Di Sulsel, dari 214 ribu hektar hutan mangrove tahun 1980-an, tersisa sekitar 20%, atau terdegradasi hingga 80% dalam 30 tahun terakhir. Foto: Wahyu Chandra
Keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir memiliki andil cukup besar mengurangi pemanasan global. Sayangnya, hutan mangrove mengalami degradasi besar-besaran, terutama di Sulawesi Selatan (Sulsel). Untuk itu, perlu upaya bersama mempertahankan dan menjaga keberadaan mangrove.
Demikian antara lain, poin penting dari diskusi bertema “Dampak
Pemanasan Global bagi Lingkungan,” oleh Oxfam di Gedung Graha Pena,
Makassar, Kamis (21/8/13). Hadir sebagai narasumber antara lain,
Agustinus Wahyu Irianto dari Oxfam Sulsel, Musmahendra dari Komisi Amdal
Sulsel, dan Taufik Kasaming, Walhi Sulsel.
Agustinus mengatakan, penanaman mangrove skala besar, akan berdampak
nyata dalam mengurangi pemanasan global. “Sebuah penelitian pernah
dilakukan Oxfam menunjukkan dalam satu hektar mangrove bisa menghasilkan
karbon 70 ton per tahun. Berarti upaya penyelamatan mangrove sangat
penting dalam mengurangi pemanasan global.”
Namun, keadaan saat ini justru menunjukkan hutan mangrove makin
terkikis. Untuk Sulsel, dari 214 ribu hektar hutan mangrove tahun
1980-an, tersisa sekitar 20 persen, alias mengalami degradasi sampai 80
persen dalam 30 tahun terakhir.
Penyebabnya, eksploitasi berlebihan dan konversi lahan dari menjadi
tambak secara besar-besaran serta makin massif revitalisasi pantai, yang
dialihfungsi sebagai kawasan industri dan wisata.
Ironisnya, puluhan ribu hektar hutan mangrove yang sudah dikonverasi
menjadi tambak kini terbengkalai. Tambak-tambak tak produktif
ditinggalkan begitu saja. Lalu, mencari kawasan lain sebagai lokasi
tambak baru.
Program restoring coastal livelyhood (RCL) Oxfam di Sulsel antara lain, konservasi lahan mangrove dengan metode ecological mangrove rehabiliation. Ini tidak melalui penanaman, tetapi memperbaiki kondisi ekologis daerah pesisir agar kondusif bagi pertumbuhan mangrove.
Oxfam juga menguatkan ekonomi masyarakat pesisir, khusus kalangan
perempuan. Mereka dari 21 desa, 12 kecamatan di empat kabupaten yaitu
Barru, Pangkajene Kepulauan, Takalar dan Maros. Mereka diajarkan
membentuk kelompok usaha berbasis potensi daerah, hingga tak lagi semata
menggantungkan hidup dari hasil eksploitasi mangrove.
Musmahendra mengatakan, degradasi hutan mangrove selama ini, khusus
di Sulsel, tak terlepas dari penegakan hukum lemah. Dalam aturan, saat
rencana eksplorasi pada radius 50 meter dari garis pantai harus memiliki
Amdal. Dalam Amdal ini akan diketahui bagaimana dampak pembangunan pada
berbagai habitat di daerah itu, termasuk keberadaan mangrove, lengkap
dengan nama dan jenis mangrove. “Ini yang kadang kurang diperhatikan dan
diabaikan.” Yang terjadi, meskipun sudah dipatok kawasan-kawasan yang
bisa dibangun, namun batasan ini bisa dipindahkan tanpa ada sanksi
jelas.
Untuk itu, dia menyarankan perlu mempertegas zona-zona kawasan
pesisir, hingga dalam pemanfaatan tetap sesuai peruntukan tanpa
mengabaikan kondisi lingkungan.
Sedang Taufik Kasaming, berbicara tentang kawasan pesisir terkait
ruang. Selama ini, ruang pesisir dilihat sebagai obyek, yang memberikan
ruang sebesar-besarnya pada kapitalis untuk mengeksploitasi tanpa
mempertimbangkan kualitas lingkungan.
Kondisi diperparah kala kebijakan tak berpihak lingkungan karena ada
dominasi kelompok-kelompok pengusaha di dewan, yang menjadi dapur
regulasi. “Saat ini, sekitar 46 persen anggota dewan dari kalangan
pengusaha, mungkin hanya 4% kalangan aktivis. Jadi bisa diperkirakan
bagaimana kualitas regulasi. Pasti banyak berpihak kepentingan kapitalis
alih-alih pada kepedulian lingkungan.”
0 komentar:
Posting Komentar