Wilayah penelitian dan pengambilan sampel survey terhadap masyarakat desa di Kalimantan.
Nyaris duapertiga warga desa yang disurvei di sepanjang wilayah hutan di Kalimantan, baik di wilayah Indonesia dan Malaysia ternyata menentang penebangan hutan yang mengakibatkan dampak berbahaya terhadap lingkungan dan kehidupan mereka. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian yang dilakukan di 185 komunitas warga di kawasan tersebut. Penelitian yang dilakukan selama lebih dari setahun ini dilakukan oleh tim peneliti mancanegara dan sudah dipublikasikan di jurnal ilmiah PLOS ONE.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa orang-orang yang tinggal di
sekitar hutan adalah yang paling bergantung pada jasa lingkungan yang
disediakan, dan mampu mereka nikmati, termasuk tanaman untuk pengobatan,
permainan, air bersih dan serat.
“Kami menemukan bahwa 65% warga desa yang diwawancara di sepanjang
wilayah Kalimantan menantang penebangan hutan dalam skala besar karena
dampak negatif yang mereka alami terhadap komunitas mereka, bagi
pendapatan mereka, bagi lingkungan dan akses mereka terhadap hasil
hutan,” ungkap penulis utama penelitian ini, dari Borneo Futures
Initiative, Erik Meijaard dalam pernyataannya. “Selain tanaman obat,
mayoritas komunitas di Kalimantan memanfaatkan hutan dari hasil berburu,
mencari ikan, kayu, pertambangan, gaharu dan kacang-kacangan.”
Riset yang mengambil kesimpulan dari sekitar 1.837 responden di
Kalimantan ini menemukan bahwa pendapat warga terkait deforestasi
biasanya tergantung skalanya. Penebangan dalam skala kecil untuk
kebutuhan lahan pertanian biasanya paling umum dilakukan, sementara
penebangan dalam skala besar untuk keperluan perkebunan kelapa sawit dan
Hutan Tanaman Industri biasanya dinilai sebagai pembawa dampak negatif.
Hanya sebagian kecil, atau sekitar 20% warga yang mendukung konversi
hutan dalam skala besar, biasanya untuk pengembangan perkebunan kelapa
sawit.
Selain itu, dalam studi ini melihat bahwa masyarakat sudah memiliki
‘kesadaran yang tinggi’ tentang dampak deforestasi, termasuk kenaikan
suhu udara, polusi udara dan hilangnya sumber air bersih.Para peneliti menyatakan bahwa hasil kajian ini bisa memberikan
informasi bagi pembuat kebijakan, termasuk menekan terjadinya potensi
konflik sosial, dimana hal ini banyak bermunculan di kawasan-kawasan
yang marak terjadi konversi hutan, termasuk di Sarawak dan wilayah
Kalimantan di Indonesia. Selain itu hal ini juga bisa memperkuat hak-hak
masyarakat adat, dan pendekatan yang berbasis komunitas dalam tata guna
lahan.
“Kami melakukan kajian ini agar bisa memberikan gambaran terhadap
pemerintah lokal dan nasional pada saat mereka melakukan perencanaan
untuk pembangunan, seperti misalnya perkebunan skala besar dan
pertambangan karena beberapa desa lebih terbuka dibanding yang lainnya
untuk pembangunan semacam ini,” ungkap salah satu penulis penelitian
ini, Dr. Marc Ancrenaz dari lembaga konservasi yang berbasis di Sabah,
Malaysia bernama HUTAN. “Mencari lahan dimana komunitas lokal paling
bisa menerima jenis perkebunan ini bisa menekan potensi konflik sosial.”
Penelitian ini muncul sekitar dua tahun setelah Pemerintah Indonesia
mengatakan akan ‘Memahami, Menghormati dan Melindungi’ hak-hak
masyarakat di sekitar hutan, termasuk masyarakat asli, untuk
mengimplementasikan program menekan laju deforestasi. Sementara di bulan
Mei silam, Pemerintah Indonesia lewat Mahkamah Konstitusi mulai
mengakui puluhan juta hektar hutan adat yang berada di bawah kelola
masyarakat adat.
Isu hak atas tanah menjadi salah satu isu terpenting dan paling lama
dalam sektor kehutanan di Indonesia dan Malaysia. Sebagian besar hutan
Kalimantan dikuasai oleh negara, dimana secara historis memberikan
konsesi kepada perusahaan-perusahaan penebangan raksasa. Komunitas lokal
nyaris tak kebagian, dan hanya terciprat sebagian kecil dari
pemanfaatan kayu. Tanpa hak kepemilikan yang jelas terhadap lahan,
komunitas hanya mendapat insentif yang sangat kecil untuk menolak
penebangan ilegal atau mengelola hutan untuk jangka panjang. Model
pengelolaan ini -dimana sudah berperan terhadap pengabaian hak
kepemilikan tanah tradisional di berbagai wilayah- telah mendorong
kerusakan lahan dalam skala besar di ekosistem yang sangat kaya. Menurut
studi yang dilakukan tahun 2011 oleh Jukka Miettinen, Kalimantan
kehilangan sekitar 5 juta hektar hutan atau 12% dari tutupan hutan
antara tahun 2000 hingga 2010. Sementara lahan gambut di pulau ini juga
musnah seperempatnya dalam jangka waktu yang sama.
Tujuan Borneo Futures Initiatives adalah berupaya mengubah pola pikir
orang yang memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan dan tata
kelola hutan di Kalimantan.
CITATION:
Meijaard E, Abram NK, Wells JA, Pellier A-S, Ancrenaz M, et al.
(2013) People’s Perceptions about the Importance of Forests on Borneo.
PLoS ONE 8 (9): e73008. doi:10.1371/journal.pone.0073008
Jukka Miettinen, Chenghua Shi dan Soo Chin Liew. Deforestation rates
in insular Southeast Asia between 2000 and 2010. Global Change Biology
(2011) 17, 2261-2270, doi:10.1111/j.1365-2486.2011.02398.x
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar