Desa itu bernama Lahung, berada di wilayah kecamatan Loksado, Kalimantan Selatan. Desa yang berada di balik pegunungan Meratus yang terkenal akan bentang bukitnya yang berlapis lapis. Untuk sampai di tempat ini Tim Kepak Sayap Enggang, Tur Mata Harimau harus melewati sebuah jembatan gantung tua yang hanya cukup untuk kendaraan roda dua. Di desa inilah warga Dayak Meratus tinggal.
Memasuki desa Lahung pada Selasa, 18 September 2012, ketenangan dan kenyamanan desa sangat terasa. Berjam-jam sebelum itu kami melewati jalur panas, gersang dari areal penambangan batubara Kodeco bekas HPH. Begitu tiba di desa Lahung yang kami temui sungai jernih mengalir deras, dan hijau tumbuhan terlihat di mana mana menambah teduh, dan menghilangkan penat yang sudah bergumul padat di seluruh badan kami.
Pak Ayal Kosal, demang tetua desa Lahung, menyambut kedatangan kami bersama warganya di dalam balai adat yang di sebut Malaris. Sebuah rumah panggung yang besar dan luas, dengan aula yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan tempat upacara adat. Sajian makan malam khas desa Malaris pun telah disiapkan, ini semua sangat sempurna bagi perut kami yang kelaparan.
 
Malam itu di kehangatan Balai Adat Malaris, kami belajar banyak bagaimana sebuah kerifan lokal masyarakat adat bisa menjadi benteng penjaga kelestarian hutan. Pak Ayal berbagi kisah bagaimana Masyarakat Dayak Meratus membagi hutannya menjadi dua, yaitu hutan budidaya atau produksi, dan hutan lindung. Hutan lindungpun dibagi lagi menjadi dua, yaitu hutan lindung yang masih bisa dimanfaatkan kayu-kayunya, tapi hanya untuk keperluan pribadi seperti pembangunan rumah atau keperluan adat, dan dilarang keras untuk diperjualbelikan. Hutan lindung yang kedua adalah zona larangan, hutan ini sama sekali tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hukum ini diberlakukan kepada semua masyarakat, dan jika melanggar akan dikenakan denda yang cukup besar.
Saat ini masyarakat Dayak Meratus sedang melakukan pemetaan hutan lindungnya. Saat ini telah terdata seluas 8 ribu hektar. Pak Ayal juga menceritakan bahwa selain kayu-kayuan, hutan mereka juga menyediakan berbagai macam tanaman obat-obatan yang telah diwariskan pengetahuannya secara turun temurun dari zaman keturunan Dayak Meratus. Hasil bumi dan ladang seperti kayu manis, tanaman karet, padi, sangat mencukupi kebutuhan mereka, sehingga tidak pernah ada kisah kelaparan atau gagal panen melanda Loksado. Pernah suatu ketika ada investor ingin masuk membuka tambang di daerah tersebut, namun melihat dampak kerusakan yang diakibatkan pertambangan seperti di daerah tetangga mereka Tanah Bumbu, rencana pembukaan tambang seketika ditolak masyarakat dan akhirnya tidak pernah terwujud.
Delapan sumber mata air ada di pegunungan meratus, yang salah satunya mengalir melewati sungai di Desa Malaris dan mata air tersebut tak pernah kering meskipun musim kemarau. Dengan sumber air tersebut masyarakat membangun pembangkit listrik tenaga mikro hidro di Haratai secara swadaya yang memberikan penerangan gratis tanpa henti. Masyarakat menyadari penuh bahwa pertambangan akan merusak dan menghancurkan mata air tersebut, dan kerusakan yang diakibatkan tidak sebanding dengan bualan janji-janji keuntungan dari investor tambang yang akan didapatkan. Membuat alam dan hutan yang terjaga dengan baik telah memberikan penghidupan yang lebih dari cukup bagi Masyarakat Dayak Meratus, dan itu akan tetap ada untuk anak cucu mereka nanti. Ini adalah contoh nyata pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang harus didukung dan dilindungi dari ekspansi industri kehutanan, perkebunan, dan pertambangan skala besar yang telah merusak banyak bagian Bumi Kalimantan.
Waktu sangat cepat berlalu, Keesokan paginya kami meninggalkan Loksado dengan membawa pelajaran nyata, bahwa Alam akan memberikan apa saja yang kita butuhkan, namun alam tidak akan bisa mencukupi sebuah nafsu keserakahan.
Bergabunglah menjadi Mata Harimau di www.greenpeace.or.id/mataharimau dan bersama kita selamatkan hutan Indonesia.

Source : Link