Jakarta (ANTARA
News) - Yayasan Penyelamatan Orangutan Borne (Borneo Orangutan Survival
Foundation/BSOF) meminta Kementerian Kehutanan agar meringkankan lisensi
pengelolaan hutan Kalimantan yang ditujukan sebagai area konservasi,
seperti perlindungan orangutan.
"Untuk melestarikan orangutan, kami masih harus membayar kepada pemerintah," kata Pimpinan BSOF, Jamartin Sihite, selepas pembukaan pameran foto bertajuk "Orangutan: Rhyme & Blues" di Galeri Foto Jurnaslitik Antara Jakarta, Senin malam.
Pembayaran biaya yang dimaksud Martin, sapaan Jamartin, adalah lisensi pengelolaan hutan (HPH) restorasi sebagaimana yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang akan menebang hutan.
"Dalam aturan HPH restorasi, pemilik hutan diperbolehkan menebang (kayu) hutan setelah 20 tahun. Sedangkan kami tidak mungkin menebang hutan yang merupakan tempat hidup orangutan," kata Martin.
BSOF, menurut Martin, telah membayar sekitar 1,3 juta dolar AS atau Rp14 miliar demi memperoleh HPH restorasi untuk hutan seluas 86.460 hektar sebagai kawasan konservasi orangutan.
"Namun, tidak semua area itu layak dipakai sebagai konservasi orangutan karena harus memenuhi sejumlah kriteria," kata Martin.
Kriteria itu, lanjut Martin, antara lain lokasi yang jauh dari permukiman penduduk dan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.
Selain Kementerian Kehutanan, BSOF juga meminta keterlibatan pemerintah daerah tingkat I dan pemerintah daerah tingkat II di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur untuk menyediakan kawasan hutan pelestarian orangutan.
"Hingga akhir 2013 kami menargetkan 140 orangutan telah dilepas-liarkan," kata Martin.
Pada awal 2011, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto, berjanji akan melanjutkan rencana kemudahan regulasi bagi izin HPH Restorasi Ekosistem.
"Meski akan ada perbedaan pandang dengan Kementerian Keuangan terkait pendapatan negara dalam pengelolaan hutan," kata Hadi.
Source : link
"Untuk melestarikan orangutan, kami masih harus membayar kepada pemerintah," kata Pimpinan BSOF, Jamartin Sihite, selepas pembukaan pameran foto bertajuk "Orangutan: Rhyme & Blues" di Galeri Foto Jurnaslitik Antara Jakarta, Senin malam.
Pembayaran biaya yang dimaksud Martin, sapaan Jamartin, adalah lisensi pengelolaan hutan (HPH) restorasi sebagaimana yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang akan menebang hutan.
"Dalam aturan HPH restorasi, pemilik hutan diperbolehkan menebang (kayu) hutan setelah 20 tahun. Sedangkan kami tidak mungkin menebang hutan yang merupakan tempat hidup orangutan," kata Martin.
BSOF, menurut Martin, telah membayar sekitar 1,3 juta dolar AS atau Rp14 miliar demi memperoleh HPH restorasi untuk hutan seluas 86.460 hektar sebagai kawasan konservasi orangutan.
"Namun, tidak semua area itu layak dipakai sebagai konservasi orangutan karena harus memenuhi sejumlah kriteria," kata Martin.
Kriteria itu, lanjut Martin, antara lain lokasi yang jauh dari permukiman penduduk dan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.
Selain Kementerian Kehutanan, BSOF juga meminta keterlibatan pemerintah daerah tingkat I dan pemerintah daerah tingkat II di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur untuk menyediakan kawasan hutan pelestarian orangutan.
"Hingga akhir 2013 kami menargetkan 140 orangutan telah dilepas-liarkan," kata Martin.
Pada awal 2011, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto, berjanji akan melanjutkan rencana kemudahan regulasi bagi izin HPH Restorasi Ekosistem.
"Meski akan ada perbedaan pandang dengan Kementerian Keuangan terkait pendapatan negara dalam pengelolaan hutan," kata Hadi.
Source : link