Peta Pemanfaatan Hutan di Kalimantan. Klik untuk memperbesar peta.
Melakukan klasifikasi ulang terhadap konsesi penebangan sebagai hutan secara permanen dan mencegah wilayah ini dari konversi untuk keperluan industri perkebunan dinilai sebagai strategi efektif untuk membantu menjaga keberadaan hutan Indonesia yang mengalami laju kehilangan sangat cepat. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian terkini yang dimuat dalam sebuah jurnal ilmiah PLoS ONE baru-baru ini.Penelitian ini, yang melibatkan sejumlah peneliti mancanegara dan dipimpin oleh peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), menganalisa angka hilangnya hutan dalam berbagai zona pemanfaaran di Kalimantan. Dari hasil kajian ini ditemukan bahwa angka rata-rata deforestasi di konsesi perkebunan HTI dan kawasan lindung ternyata “tidak terlalu jauh berbeda”. Hasil temuan ini menyarankan agar konsesi penebangan yang ada saat ini bisa dikembalikan sebagai hutan secara permanen untuk mencegah konversi lebih lanjut sebagai perkebunan kelapa sawit. Hal ini dinilai akan membawa keuntungan bagi upaya konservasi hutan di Indonesia, ungkap para penulis penelitian ini.
“Kajian kami mengindikasikan bahwa klasifikasi yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia terhadap konsesi penebangan hutan alam sebagai
kawasan lindung dibawah aturan IUCN Protected Area Category VI, karena
mereka berfungsi sama efektifnya sebagai kawasan lindung dalam menjaga
tutupan hutan dan harus dilindungi agar tidak diubah atau diklasifikasi
ulang,” ungkap penelitian ini.
“Manambah wilayah eks konsesi penebangan sebagai kawasan lindung akan
meningkatkan luasan kawasan lindung di Kalimantan menjadi 248.305
kilometer persegi.”
Hal ini akan efektif untuk melindungi duapertiga kawasan hutan di
Kalimantan yang masih tersisa. Sementara konsesi penebangan itu sendiri
akan tetap bisa memberikan keuntungan bagi komunitas lokal, perusahaan
dan negara, dengan memberikan insentif keuangan yang baik dengan menjaga
kawasan ini. Insentif inilah yang saat ini tidak ada dalam kawasan
lindung di Indonesia, yang semakin menderita akibat parahnya perambahan,
penebangan ilegal, kebakaran hutan dan deforestasi terkait ketiadaan
dana. Kendati mereka memberikan catatan khusus terhadap keterbatasan dana
dalam pengelolaan hutan, para peneliti tidak menganjurkan untuk mengubah
kawasan lindung menjadi konsesi penebangan. Mereka justru melihat bahwa
konsesi penebangan yang sudah ada saat ini sebagai solusi yang murah
unruk meningkatkan luasan area konservasi. Selain itu, kendati hutan
yang pernah ditebang secara selektif memiliki keragaman hayati yang
lebih rendah dan lebih rentan terhadap kekeringan dan kebakaran
dibanding hutan yang lebih tua, mereka memiliki nilai konservasi yang
jauh lebih tinggi dan menyimpan karbon lebih banyak dibanding perkebunan
kelapa sawit.
“Hutan yang sudah pernah ditebang masih bisa menjadi habitat yang
bernilai bagi orangutan dan berbagai spesies lainnya,” tulis penelitian
ini, yang juga melibatkan tiga orang pakar orangutan. “Pembuatan Taman
Nasional Sebangau seluas 5.686 kilometer persegi di tahun 2004, dimana
area ini sudah pernah menjadi wilayah konsesi penebangan di tahun
1990an, namun kini tetap tetap menjadi salah satu habitat orangutan
terbesar di Kalimantan, hal ini mengindikasikan bahwa Pemerintah
Indonesia mulai memahami nilai dari hutan yang pernah ditebang
sebelumnya untuk konservasi keragaman hayati.
Indonesia saat ini tengah menjalankan moratorium penebangan hutan
alam dan tidak menerbitkan perizinan bagi pembukaan hutan baru di
hutan-hutan yang sudah tua. Moratorium ini adalah bagian dari bantuan
pendanaan dari Norwegia yang berupaya untuk menekan deforestasi di
Indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki laju deforestasi
tertinggi di dunia. Antara tahun 2009 hingga 2011 negeri ini kehilangan
sekitar 620.000 hektar hutan per tahun, atau lebih, dibandingkan angka
kehilangan hutan di kawasan Amazon Brasilia.
CITATION: Gaveau DLA, Kshatriya M, Sheil D, Sloan S, Molidena E, et al. (2013)Reconciling Forest Conservation and Logging in Indonesian Borneo. PLoS ONE 8(8):e69887. doi:10.1371/journal.pone.0069887
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar