skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Jumat, 27 September 2013

Kabupaten Berau Dorong Taman Pesisir Kepulauan Derawan Sebagai Kawasan Perikanan dan Wisata Bahari

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News
Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy

Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy

Pemerintah Kabupaten Berau mengalokasikan wilayah seluas 285.266 hektar sebagai kawasan taman pesisir, yang akan dikembangkan sebagai kawasan kegiatan perikanan dan wisata bahari yang berkalanjutan dengan sistem zonasi. Upaya ini dilakukan untuk melindungi kelestarian keragaman hayati di wilayah perairan di Propinsi Kalimantan Timur bagian utara tersebut.
Pembentukan kawasan konservasi laut yang diberi nama Taman Pesisir Kepulauan Derawan ini akan diajukan ke Kementerian Perikanan dan Kelautan untuk meraih legalitas dan mendapat penetapan resmi. Penetapan ini diharapkan bisa terlaksana bertepatan dengan Festival Derawan yang digelar bulan September 2013.
Inisiasi taman pesisir ini telah dimulai sejak pertengahan tahun 2012 silam oleh berbagai pihak di Kabupaten Berau. Diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Berau, Pusat Kajian dan Inovasi Perikanan dan Sumberdaya Pesisir Universitas Mulawarman dan The Nature Conservancy.
“Taman Pesisir Kepulauan Derawan adalah proses lanjutan dari Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang telah diinisiasi oleh Pemkab Berau sejak tahun 2005. Diharapkan dengan ditetapkannya Taman Pesisir Kepulauan Derawan melalui SK Bupati No. 516 tahun 2013, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sebagai upaya melestarikan ekosistem pesisir dan laut untuk tujuan pariwisata dan kesejahteraan masyarakat, dapat terlaksana dengan baik dan didukung oleh semua pihak terkait baik pemerintah, swasta dan masyarakat” ungkap Fuadi, kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Berau.
Peluncuran Taman Pesisir Derawan di Kabupaten Berau. Foto: The Nature Conservancy
Peluncuran Taman Pesisir Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau. Foto: The Nature Conservancy
Hal senada diungkapkan oleh Country Director The Nature Conservancy, Rizal Algamar, “Kami harapkan Taman Pesisir Kepulauan Derawan dapat terwujud dan terkelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat terutama mereka yang hidupnya tergantung pada laut dan sumberdaya pesisir.”
Taman Pesisir Kepulauan Derawan adalah bagian dari Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle), pusat keanekaragaman hayati ekosistem terumbu karang dunia yang juga kerap disebut sebagai “Amazon of the Sea”. Coral Triangle melibatkan enam negara yaitu Filipina, Malaysia, Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon.
Pembentukan Taman Pesisit Kepulauan Derawan ini juga sebagai bagian dari upaya memenuhi target pembentukan kawasan konservasi laut seluas 20 juta hektar, seperti tertung dalam UU nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Source : link
0 komentar

Pemahaman GPS Untuk Dukung Pengelolaan Berbasis Resort TN Bukit Duabelas

Diposting oleh Maysatria Label: Lain lain, News
Taman Nasional Bukit Duabelas. Sumber: Google Map
Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) adalah salah satu dari 4 taman nasional yang ada di Provinsi Jambi. Taman nasional yang memiliki luas 60.500 hektar ini berlokasi di 3 kabupaten yaitu kabupaten Batanghari, Sarolangun dan Tebo. Selain memiliki fungsi sebagai kawasan konservasi sumber daya alam taman nasional ini juga berfungsi sebagai ruang hidup Orang Rimba sebagai kelompok masyarakat marginal yang kehidupannya bergantung pada hutan. Ini membuat pengelolaan kawasan TNBD sedikit kompleks.
Namun seperti taman nasional lainnya di Indonesia TNBD juga memiliki masalah perambahan, pembalakan liar, perkebunan yang mengakibatkan berkurangnya luasan hutan di kawasan ini. Berangkat dari kondisi ini KKI Warsi menyelenggarakan Pelatihan dan Pemetaan Dasar untuk pemula. Pelatihan ini berlangsung selama 4 hari ini dan diikuti oleh staf Balai TNBD, masyarakat desa dan orang rimba.
“Aspek paling penting yang dipelajari dalam pelatihan ini adalah peserta dapat memahami materi, menganalisis peta dan dapat mengaplikasikaannya di lapangan” jelas Askarinta Adi, Koordinator GIS KKI Warsi yang bertindak sebagai pemberi materi. Ia juga menerangkan bahwa pelatihan ini berfokus pada penguasaan peserta dalam mengoperasikan alat GPS (Global Positioning System), pemetaan tingkat dasar serta input dan analisis data.
Peri Hermansyah, salah satu peserta pelatihan yang juga merupakan staf Balai TNBD mengatakan bahwa pelatihan ini sangat membantu kegiatan pendataan dengan sistem berbasis resort karena saat ini TNBD tengah mengupayakan pengelolaan kawasan berbasis resort. “Pengelolaan kawasan dengan sistem resort ini akan memudahkan pengawasan dan pengamanan kawasan” ujar Peri. Pelatihan bersama ini juga diharapkan dapat meningkatkan kerjasama antar berbagai pihak yang bekerja untuk TNBD karena untuk menyelamatkan taman nasional ini diperlukan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan secara kolaboratif yang juga mampu merangkul komunitas yang ada disekitarnya.
Merujuk pada data yang dimiliki oleh KKI Warsi  ada sekitar 7.000 hektar hutan di kawasan ini yang telah berubah menjadi areal perladangan. Berdasarkan analisis citra satelit TM 5 dari 1989-2008, terlihat bagaimana kawasan ini terus menerus kehilangan hutannya. Pada 1989-1993 taman nasional ini kehilangan hutan seluas 34.671 hektar atau dengan laju kerusakan mencapai 8.668 hektar/tahun. Selanjutnya deforestasi mendekati konstan dari 1993 hingga 2008 yaitu sekitar 2.344 hektar/tahun. Melihat kondisi ini, jika tidak ada upaya penyelamatan yang dilakukan, maka berdasarkan analisis yang dilakukan Warsi hutan di Bukit Duabelas jika tidak ada upaya yang dilakukan untuk menyelamatkannya, maka kawasan TNBD akan hilang pada tahun 2034.

Source : link
0 komentar

Hutan Lindung di Sulawesi jadi Sasaran Konversi Lahan

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News
Kawasan Wallacea  memuat seluruh Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku, dikenal dengan kekayaan flora dan fauna. Sayangnya, kekayaan alam ini terancam hancur dengan maraknya berbagai aktivitas manusia, termasuk alih fungsi lahan, pembalakan liar, dan eksploitasi tambang. Foto: Burung Indonesia

Kawasan Wallacea memuat seluruh Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku, dikenal dengan kekayaan flora dan fauna. Sayangnya, kekayaan alam ini terancam hancur dengan maraknya berbagai aktivitas manusia, termasuk alih fungsi lahan, pembalakan liar, dan eksploitasi tambang. Foto: Burung Indonesia

Konversi lahan menjadi ancaman besar bagi keberlangsunan keragaman hayati di Sulawesi, lebh parah lagi banyak terjadi di hutan lindung. Alih fungsi lahan ini antara lain menjadi pertambangan, pemukiman, maupun tambak.
Hal ini menjadi salah satu point dalam workshop para pemangku kepentingan Penyusunan Profil Ekosistem Wallacea di Makassar, 24-25 September 2013. Kegiatan ini dilaksanakan Burung Indonesia, Wildlife Conservation Society, BirdLife International, The Samdhana Institue, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan lautan IPB dan didukung Dana Kemitraan Ekosistem Kritis (CEPF).
Ria Saryanthi, Koordinator Tim Biodiversity Penyusunan Profil Ekosistem Wallacea, mengatakan, meski banyak isu lingkungan yang teridentifikasi tetapi alih fungsi lahan yang paling banyak terjadi.
Ironisnya, sejumlah lahan yang teralihfungsi banyak berada di kawasan hutan lindung, seperti di Barambang Katute, Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan (Sulsel).
“Beberapa isu lain juga teridentifikasi, seperti illegal logging, illegal fishing, reklamasi pantai, pengambilan terumbu karang menjadi bahan bangunan dan penangkapan satwa. Ditemukan juga limbah hasil buangan tambang, seperti terjadi di Sulawesi Tenggara,” katanya Rabu, (25/9/13).
Selain merangkum berbagai isu lingkungan di sejumlah daerah di Sulawesi, diskusi ini juga mendapatkan informasi tambahan terkait spesies langka di Sulawesi, sebagai salah satu kawasan terbesar dari Wallacea.
Dalam Workshop ini tim berhasil mendapatkan usulan penambahan 50 key biodiversity area (KBA) baru. Salah satu Hutan Routa terletak di Kecamatan Routa, Kabupaten Konawe dan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, disulkan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Tenggara (BKSDA) dan masyarakat Sultra.
Yaki, salah satu spesies endemik Sulawesi, terutama Sulawesi Utara, yang terancam dari habitat yang hilang sampai perburuan untuk dipelihara maupun dikonsumsi warga. Foto: Sapariah Saturi
Adhi Andriyamsyah dari BKSDA Sultra, mengatakan, kawasan hutan seluas kurang lebih 700.000 hektar di perbatasan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara itu menjadi habitat keragaman hayati terancam punah. Jenis-jenis itu seperti anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi), anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), kayu kalappia (Kalappia celebica), kayu bayam (Intsia bijuga), hada (Macaca ochreata), dan kayu hitam (Diospyros celebica).
Hutan Routa juga menjadi habitat bagi satwa endemik Sulawesi, seperti elang Sulawesi (Nisaetus lanceolatus). Routa memiliki keunikan lain karena salah satu situs arkeologi asal usul Suku Tolaki. Namun, daerah penting ini terancam karena mulai tergusur investasi perkebunan sawit dan tambang. Land clearing kurun 10 tahun terakhir merusak vegetasi dan habitat satwa sekaligus mengancam ketersediaan sumber air bersih warga.
Dengan menjadi KBA, Adhi berharap, kawasan ini bisa mendapat perhatian CEPF atau pemerintah maupun pemerhati lingkungan. Selain Routa, ada sejumlah daerah lain yang diusulkan masyarakat Sulawesi menjadi KBA, antara lain Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara dan Tanakeke di Sulsel.
Meski demikian, kata Ria, status KBA tak mengubah lokasi menjadi kawasan konservasi. “Sebenarnya kita tidak berupaya menciptakan kawasan konservasi baru. Identifikasi KBA salah satu bentuk strategi CEPF untuk menentukan prioritas dukungan serta menggerakkan para pelaku konservasi di tingkat lokal, regional, maupun global guna menciptakan visi konservasi yang sama.” Strategi ini disusun agar bantuan CEPF dapat memberi dampak paling efektif.
Strategi CEPF,  fokus pada konservasi spesies terancam secara global, kawasan-kawasan prioritas, dan koridor konservasi—daerah yang menghubungkan habitat-habitat kunci keragaman hayati. CEPF berharap, bisa memberi sumbangsih pada pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi masyarakat.
Saat ini, Tim biodiversity Penyusunan Profil Ekosistem Wallacea berhasil mengidentifikasi 293 calon KBA dengan total 13,89-juta hektar, baik di kawasan konservasi maupun bukan. Dari jumlah itu, 230 area KBA darat dan 63 KBA laut. Sulawesi memiliki KBA terbanyak yaitu 117 disusul Nusa Tenggara dengan 114 KBA termasuk Timor-Leste memiliki 16 KBA darat dan satu KBA laut serta Maluku 62 KBA.
Khusus Sulawesi, wilayah Sulawesi Utara memiliki KBA terbanyak yaitu 30. Di Gorontalo ada delapan KBA, Sulawesi Tengah 22, Sulawesi Barat tujuh, Sulawesi Selatan 22 dan Sulawesi Tenggara 22 KBA.
Jenis berupa hibah utama Rp400 juta–Rp1, 25 miliar (18 – 24 bulan), melalui CEPF di Amerika Serikat. Ada juga hibah kecil di bawah Rp200 juta (12 bulan), melalui lembaga pelaksana di tingkat lokal.
Salah satu masalah lingkungan di Sulawesi Selatan adalah alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak. Ironisnya, ketika tambak  tidak lagi produktif dibiarkan terbengkalai. Foto: Wahyu Chandra
Salah satu masalah lingkungan di Sulawesi Selatan adalah alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak. Ironisnya, ketika tambak tidak lagi produktif dibiarkan terbengkalai. Foto: Wahyu Chandra

Source : link
0 komentar

Senin, 23 September 2013

Penelitian: Pengambilan Hiu Berlebihan Oleh Nelayan Indonesia Pengaruhi Kesuburan Terumbu Karang

Diposting oleh Maysatria Label: News, Sains dan Teknologi
marine_0473

Nelayan Indonesia ternyata memiliki dampak siginifikan terhadap keberlangsungan kehidupan ikan hiu, bahkan hingga ke perairan negeri tetangga. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal PLoS ONE. Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa pengambilan ikan hiu secara berlebihan telah memberi dampak bagi terumbu karang.
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan kajian monitoring jangka panjang terhadap terumbu karang di sisi barat laut Australia. Dalam penelitian ini penulis penelitian ini, Jonathan Rupert dari Universitas Toronto di Kanada serta Universitas York, membandingkan beberapa struktur terumbu karang yang berbentuk seperti atol. Beberapa dari terumbu karang ini adalah wilayah yang dilindungi, dan selebihnya terbuka untuk pengambilan untuk nelayan Indonesia yang menggunakan teknik pengambilan ikan tradisional. Nelayan Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengambil spesies yang bernilai tinggi seperti ikan hiu.
Akibat pengambilan ikan hiu yang berlebihan, akan memengaruhi perubahan-perubahan ekologis di habitat tersebut.
“Terumbu karang memberikan kemampuan unik untuk mengisolasi dampak dari pengambilan berlebihan terhadap ikan hiu dan memberikan ketahanan pada karang-karang dengan lebih baik serta memperlihatkan bahwa dampak yang lebih luas dari perubahan iklim bisa mengancam terumbu karang,” ungkap Ruppert. “Pengambilan ikan hiu memberikan dampak yang dramatis bagi ekosistem terumbu karang.”
“Jika jumlah ikan hiu berkurang akibat pengambilan secara berlebihan, hal ini juga akan menurunkan jumlah ikan-ikan pemakan tumbuhan yang memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan terumbu karang.”
“Hasil anaslis kami memperlhatkan bahwa, dimana terjadi penurunan jumlah ikan hiu, kami juga melihat perubahan yang fundamental dalam struktur rantai makanan terhadap terumbu karang,” ungkap salah satu penulis penelitian ini, Mark Meekan. “Kami melihat adanya kenaikan jumlah predator menengah seperti ikan kakap, dan menurunnya jumlah ikan herbivora seperti ikan Kokatau atau Parrotfish. Ikan ini sangat penting untuk kesehatan terumbu karang karena mereka memakan ganggang yang akan menyulitkan terumbu karang muda untuk tumbuh.”
Temuan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa terumbu karang yang langka ikan hiu akan lebih lambat untuk mengembalikan kondisi akibat proses kerusakan jangka panjang, seperti angin topan dan pemutihan karang. Selain itu hasil penelitian ini juga menyarankan bahwa perlindungan terhadap terumbu karang yang kecil dari pengambilan ikan hiu bisa membuat ekosistem ini lebih tahan terhadap perubahan iklim.
“Tingkat kesehatan hiu-hiu di sekitar terumbu karang bisa menjadi target strategi dalam pengelolaan untuk memastikan tingkat ketahanan ekosistem terumbu karang,” menurut kesimpulan para ahli.

CITATION: Ruppert JLW, Travers MJ, Smith LL, Fortin M-J, Meekan MG (2013) Caught in the Middle: Combined Impacts of Shark Removal and Coral Loss on the Fish Communities of Coral Reefs. PLoS ONE 8(9): e74648. doi:10.1371/journal.pone.0074648

Source : link
0 komentar

Kekayaan Hayati: Genus Baru Pengerat Ditemukan di Maluku Utara

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News
Halmaheramys bokimekot bukan sekedar spesies baru, tapi juga genus baru yang ditemukan di Maluku Utara Indonesia. Foto: Universitas Kopenhagen

Halmaheramys bokimekot bukan sekedar spesies baru, tapi juga genus baru yang ditemukan di Maluku Utara Indonesia. Foto: Universitas Kopenhagen

Satu genus baru satwa pengerat ditemukan di hutan pegunungan di Halmahera, di Maluku Utara. Satwa dengan ciri jumbai yang keras, serta berbulu dan memiliki ujung ekor berwarna putih ini ditemukan di wilayah dimana dahulu Alfred Wallace menguraikan teori evolusinya kepada Cahrles Darwin.
Kawasan Maluku Utara memang kaya dengan keragaman hayati, namun wilayah ini sekaligus terancam akibat meluasnya bisnis pertambangan dan penebangan. Dengan penemuan spesies ini diharapkan terus mendorong eksplorasi terhadap kawasan ini untuk mencari berbagai spesies yang masih misterius. Temuan baru ini sudah dipublikasikan oleh para ahli di jurnal ilmiah Zoological Journal of the Linnean Society.
Dalam upaya menemukan dan mempelajari spesies baru ini, para ahli dari Universitas Kopenhagen dan Museum Zoologi Bogor menggunakan perangkap berupa kelapa yang dibakar dan selai kacang yang ditaruh di batang pohon dan liang-liang. Dari hasil tangkapan ini ternyata juga terjerat seekor hewan pengerat yang sebelumnya belum pernah diketahui, memiliki bulu abu-abu kecoklatan di punggungnya dan bagian perut berwarna putih.
Setelah dianalisis DNA satwa pengerat ini dan mempelajari ciri-ciri fisik seperti tengkorak dan giginya, para ahli sepakat bahwa satwa ini bukan sekedar spesies baru, namun juga sebuah genus baru. Satwa ini dinamai Halmaheramys bokimekot, nama Boki Mekot diambil dari kawasan pegunungan di Halmahera yang kini terancam oleh pertambangan dan deforestasi.
Spesies ini adalah omnivora, yang memakan serangga dan  vegertasi. Foto: Universitas Kopenhagen
Spesies ini adalah omnivora, yang memakan serangga dan vegertasi. Foto: Universitas Kopenhagen
Temuan baru ini sekaligus memperlihatkan betapa besar kekayaan hayati di wilayah ini yang bahkan belum diketahui hingga saat ini, dan makna penting keberadaan mereka bagi konservasi,” ungkap peneliti utama Pierre-Henri Fabre, dari Pusat Makroekologi, Evolusi dan Iklim di Universitas Kopenhagen. “Sangat penting bagi para ekologis untuk mengunjungi pulau ini untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut.”
Hingga saat ini hanya enam individu dari spesies baru ini yang sudah ditangkap untuk dipelajari: tiga jantan dewasa dan tiga betina. Hanya sedikit dari kebiasaan spesies ini yang sudah diketahui, tetapi menurut para ahli mereka kemungkinan adalah omnivora, setelah para ahli menemukan sisa sayuran dan serangga di dalam perut mereka usai melakukan pembedahan. “Penemuan ini menunjukkan betapa kayanya kehidupan yang masih ada di kepulauan Indonesia,” ungkap salah satu penulis, Kristpfer Helgen dari Smithsonian Institution, di Washington DC, AS.
Profesor Helgen adalah salah satu anggota tim yang juga menemukan tikus raksasa yang yang hidup di Papua Nugini dan mamalia baru di Kolombia bernama Olinguito. “Nampaknya masih lebih banyak jumlah spesies mamalia di Indonesia yang belum ditemukan dibandingkan di negara-negara lain di dunia ini,” sambung Profesor Helgen.
Penemuan spesies pengerat ini sekaligus membuktikan pertanda bagaimana mamalia berevolusi dan menyebar melalui wilayah pijakan seperti di Maluku – yang dikenal sebagai saah satu tempat lahirnya Teori Evolusi. Di tahun 1858, pakar ilmu alam Inggris Sir Alfred Wallace dahulu menjelaskan kepada Charles Darwin tentang pengembangan jenis spesies baru.

Source : link
0 komentar

Penelitian: Kesadaran Global Meningkat, Bangunan Ramah Lingkungan Marak

Diposting oleh Maysatria Label: News, Sains dan Teknologi
Penataan bangunan hijau dalam tata kota Jakarta, masih jauh panggang dari api saat ini. Foto: Aji Wihardandi

Penataan bangunan hijau dalam tata kota Jakarta, masih jauh panggang dari api saat ini. Foto: Aji Wihardandi

Kajian global membuktikan bahwa meningkatnya pembangunan bangunan dengan kategori ‘hijau’ merupakan sebuah tolok ukur keberhasilan dalam mengimpelementasikan regulasi yang ramah lingkungan dan meningkatnya kesadaran publik terhadap lingkungan dan alam. Pembangunan gedung-gedung raksasa di kawasan urban yang hemat energi, kini menjamur di berbagai belahan dunia.
Dalam studi yang dikeluarkan oleh McGraw Hill Construction tahun lalu menunjukkan peningkatan yang pesat ini. Lebih dari 800 lembaga pembangun gedung di seluruh dunia yang berhasil disurvey di 65 negara sudah merencanakan untuk membangun lebih dari 60% bangunan hijau dalam proyek-proyek mereka di tahun 2015. Angka ini mengalami kenaikan sebanyak 28% dari tahun 2012 dan 13% dibandingkan tahun 2009 silam.
Dalam sebuah survey terpisah yang dilakukan oleh firma Johnson Controls yang dirilis bulan Juni 2013 silam dan dilakukan di 10 negara menunjukkan bahwa kepedulian secara global terhadap efisiensi energi meningkat sebanyak 116% sejak tahun 2010.
Foto: Aji Wihardandi
Jakarta, salah satu kota yang rentan bencana alam tanpa penataan bangunan yang ramah lingkungan dan hemat energi. Foto: Aji Wihardandi
Dalam sebuah diskusi tentang tren regional dan global bangunan hijau, Wakil Presiden McGraw Hill, Harvey Bernstein menyatakan bahwa melonjaknya kesadaran untuk membangun gedung yang ramah lingkungan ini tidak hanya terpusat di satu kawasan atau negara saja, namun menyebar secara global. Angka kenaikan gedung yang ramah lingkungan di Afrika Selatan meningkat hingga tiga kali lipat, naik dua kali lipat di Jerman, Norwegia dan Brasil, serta tumbuh antara 33 hingga 68% di Amerika Serikat, SIngapura, Inggris Raya, Uni Emirat Arab dan Australia.
Jika di masa lalu pemicu utama untuk mendirikan gedung yang ramah lingkungan adalah hanya untuk “melakukan hal yang benar”, seperti dimuat dalam kajian tahun 2008, namun d tahun 2012 dorongan bisnis atas permintaan pasar dan klien merupakan alasan kunci untuk membangun gedung-gedung yang ramah lingkungan. Dengan kata lain, gedung ramah lingkungan kini menjadi sebuah kebutuhan dalam bisnis.
Tidak hanya di negara-negara maju di belahan dunia Barat, studi ini juga mengungkap bahwa Benua Asia tidak kalah dalam kenaikan jumlah gedung yang ramah lingkungan. Singapura adalah salah satu negara di Asia yang mengalami kenaikan jumlah bangunan hijau paling signifikan. KIni, sekitar 64% proyek pembangunan di Singapura adalah bangunan hijau, Pemicu utama dari meningkatnya angka pembangunan gedung yang ramah lingkungan di SIngapura adalah peran pemerintah yang sangat aktif untuk menciptakan kebijakan yang ketat terhadap daya dukung lingkungan setempat. Sementara di beberapa negara lain, pencitraan dan kepentingan humas masih menjadi alasan utama untuk membangun gedung yang ramah lingkungan.
Namun, meningkatnya pembangunan bangunan hijau ini masih menyisakan kendala, terutama dari sudut pandang biaya, lemahnya kesadaran publik dan lemahnya dukungan pemerintah atau kurangnya insentif bagi pembangunan bangunan ramah lingkungan.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Presiden Johnson Controls yang menyatakan bahwa keterbatasan dana menjadi penyebab pemilik gedung membangun gedung yang masih belum efisien secara energi. Hal ini terutama diikuti oleh lamanya jangka waktu kembalinya investasi yang ditanam dan ketidakjelasan suku bunga perbankan.
Sementara itu, menurut Direktur C40 Sustainable Communities Initiative bahwa kunci untuk mengatasi hal ini ada di sektor publik dan pemegang otoritas dalam pemerintahan lokal yang memiliki kekuasaan terhadap kebijakan. “Walikota dan pemerintah kota memiliki kekuasaan dan harus memiliki keinginan kuat untuk melawan perubahan iklim,” ungkapnya. Dalam catatannya, kota-kota yang berhadapan langsung dengan pesisir di dunia ini mencapai 90%, dan mereka semua beresiko terdampak bencana jika gagal mengatasi hal ini.
Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Di tanah air, peraturan terkait bangunan hijau ini baru mulai diaplikasikan bulan April 2013 silam oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Semua sekolah dan semua lembaga pendidikan dengan luas 10.000 meter persegi atau lebih, semua hotel dan pusat kesehatan dengan luas lebih dari 20.000 meter persegi, pusat perbelanjaan, kompleks apartemen dan perkantoran lebih dari 50.000 meter persegi, akan terkena peraturan ini. Berdasar data dari pemerintah kota, sekitar 200 bangunan mask ke dal am kriteria ini.
Dalam peraturan baru ini, ada lima kategori yang harus dipenuhi pemilik gedung untuk memenuhi kriteria ramah lingkungan. Pertama adalah manajemen bangunan. Untuk bangunan baru penerapan peraturan ini dimulai sejak masa pembangunan konstruksi, namun bagi bangunan lama penerapan peraturan ini hanya diberlakukan dalam operasional gedung sehari-hari.
Komponen kedua adalah efisiensi energi, yang fokus menekan konsumsi energi dengan memaksimalkan penggunaan pencahayaan alami. Ketiga adalah konservasi air. Semua bangunan harus menerapkan penggunaan air yang efisien, daur ulang air dan memiliki penyimpan air.

Source : link
0 komentar

Harapan Baru bagi Hutan Mangrove di Kepulauan Tanakeke

Diposting oleh Maysatria Label: Mangrove, News
Ratusan hektar tanaman mangrove mengelilingi Kepulauan Tanakeke, yang menjaga pulau dari hantaman ombak, khusus  di musim  angin kencang. Untuk penyelamatan mangrove dari penebangan liar, warga dan pemerintah desa menginisiasi  Peraturan Desa tentang Pengelolaan Mangrove. Foto: Wahyu Chandra

Ratusan hektar tanaman mangrove mengelilingi Kepulauan Tanakeke, yang menjaga pulau dari hantaman ombak, khusus di musim angin kencang. Untuk penyelamatan mangrove dari penebangan liar, warga dan pemerintah desa menginisiasi Peraturan Desa tentang Pengelolaan Mangrove. Foto: Wahyu Chandra

Namanya Kepulauan Tanakeke. Ia sebuah gugusan terdiri dari 12 pulau, membentang sepanjang pesisir selatan Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Kawasan ini satu dari sekian daerah yang menjadi sasaran program restoring coastal livelihood (RCL). Ini peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir oleh Oxfam, yang dilaksanakan mitranya, Mangrove Action Project (MAP) Indonesia dan Yayayan Konservasi Laut (YKL) Sulsel.
Kawasan ini tak hanya kaya sumber daya perairan. Ia juga dikenal dengan bentangan sabuk hijau, yaitu ratusan hektar hutan mangrove yang mengelilingi kawasan itu. Mencapai pulau ini, satu-satunya jalur laut dengan speed boat kecil. Transportasi ini bisa ditemui di dermaga Takalar Lama, Kecamatan Mappakasunggu, sekitar lima kilometer dari Kota Takalar. Tiap hari ada jadwal penyeberangan, kecuali ke beberapa pulau kecil, hanya pada hari-hari pasar: Selasa dan Sabtu.
Saya berangkat menuju Pulau Tompotana, salah satu pulau terpadat dan teramai di kepulauan ini dengan populasi 1.118 jiwa dan 313 keluarga. Untuk menempuh Tompotana, perlu waktu sekitar satu jam, biaya sekali jalan Rp15.000. Jadwal keberangkatan perahu biasa berkisar antara pukul 09-11 pagi, setiap hari. Sedangkan jadwal kembali keesokan hari pada pukul 6.00 pagi, menyesuaikan pasang surut air laut.
Di sepanjang perjalanan menuju kawasan ini banyak hutan mangrove. Hutan ini mengelilingi pulau seperti sebuah sabuk hijau. Sayangnya, di beberapa titik terlihat banyak lokasi-lokasi bolong, kemungkinan mangrove telah ditebang. Di balik mangrove itu terlihat bentangan tambak yang terlindungi dari arus laut.
Informasi dari MAP Indonesia, hutan mangrove di kawasan ini berkurang karena penebangan liar untuk keperluan kayu bakar dan bangunan, juga konversi lahan menjadi tambak era 1980-an. Kala tambak tak produktif lagi, ditinggalkan begitu saja.
Abbasiah Nutta, warga Tanekeke mengatakan, pengelolaan hutan mangrove di Tanekeke memiliki sejarah panjang. Contoh, di Pulau Bangkotapampang, hutan mangrove tumbuh sejak ratusan lalu. Dari luar, hutan mangrove masih terlihat rimbun tetapi hanya tersisa 51,55 hektar.
Tajuddin Erang, Kepala Desa Tompotana, yang saya temui di rumahnya, yang berjarak beberapa meter dari garis pantai, membenarkan cerita Bangkotapampang. Kawasan ini sejak dulu dikenal sebagai hutan mangrove, yang penebangan harus seizin pemerintah lokal. Dulu disebut gallarang, atau setingkat pemerintahan kecamatan saat ini. Dulu, penebangan mangrove di tempat ini hanya bisa pada kondisi-kondisi tertentu.
“Dulu ada yang disebut pajak jiwa atau sima, yang wajib dibayarkan setiap orang ke gallarang. Warga miskin yang tidak sanggup membayar sima diberi alternatif mengambil kayu mangrove di Bangkotapampang untuk diserahkan ke gallarang sebagai ganti pembayaran sima,” ucap Tajuddin.
Untuk penebangan mangrove pun dulu memiliki aturan tersendiri, yakni hanya menebang pohon di bagian tengah, dan menyisakan bagian pinggir. Dengan metode ini, bagian tengah yang sudah ditebangi mudah ditumbuhi tunas baru, karena terjaga mangrove yang mengelilingi.
Dalam perkembangan, eksploitasi mangrove di Bangkotapampang menjadi tidak terkendali. Warga yang tidak memiliki lahan kemudian mengambil mangrove di Bangkotapampang ini.
Hutan mangrove juga banyak ditemui di sekitar pesisir pulau dan biasa dimiliki warga. Luasan mencapai ratusan hektar. Jika milik pribadi, sulit melarang warga menebangi pohon-pohon itu.
Berkurangnya hutan mangrove di Tanakeke menyisakan masalah tersendiri. Kawasan pesisir pulau menjadi rentan, apalagi di musim-musim angin kencang. Sumber penghidupan warga sekitar pun berkurang, yang bisa menangkap kepiting dan ikan di sela-sela akar mangrove.  “Mungkin karena kesadaran inilah hingga ketika ada tawaran Oxfam merehabilitasi mangrove langsung mendapat respon positif dari masyarakat,” kata Tajuddin.
Sebagian warga menggantungkan hidup dari penjualan kayu mangrove, yang biasa dijual ke Makassar. Mangrove ini biasa  dari lahan mereka sendiri. Foto: Wahyu Chandra
Sebagian warga menggantungkan hidup dari penjualan kayu mangrove, yang biasa dijual ke Makassar. Mangrove ini biasa dari lahan mereka sendiri. Foto: Wahyu Chandra
Yusran Nurdin Massa, Peneliti senior MAP Indonesia, mengatakan, dengan pendekatan ini efektivitas tumbuh mangrove cukup besar dibandingkan cara konvensional, melalui penanaman langsung. “Pendekatan selama ini lebih banyak gagal karena bibit mangrove ditanam di kawasan yang justru tidak kondusif untuk pertumbuhan mangrove.”
Selain itu, mereka juga menginisiasi pembentukan regulasi pengelolaan mangrove tingkat desa, yaitu dengan melahirkan Peraturan Desa Pengelolaan Mangrove. Pembuatan peraturan desa ini melibatkan partisipasi warga dan pemerintah desa setempat, mulai dari penyusunan draf hingga sosialisasi.
Perdes ini dinilai penting karena persoalan mangrove di kawasan pesisir tidak hanya menyangkut pelestarian lingkungan hidup juga keberlanjutan penghidupan ekonomi masyarakat sekitar. “Yang kita ingin bangun di sini sebenarnya sistem. Jika ingin menebang mangrove, walau di lahan sendiri juga ada aturan. Jadi tidak seenaknya membabat hutan mangrove hanya karena merasa kepunyaan sendiri,” kata Tajuddin.
Pembuatan perdes ini dikerjakan melalui kolaborasi lima desa di Kepulauan Tanakeke, yaitu Desa Tompotana, Bangko Tinggia, Balandatu Pesisir, Mattiro Baji dan Rewatae.
Hingga saat ini, perdes sudah tahap finalisasi dan uji publik, sebelum ditetapkan menjadi aturan resmi. “Kita punya waktu tiga bulan untuk sosialisasi draf Perdes kepada masyarakat, sambil menunggu masukan atau kritikan.”
Menurut Tajuddin, menyatukan seluruh warga untuk menyetujui draf perdes bukanlah perkara mudah. Pertentangan warga selalu ada. “Ada warga yang berpikir kenapa mereka harus diberi sanksi jika mangrove ditebang adalah milik sendiri. Setelah dijelaskan, ada yang bisa mengerti, ada juga yang belum sepenuhnya menerima. Ini memang perlu proses.”
Salah satu poin dalam perdes ini adalah aturan penanaman dan penebangan mangrove beserta sanksi bagi yang melanggar. Dalam perdes ini, diatur pemilik lahan mangrove tebang pilih dan tetap menyisakan beberapa pohon induk ketika menebang. Bagi yang melanggar dikenakan sanksi dengan mengganti pohon yang ditebang dua kali harga jual.
Ada pula sanksi bagi warga yang menebang pohon mangrove warga lain tanpa izin warga dan pemerintah desa setempat didenda Rp100 ribu per pohon.“Keberatan warga kebanyakan terkait sanksi kepada pemilik mangrove yang dianggap tidak adil. Denda dua kali dari nilai jual mangrove. Untuk pencurian, langsung ditetapkan. Sebenarnya kalau dicermati dengan baik justru sebaliknya. Ini hanya masalah ketidakpahaman,” kata Abbasiah.
Oxfam juga berupaya meningkatkan taraf hidup masyarakat Tanakeke, khusus perempuan. Para perempuan, yang sebagian besar tidak bisa baca tulis dan janda, diajari baca tulis. Mereka juga diajari berbagai macam cara pengolahan hasil laut, antara lain pembuatan krupuk ikan, krupuk cumi dan stik rumput laut. Mereka diberi fasilitas untuk peternakan bebek dan penanaman rumput laut.
Sampai saat ini, sudah ada tiga kelompok usaha perempuan terbentuk, yaitu Tamalanrea, Setia Kawan dan Panranuangku, masing-masing beranggotakan 20 orang. Unit usaha ini sudah produksi sejak setahun lalu dan produk dipasarkan hingga ke Kota Takalar, Jeneponto dan Makassar.
Tampak sisa-sisa 'rumah' mangrove yang sudah terkikis. Kehadiran mangrove di Kepulauan Tanakeke, sangat penting, antara lain untuk menjaga pulau dari hantaman ombak. Foto: Wahyu Chandra
Tampak sisa-sisa ‘rumah’ mangrove yang sudah terkikis. Kehadiran mangrove di Kepulauan Tanakeke, sangat penting, antara lain untuk menjaga pulau dari hantaman ombak. Foto: Wahyu Chandra
Narasia Dg Senge, Ketua Kelompok Usaha Perempuan Panrangungangku yang memproduksi stick rumput laut. Usaha ini sudah berjalan sejak setahun lalu dan sudah dijual di berbagai daerah sekitar Takalar, Jeneponto dan Makassar. Foto: Wahyu Chandra
Narasia Dg Senge, Ketua Kelompok Usaha Perempuan Panrangungangku yang memproduksi stick rumput laut. Usaha ini sudah berjalan sejak setahun lalu dan sudah dijual di berbagai daerah sekitar Takalar, Jeneponto dan Makassar. Foto: Wahyu Chandra

Source : link
0 komentar

Rabu, 18 September 2013

Penelitian Akan Ungkap Kerusakan dan Emisi Karbon Akibat Kegagalan Proyek Lahan Sejuta Hektar di Kalimantan

Diposting oleh Maysatria Label: News, Sains dan Teknologi
Profesor Mark Cochrane menyusuri saluran air yang dibuat untuk mengeringkan lahan gambut dalam penelitiannya. Foto: South Dakota State University

Profesor Mark Cochrane menyusuri saluran air yang dibuat untuk mengeringkan lahan gambut dalam penelitiannya. Foto: South Dakota State University

Rencana besar Pemerintah Indonesia di tahun 1996 untuk mengubah satu juta hektar lahan gambut menjadi lahan pertanian di Pulau Kalimantan telah menyebabkan Indonesia muncul sebagai negara ketiga terbesar di dunia dalam emisi karbon, menurut keterangan Profesor Mark Cochrane, salah satu peneliti senior di Geospatial Sciences Center for Exellence. Profesor Cochrane akan melakukan penelitian lanjutan terkait emisi karbon sebagai dampak kerusakan hutan dan lahan gambut di Kalimantan akibat gagalnya proyek Lahan Sejuta Hektar ini.
Penelitian ini akan menggunakan citra satelit, penelitian lapangan dan modelling untuk menghitung kerusakan akibat kegagalan proyek ini. dengan dana 2,2 juta dollar dari NASA, peneltian ini diharapkan akan bisa membantu Forest Research and Development Agency (FORDA) Kementerian Kehutanan RI untuk mengatasi kebakaran di lahan gambut di Indonesia.
Proyek bernama Mega Rice Project atau ‘Lahan Sejuta Hektar’ hampir dua dekade lalu ini, rencananya berniat mengubah lahan gambut di Kalimantan menjadi wilayah pertanian demi memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia, namun sayang kondisi tanah yang ada tidak mendukung untuk dijadikan lahan pertanian, ungkap Profesor Cochrane. “Ini berubah menjadi sebuah bencana besar,” ungkap Profesor Cochrane, yang meneliti proyek deforestasi serupa di Brasil dan Australia.
Sementara itu Jack Rieley, Direktur Kalimantan Tropical Peat Swamp Forest Research Project dan Wakil Presiden dari International Peat Society menyebut proyek ini sebagai ‘Penggunaan lahan gambut tropis yang paling salah saat ini.’
Mantan Presiden Suharto saat itu memerintahkan pembuatan selokan-selokan raksasa sepanjang nyaris 5.000 kiloemter untuk mengeringkan lahan gambut dan menebangi pepohonan yang ada di hutan.
Kerusakan pun terjadi sangat parah di lahan gambut di Pulau Kalimantan yang menjadi lokasi proyek ini, akibat hilangnya kandungan organik yang ada di dalam tanah yang telah berusia puluhan ribu tahun di dalam lahan gambut sedalam 10 meter, jelas Cochrane. Dalam kondisi normal, lahan gambut ini tidak membusuk atau terbakar. Saat lahan gambut dikeringkan, kandungan organisme di dalamnya mulai mati dan membusuk serta melepaskan jutaan ton karbon ke udara.
Kondisi gambut yang mengering menjadi mudah terbakar, dan munculnya titik api mempercepat proses oksidasi, terutama di musim kering dimana banyak bermunculan titik api yang tidak bisa dikendalikan akibat keringnya gambut ini. Secara tidak sengaja, Indonesia telah menyalakan bencananya sendiri di Kalimantan dengan mengeringkan lahan gambut untuk penebangan kayu, perburuan, dan pertanian.
Sebuah tim peneliti dari Jerman memperkirakan pada kebakaran hutan dan lahan gambut tahun 1997 telah melepaskan antara 0,87 hingga 2,57 miliar ton karbon ke atmosfer.
Profesor Cochrane
Profesor Cochrane di tengah lahan gambut yang terbakar di Kalimantan. Foto: South Dakota State University
Memantik api di lahan gambut secara perlahan akan membakar lapisan-lapisan organisme di tanah, dan api ini hanya bisa padam jika lahan ini terendam air, jelas Profesor Cochrane lebih lanjut. Api yang sudah menyala di lahan gambut bisa bertahan selama berminggu-minggu bahkan berbulan bulan serta mengeluarkan asap yang sangat tebal yang merusak kesehatan manusia.
Untuk menentukan seberapa besar dampak kerusakan akibat dari kebakaran lahan ini, Profesor Cochrane akan mempelajari data dari tahun 1996 untuk memperoleh angka perkiraan kerusakan di atmosfer akibat kebakaran ini.
“Emisi Karbon dari perubahan tutupan lahan sangat berpengaruh secara signifikan secara global,” jelas Cochrane. Menurut perkiraan sementara kerusakan ini bisa mencapai sekitar 40% dari total emisi karbon akibat dari bahan bakar fosil di dunia selama beberapa tahun.
Terkait pertanyaan apakah lahan gambut ini bisa kembali seperti semula, sang peneliti tidak menjamin, karena hal ini sangat tergantung seberapa serius pihak pemerintah mengembalikan kondisi hodrologi wilayah ini. Terutama menutup saluran air yang kini digunakan sebagai jalan, dan harus menghindari pembakaran lahan lebih lanjut.

Source : link
0 komentar

Harapan Baru bagi Hutan Mangrove di Kepulauan Tanakeke

Diposting oleh Maysatria Label: Mangrove, News
Ratusan hektar tanaman mangrove mengelilingi Kepulauan Tanakeke, yang menjaga pulau dari hantaman ombak, khusus  di musim  angin kencang. Untuk penyelamatan mangrove dari penebangan liar, warga dan pemerintah desa menginisiasi  Peraturan Desa tentang Pengelolaan Mangrove. Foto: Wahyu Chandra

Ratusan hektar tanaman mangrove mengelilingi Kepulauan Tanakeke, yang menjaga pulau dari hantaman ombak, khusus di musim angin kencang. Untuk penyelamatan mangrove dari penebangan liar, warga dan pemerintah desa menginisiasi Peraturan Desa tentang Pengelolaan Mangrove. Foto: Wahyu Chandra

Namanya Kepulauan Tanakeke. Ia sebuah gugusan terdiri dari 12 pulau, membentang sepanjang pesisir selatan Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Kawasan ini satu dari sekian daerah yang menjadi sasaran program restoring coastal livelihood (RCL). Ini peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir oleh Oxfam, yang dilaksanakan mitranya, Mangrove Action Project (MAP) Indonesia dan Yayayan Konservasi Laut (YKL) Sulsel.
Kawasan ini tak hanya kaya sumber daya perairan. Ia juga dikenal dengan bentangan sabuk hijau, yaitu ratusan hektar hutan mangrove yang mengelilingi kawasan itu. Mencapai pulau ini, satu-satunya jalur laut dengan speed boat kecil. Transportasi ini bisa ditemui di dermaga Takalar Lama, Kecamatan Mappakasunggu, sekitar lima kilometer dari Kota Takalar. Tiap hari ada jadwal penyeberangan, kecuali ke beberapa pulau kecil, hanya pada hari-hari pasar: Selasa dan Sabtu.
Saya berangkat menuju Pulau Tompotana, salah satu pulau terpadat dan teramai di kepulauan ini dengan populasi 1.118 jiwa dan 313 keluarga. Untuk menempuh Tompotana, perlu waktu sekitar satu jam, biaya sekali jalan Rp15.000. Jadwal keberangkatan perahu biasa berkisar antara pukul 09-11 pagi, setiap hari. Sedangkan jadwal kembali keesokan hari pada pukul 6.00 pagi, menyesuaikan pasang surut air laut.
Di sepanjang perjalanan menuju kawasan ini banyak hutan mangrove. Hutan ini mengelilingi pulau seperti sebuah sabuk hijau. Sayangnya, di beberapa titik terlihat banyak lokasi-lokasi bolong, kemungkinan mangrove telah ditebang. Di balik mangrove itu terlihat bentangan tambak yang terlindungi dari arus laut.
Informasi dari MAP Indonesia, hutan mangrove di kawasan ini berkurang karena penebangan liar untuk keperluan kayu bakar dan bangunan, juga konversi lahan menjadi tambak era 1980-an. Kala tambak tak produktif lagi, ditinggalkan begitu saja.
Abbasiah Nutta, warga Tanekeke mengatakan, pengelolaan hutan mangrove di Tanekeke memiliki sejarah panjang. Contoh, di Pulau Bangkotapampang, hutan mangrove tumbuh sejak ratusan lalu. Dari luar, hutan mangrove masih terlihat rimbun tetapi hanya tersisa 51,55 hektar.
Tajuddin Erang, Kepala Desa Tompotana, yang saya temui di rumahnya, yang berjarak beberapa meter dari garis pantai, membenarkan cerita Bangkotapampang. Kawasan ini sejak dulu dikenal sebagai hutan mangrove, yang penebangan harus seizin pemerintah lokal. Dulu disebut gallarang, atau setingkat pemerintahan kecamatan saat ini. Dulu, penebangan mangrove di tempat ini hanya bisa pada kondisi-kondisi tertentu.
“Dulu ada yang disebut pajak jiwa atau sima, yang wajib dibayarkan setiap orang ke gallarang. Warga miskin yang tidak sanggup membayar sima diberi alternatif mengambil kayu mangrove di Bangkotapampang untuk diserahkan ke gallarang sebagai ganti pembayaran sima,” ucap Tajuddin.
Untuk penebangan mangrove pun dulu memiliki aturan tersendiri, yakni hanya menebang pohon di bagian tengah, dan menyisakan bagian pinggir. Dengan metode ini, bagian tengah yang sudah ditebangi mudah ditumbuhi tunas baru, karena terjaga mangrove yang mengelilingi.
Dalam perkembangan, eksploitasi mangrove di Bangkotapampang menjadi tidak terkendali. Warga yang tidak memiliki lahan kemudian mengambil mangrove di Bangkotapampang ini.
Hutan mangrove juga banyak ditemui di sekitar pesisir pulau dan biasa dimiliki warga. Luasan mencapai ratusan hektar. Jika milik pribadi, sulit melarang warga menebangi pohon-pohon itu.
Berkurangnya hutan mangrove di Tanakeke menyisakan masalah tersendiri. Kawasan pesisir pulau menjadi rentan, apalagi di musim-musim angin kencang. Sumber penghidupan warga sekitar pun berkurang, yang bisa menangkap kepiting dan ikan di sela-sela akar mangrove.  “Mungkin karena kesadaran inilah hingga ketika ada tawaran Oxfam merehabilitasi mangrove langsung mendapat respon positif dari masyarakat,” kata Tajuddin.
Sebagian warga menggantungkan hidup dari penjualan kayu mangrove, yang biasa dijual ke Makassar. Mangrove ini biasa  dari lahan mereka sendiri. Foto: Wahyu Chandra
Sebagian warga menggantungkan hidup dari penjualan kayu mangrove, yang biasa dijual ke Makassar. Mangrove ini biasa dari lahan mereka sendiri. Foto: Wahyu Chandra
Yusran Nurdin Massa, Peneliti senior MAP Indonesia, mengatakan, dengan pendekatan ini efektivitas tumbuh mangrove cukup besar dibandingkan cara konvensional, melalui penanaman langsung. “Pendekatan selama ini lebih banyak gagal karena bibit mangrove ditanam di kawasan yang justru tidak kondusif untuk pertumbuhan mangrove.”
Selain itu, mereka juga menginisiasi pembentukan regulasi pengelolaan mangrove tingkat desa, yaitu dengan melahirkan Peraturan Desa Pengelolaan Mangrove. Pembuatan peraturan desa ini melibatkan partisipasi warga dan pemerintah desa setempat, mulai dari penyusunan draf hingga sosialisasi.
Perdes ini dinilai penting karena persoalan mangrove di kawasan pesisir tidak hanya menyangkut pelestarian lingkungan hidup juga keberlanjutan penghidupan ekonomi masyarakat sekitar. “Yang kita ingin bangun di sini sebenarnya sistem. Jika ingin menebang mangrove, walau di lahan sendiri juga ada aturan. Jadi tidak seenaknya membabat hutan mangrove hanya karena merasa kepunyaan sendiri,” kata Tajuddin.
Pembuatan perdes ini dikerjakan melalui kolaborasi lima desa di Kepulauan Tanakeke, yaitu Desa Tompotana, Bangko Tinggia, Balandatu Pesisir, Mattiro Baji dan Rewatae.
Hingga saat ini, perdes sudah tahap finalisasi dan uji publik, sebelum ditetapkan menjadi aturan resmi. “Kita punya waktu tiga bulan untuk sosialisasi draf Perdes kepada masyarakat, sambil menunggu masukan atau kritikan.”
Menurut Tajuddin, menyatukan seluruh warga untuk menyetujui draf perdes bukanlah perkara mudah. Pertentangan warga selalu ada. “Ada warga yang berpikir kenapa mereka harus diberi sanksi jika mangrove ditebang adalah milik sendiri. Setelah dijelaskan, ada yang bisa mengerti, ada juga yang belum sepenuhnya menerima. Ini memang perlu proses.”
Salah satu poin dalam perdes ini adalah aturan penanaman dan penebangan mangrove beserta sanksi bagi yang melanggar. Dalam perdes ini, diatur pemilik lahan mangrove tebang pilih dan tetap menyisakan beberapa pohon induk ketika menebang. Bagi yang melanggar dikenakan sanksi dengan mengganti pohon yang ditebang dua kali harga jual.
Ada pula sanksi bagi warga yang menebang pohon mangrove warga lain tanpa izin warga dan pemerintah desa setempat didenda Rp100 ribu per pohon.“Keberatan warga kebanyakan terkait sanksi kepada pemilik mangrove yang dianggap tidak adil. Denda dua kali dari nilai jual mangrove. Untuk pencurian, langsung ditetapkan. Sebenarnya kalau dicermati dengan baik justru sebaliknya. Ini hanya masalah ketidakpahaman,” kata Abbasiah.
Oxfam juga berupaya meningkatkan taraf hidup masyarakat Tanakeke, khusus perempuan. Para perempuan, yang sebagian besar tidak bisa baca tulis dan janda, diajari baca tulis. Mereka juga diajari berbagai macam cara pengolahan hasil laut, antara lain pembuatan krupuk ikan, krupuk cumi dan stik rumput laut. Mereka diberi fasilitas untuk peternakan bebek dan penanaman rumput laut.
Sampai saat ini, sudah ada tiga kelompok usaha perempuan terbentuk, yaitu Tamalanrea, Setia Kawan dan Panranuangku, masing-masing beranggotakan 20 orang. Unit usaha ini sudah produksi sejak setahun lalu dan produk dipasarkan hingga ke Kota Takalar, Jeneponto dan Makassar.
Tampak sisa-sisa 'rumah' mangrove yang sudah terkikis. Kehadiran mangrove di Kepulauan Tanakeke, sangat penting, antara lain untuk menjaga pulau dari hantaman ombak. Foto: Wahyu Chandra
Tampak sisa-sisa ‘rumah’ mangrove yang sudah terkikis. Kehadiran mangrove di Kepulauan Tanakeke, sangat penting, antara lain untuk menjaga pulau dari hantaman ombak. Foto: Wahyu Chandra
Narasia Dg Senge, Ketua Kelompok Usaha Perempuan Panrangungangku yang memproduksi stick rumput laut. Usaha ini sudah berjalan sejak setahun lalu dan sudah dijual di berbagai daerah sekitar Takalar, Jeneponto dan Makassar. Foto: Wahyu Chandra
Narasia Dg Senge, Ketua Kelompok Usaha Perempuan Panrangungangku yang memproduksi stick rumput laut. Usaha ini sudah berjalan sejak setahun lalu dan sudah dijual di berbagai daerah sekitar Takalar, Jeneponto dan Makassar. Foto: Wahyu Chandra

Source : link
0 komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ►  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ▼  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ▼  September (36)
      • Kabupaten Berau Dorong Taman Pesisir Kepulauan Der...
      • Pemahaman GPS Untuk Dukung Pengelolaan Berbasis Re...
      • Hutan Lindung di Sulawesi jadi Sasaran Konversi Lahan
      • Penelitian: Pengambilan Hiu Berlebihan Oleh Nelaya...
      • Kekayaan Hayati: Genus Baru Pengerat Ditemukan di ...
      • Penelitian: Kesadaran Global Meningkat, Bangunan R...
      • Harapan Baru bagi Hutan Mangrove di Kepulauan Tana...
      • Penelitian Akan Ungkap Kerusakan dan Emisi Karbon ...
      • Harapan Baru bagi Hutan Mangrove di Kepulauan Tana...
      • Mongabay.org Berikan Bantuan Dana 20.000 Dollar AS...
      • Penelitian: Asia Tenggara, Salah Satu Kawasan Pali...
      • Energi Terbarukan, Jawaban Jitu Atasi Eksploitasi ...
      • Mereka yang Temukan Peluang Usaha dari Menjaga Lin...
      • Kerusakan Hutan Menyebabkan Bencana
      • Seekor Harimau Dikuliti Setelah Berusaha Menerkam ...
      • Penelitian: Mayoritas Warga Desa di Kalimantan Tol...
      • Selesai Seminar Proposal Skripsi
      • Pengendali Hama dari Tanaman dan Gulma yang Ramah ...
      • Program Bina Desa Himpunan Mahasiswa Kehutanan Uni...
      • Akhirnya Badan Pengelola REDD+ Terbentuk
      • GPS Monitoring Gajah di Sekitar TN Bukit Tigapuluh...
      • Penelitian: Indonesia Harus Ubah Wilayah Konsesi P...
      • Buaya Senyulong Langka Muncul di Hutan Harapan Jambi
      • Burung Gereja, Si Mungil di Sekitar Kita
      • Kala Duet Tim Laman-Ed Scholes 8 Tahun Merekam 39 ...
      • Ratusan Titik Api Kembali Membakar Sumatera
      • Habitat Pari Manta dan Penyu di Derawan Masih Rawa...
      • Salah Satu Harimau Sumatera Korban Racun di Taman ...
      • Spesies Utama Semakin Terancam, Asia Tenggara Rapa...
      • Konservasi Orangutan Harus Diseriusi
      • Penelitian: Para Pakar Berhasil Petakan Sebaran Hi...
      • Terbukti Bakar Hutan, Akhirnya Manajer Perusahaan ...
      • Harimau Sumatera dan Singa Afrika Mati Diracun di ...
      • Aul Kini Penghuni Baru Hutan Lindung Gunung Tarak
      • Perlu Kepedulian Bersama Menjaga Mangrove
      • Korupsi Hutan Alam Riau, Negara Rugi Rp687 Triliun
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |