Kawasan yang kemarinnya hutan ini tiba-tiba menjadi gurun, Padang Kurusetra. Lenyap sudah nyanyian burung-burung dan jerit siamang, berganti arogansi deru mesin buldozer dan ekskavator yang masih meraung, merangsek membantai secuil hutan yang masih tersisa, yang pasrah menunggu giliran untuk dieksekusi mati.  Dan yang tak masuk di akal, semua ini berkesan legal.
Perasaan geram dan sedih bercampur aduk. Kegeraman itu mengandung protes saya terhadap pemerintah Indonesia yang telah memberikan ijin itu terjadi dan perusahan-perusahan raksasa yang telah mengerahkan daya dan muslihat untuk melahap sebesar mungkin keuntungan yang diperas dari alam ini.

Kesedihan kami mengandung jeritan spirit-spirit hutan, flora-fauna, ruh sungai, dan arwah nenek moyang yang telah mendiami tanah ini selama berabad-abad, serta nasib anak cucu negeri ke depan, yang dibumihanguskan demi keuntungan segelintir manusia tamak nan kejam.

Tuhan bersabda, Setan berbisik, tapi uang bicara…

Masih terngiang di kuping kami, harapan dan doa para ibu serta tetua di kampung pedalaman tempat kami bermalam, yang sekuat tenaga menjaga hutan sebagai rumah tempat mereka hidup dari ancaman investor.  Masih tercium aroma keringat dan airmata seorang nenek yang tak berdaya memandangi ladangnya yang dirampas oleh perusahan kelapa sawit dan menimbun sungai tempat dia dan keluarganya bergantung.  Kini sang nenek terpaksa berjalan melintasi bukit berkilometer untuk memperoleh air layak minum, dan itu pun tak bisa dilakukannya saat musim kemarau.

Masih jelas dalam pandangan, raut amarah seorang ketua suku dengan mandau di pinggang mempertahankan pohon durian yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, setelah perusahaan menghancurkan lading buah-buahan warga adat.  Masih terasa trauma warga kampung yang
diintimidasi oleh aparat bersenjata dan hukum yang justru memihak kaum pengusaha dan mengorbankan masyarakat setempat, hingga saat ini pun kepala desa kampung itu masih di dalam penjara karena menuntut lahan haknya.

Hutan mati, kesejahteraan masyarakat ikut mati. Bagi saya ini sudah melampaui keserakahan. Ini sudah keji namanya. Di gurun ini, sejumlah pohon langka seperti Ramin, sengaja tidak dibabat pihak perusahan karena ada aturan legal untuk melindungi pohon ini.  Tapi Ramin-Ramin itu telanjang dan akan ikut mati segera, karena mereka tidak bisa hidup sendiri, sementara teman-teman pohon lainnya sudah almarhum, lumat menjadi bubur kertas. Dalam waktu dekat, Ramin-Ramin ini akan binasa juga, terpanggang di suhu sepanas neraka ini, dan terbunuh untuk kedua kalinya dalam kepungan kebun monokultur sawit yang egois, alias tidak mau hidup berdampingan dengan tanaman lain. Aturan legal itu semu.

Jalan-jalan beraspal dibangun membelah gunung dan mencapai pelosok, dan dengan gembar-gembor mengatasnamakan pembangunan. Tapi di sini kami melihatnya beda. Di mana jalan raya dibangun, di situlah jalur distribusi sawit dan hasil tambang.  Bukan untuk masyarakat. Pembangunan semu yang dipropaganda untuk mengejar pertumbuhan ekonomi ini tidak sebanding dengan kerugian yang dihasilkan; seberapa luas hutan hancur, seberapa terpolusikannya sumber air sekitar, seberapa terpuruknya ekonomi masyarakat lokal, seberapa banyaknya kebijakan lokal dan kekayaan budaya yang punah, seberapa mengerikannya potensi bencana alam di waktu mendatang dalam waktu dekat.

Saudara-saudari, sekarang saja kita beraksi sudah terlambat namanya, apalagi menunggu nanti. Mari bulatkan suara untuk melindungi hutan yang tersisa dan memperbaiki yang telah dirusak. Buka mata hati, karena jika tidak, kita semua tinggal menghitung mundur menuju kehancuran negara tercinta ini.

Jadilah bagian dalam mendorong perubahan bersama Mata Harimau, kamu bisa ikut menyelamatkan hutan alam yang tersisa disini www.greenpeace.or.id/mataharimau
Video perjalanan Navicula bersama Kepak Sayap Enggang - Tur Mata Harimau seri Kalimantan : http://youtu.be/OUpzGB5CDXI
Salam cinta dari rimba terakhir yang tersisa.

Source : link