Orangutan Sumatera (ilustrasi). Foto: Rhett A. Butler
Sejumlah organisasi yang bergerak dalam upaya konservasi satwa kini bersatu padu untuk menekan laju kepunahan di kawasan Asia Tenggara, dimana angka hilangnya habitat, perdagangan ilegal dan perburuan telah memberikan kontribusi luar biasa terhadap hilangnya sejumlah satwa unik di kawasan ini. Koalisi ini bernama ASAP, atau Asian Species Action Partnership.
“ASAP dimulai sebagai sebuah respon terhadap hasil kajian Daftar
Merah IUCN tahun 2008 silam tentang satwa-satwa yang terancam punah,”
ungkap salah sayu anggota Species Survival Commission dari IUCN kepada
mongabay.com.
Kajian ini menekankan pada fokus utama terhadap spesies-spesies yang
terancam di Asia Tenggara dan sejumlah spesies lainnya. Program yang
dilakukan akan dikoordinasikan dengan lembaga SSC IUCN atas nama
organisasi-organisasi yang ada di dalamnya. ASAP sendiri tidak akan
mengimplementasikan aktivitas konservasi secara langsung, namun mereka
akan bekerja untuk mendukung lembaga-lembaga konservasi dengan sejumlah
program terhadap sejumlah satwa di air tawar dan mamalia darat di Asia
Tenggara yang kini sudah masuk dalam kategori terancam dalam Daftar
Merah IUCN.
“Kami berharap ASAP bisa membantu memobilisasi dukungan yang saat ini
dibutuhkan segera dengan memberikan bantuan keahlian kami terhadap para
pelaku konservasi,” ungkap Robert lebih jauh.
Kendati masih seumur jagung, ASAP langsung bergerak cepat. Lembaga
ini sudah membentuk struktur untuk membantu menetapkan target,
menyediakan keahlian mereka dan mendorong kerjasama antar-lembaga.
Program ini termasuk diantaranya mengidentifikasi spesies dalam Daftar
Merah IUCN yang sesuai dengan kriteria ASAP.
Dalam daftar ini terdapat 154 spesies bertulang belakang yang masuk
dalam kategori ‘Kritis’ yang ada di daratan maupun air tawar di Asia
Tenggara. ASAP akan menggunakan daftar ini untuk menyesuaikan antara
aksi yang diperlukan dengan kebutuhan konservasi, termasuk pendanaan dan
informasi yang lebih spesifik, terutama untuk bisa mempengaruhi
pengambil kebijakan dan keputusan politik di level pemerintah dan
negara.
Saat ini banyak spesies yang ada di dalam daftar ini tidak masuk
dalam agenda konservasi, kendati mereka memiliki resiko tinggi
kepunahan. Sementara, ada juga sejumlah spesies yang menjadi target
utama konservasi saat ini, seperti badak Sumatera (Dicerorhinos
sumatranensis), tamaraw (Bubalus mindorensis), Buaya Siam (Crocodylus
siamensis), ikan lele raksasa sungai Mekong (Pangasianodon gigas, serta
sejumlah burung.
Kendati ASAP menargetkan untuk menekan laju kepunahan bagi 154
spesies yang ada di dalam daftar ini, namun program ini harus
memprioritaskan untuk mencegah agar sumber daya tersebar terlalu luas,
yang akan menyebabkan dampak yang terlalu kecil atau bahkan tak membawa
dampak positif terhadap spesies-spesies yang akan dilindungi tersebut.
Ancaman tingkat tinggi terhadap berbagai jenis spesies di Asia
Tenggara menjadi perhatian khusus karena wilayah ini merupakan kawasan
yang penting bagi satwa dan merupakan kawasan yang memiliki jumlah
spesies yang sangat melimpah. Banyak diantaranya merupakan spesies
penting untuk menjamin berlangsungnya ekosistem, dan hilangnya sejumlah
spesies akan menghilangkan keseimbangan ini.
Satu penjelasan yang signifikan untuk tingkat ancaman tinggi di
kawasan ini adalah bahwa 47,9 persen penduduk dunia tinggal di Asia
Tenggara atau negara-negara yang berdekatan Cina, Bangladesh dan India,
namun wilayah ini membentuk hanya 11,8 persen dari luas daratan Bumi.
Asia Tenggara sendiri mendukung hampir 9 persen orang dengan hanya 3
persen dari daratan Bumi, menurut sebuah laporan terbaru yang ditulis
oleh Duckworth dan organisasi mitra mereka.
Selain itu, yang juga berkontribusi terhadap hilangnya spesies adalah
konversi, fragmentasi dan degradasi hutan, terutama di dataran rendah.
Hutan telah dikonversi menjadi lahan pertanian perkebunan, terutama
kelapa sawit (Elaeis guineensis), karet (Hevea brasiliensis), dan perkebunan HTI untuk pulp and paper.
Selain itu, ancaman lainnya adalah negara-negara Asia Tenggara dan
sekitarnya menjadi salah satu pusat perdagangan ilegal dan perburuan
spesies untuk diperdagangkan.
“Diantara spesies yang ada di darat yang laris, permintaan terhadap
spesies dengan badan besar dan tidak berbulu -seperti mamalia dan reptil
sukuran tupai- sangat tinggi untuk dikonsumsi, karena dipercaya
memberikan dampak kekuatan bagi tubuh,” ungkap Duckworth. “Mereka bukan
obat, namun juga bukan makanan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi manusia.”
Perdagangan satwa juga berlaku bagi satwa yang ditangkap hidup-hidup
dan bagian tubuh mereka untuk menjadi pajangan. Cula badak dan gading
gajah, seperti juga sisik trenggiling menjadi pajangan yang menunjukkan
simbol status di beberapa kalangan masyarakat. Dengan perkembangan pasar
urban ini, permintaan tinggi terhadap sejumlah spesies ini telah
bergeser dari pasar lokal menjadi perdagangan jarak jauh di rentang yang
lebih luas.
Jika kecenderungan ini terus berlanjut, banyak spesies Asia Tenggara
akan punah dalam beberapa generasi manusia berikutnya, menurut laporan
tersebut.
CITATIONS Duckworth et al. Why South-East Asia should be the World’s
Priority for Averting Imminent Species Extinctions, and a Call to Join a
Developing Cross-Institutional Programme to Tackle this Urgent Issue.
(10 August 2012.). SAPIENS Vol 5 Issue 2 pp. 77-95. Report of ‘Asian
Species Action Partnership’ Meetings: Bangkok, Thailand, 9 March 2013;
Aceh, Indonesia, 21 March; Hanoi, Vietnam, 22 March 2013; Singapore, 4
April 2013.(2013). IUCN SSC.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar