Hutan tropis di Indonesia menurut berbagai literatur dinyatakan sebagai emas hijau yang merupakan bagian dari rangkaian zamrud khatulistiwa dengan nilai keindahan dan kekayaan yang luar biasa. Sumberdaya hutan ini merupakan hutan hujan tropis terbesar ketiga setelah Zaire dan Brazil. Kekayaan alam yang dimiliki hutan tropis Indonesia sangat berlimpah terutama dalam hal biodiversitasnya. Kelimpahan dan keunikan biodiversitas yang dimiliki ternyata tidak hanya bermanfaat bagi bangsa Indonesia saja melainkan juga bermanfaat bagi seluruh masyarakat di dunia terutama dalam perannya sebagai penyangga ekosistem planet bumi.
Sebagai negara kepulauan, penyebaran aneka macam biografi Indonesia sangat dipengaruhi oleh ekosistem Indomalaya di bagian barat dan ekosistem Austratralia di bagian timur. Demikian pula, beberapa pulau kecil yang terpisah dari daratan yang luas membentuk suatu ekosistem khas dan spesifik serta menyatu dengan penduduk yang bermukim dan menghuni wilayah tersebut. Keadaan ini menjadikan Indonesia sebagai sebuah megaspesies yang sangat potensial, strategis dan multidimensi. Beberapa fakta melimpahnya kekayaan alam Indonesia dapat ditunjukkan oleh tingginya prosentase kekayaan alam yang dimiliki dibandingkan dengan wilayah lain di dunia.
Seiring dengan pesatnya pembangunan di Indonesia dan kekhawatiran dampaknya terhadap kelestarian sumberdaya hutan mendorong lahirnya berbagai kesepakatan tentang pembangunan berkelanjutan dan pelestarian hutan tropis. Kesepakatan-kesepakatan tersebut pada dasarnya mempunyai kesamaan prinsip dasar yaitu sumberdaya hutan merupakan sumberdaya publik sehingga bukan lagi hanya milik komunitas suatu negara saja melainkan seluruh komunitas dunia. Peran dan fungsi hutan yang bersifat multi dimensi dan lintas territorial menjadikan hutan Indonesia menjelma menjadi milik masyarakat dunia yang nantinya harus diwariskan kepada generasi mendatang melalui prinsip pengelolaan hutan lestari. Secara nyata melalui berbagai institusi dan lembaga swadaya masyarakat hutan tropis Indonesia diklaim sebagai paru-paru dunia yang harus dipertahankan.
Disamping keanekaragaman flora dari berbagai jenis tumbuhan tropis, Indonesia juga sangat kaya akan unsur-unsur fauna. Atas dasar perkembangan paradigma pengelolaan hutan maka pengelolaan hutan di masa mendatang bukan semata-mata hanya berupa hasil hutan tumbuhan berupa kayu. Pengelolaan tersebut juga dilakukan untuk memperoleh manfaat hasil hutan non kayu, termasuk didalamnya adalah berbagai jenis fauna yang hidup dan jasa-jasa lingkungan serta pariwisata. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia terutama dalam penetapan jenis-jenis binatang yang dilindungi undang-undang karena sifat keberadaannya mendekati kepunahan atau keunikan dan kekhasan yang dimilikinya.
Pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dilakukan oleh para rimbawan yang karena keprofesiannya berhubungan dengan hutan dan kehutanan. Rimbawan diartikan sebagai kelompok profesi yang bekerja bagi dan untuk mengelola sumberdaya hutan. Berbagai profesi yang termasuk kedalam kategori rimbawan meliputi pemikir, akademisi, pengelola, pelaksana serta pelaku industri dan bisnis, bahkan mereka yang bertindak sebagai pengamat hutan dan kehutanan.
Fattah (2002) mengelompokkan periode pengelolaan hutan di Indonesia menjadi dua kelompok besar yaitu sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan berdasarkan penelusuran dengan beragam dinamika dan gejolak sosial yang melanda Indonesia.
Periode pengelolaan hutan sebelum kemerdekaan dimulai pada masa penjajahan Belanda melalui VOC. Keberadaan sumberdaya hutan dieksploitasi dan diperdagangkan ke negara-negara Eropa bagi kepentingan sosial ekonomi VOC. Pada masa itu, VOC membuat aturan-aturan khusus dalam bentuk Bosch Ordonansi Jawa dan Madura tahun 1928 dan Bosch Verordening Jawa Madura tahun 1936. Melalui aturan-aturan ini dibuat model-model pengelolaan hutan dengan memanfaatkan kemampuan tenaga ahli dari Eropa seperti Bavaria dan Jerman. Pengurasan hasil hutan tanpa rencana yang baik semata-mata hanya untuk kepentingan ekonomi penjajah terus berlangsung hingga periode penjajahan Jepang. Pada saat itu, sumberdaya hutan hanya dieksploitasi hasilnya sebagaimana layaknya barang tambang. Akibat dari kegiatan eksploitasi yang berlebihan ini telah melahirkan suatu kerusakan hutan yang sangat parah.
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, praktek pengelolaan hutan mengalami perubahan yang sangat mendasar terutama dalam hal sumberdaya manusianya. Pada awal kemerdekaan, modal sumberdaya manusia kehutanan Indonesia berasal dari tenaga-tenaga menengah kehutanan lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA). Untuk mengatasi kekurangan sumberdaya manusia dengan kompetensi kehutanan pada tahun 1945 didirikan Akademi Kehutanan di Yogyakarta. Institusi pendidikan ini tidak berumur panjang karena serbuan Aksi Militer Belanda. Sebagai gantinya, pemerintah Belanda mendirikan sekolah kehutanan di Bogor dengan nama Hoofdencursus. Setelah penyerahan kedaulatan kepada pemerintah RI, sekolah tersebut berubah menjadi Kursus Kehutanan Lanjutan dan menjadi Akademi Kehutanan.
Suhendang (2004) mengelompokkan periode pengelolaan hutan di Indonesia dalam tiga periode yaitu pra-pengelolaan, pengelolaan berlandaskan prinsip kelestarian hasil, dan pengelolaan berlandaskan prinsip pengelolaan hutan lestari. Periode pra-pengelolaan ditandai dengan adanya eksploitasi sumberdaya hutan secara besar-besaran oleh VOC untuk diperdagangkan di Eropa.
Pengelolaan hutan berlandaskan prinsip kelestarian hasil mendasarkan pada pemikiran bahwa hutan dan manfaatnya merupakan hasil dan proses warisan alam yang harus dikelola dan dilestarikan. Pada awal perkembangan masa ini, pengelolaan hutan lebih ditujukan untuk menghasilkan kayu tanpa memperhatikan fungsi-fungsi lain walaupun fungsi-fungsi lain tersebut tetap dirasakan sebagai akibat adanya hutan. Metode pengelolaan hutan yang berkembang selama periode ini lebih didominasi oleh metode pengaturan hasil untuk hasil hutan kayu pada hutan sejenis dan seumur, hingga muncul konsep hutan normal yang dicetuskan oleh G.L. Hartig tahun 1791. Berdasarkan konsep hutan normal ini kemudian muncul berbagai metode dan formula untuk pengaturan hasil yang dapat menjamin kelestarian hasil. Metode Burn merupakan salah satu metode yang dikembangkan di Indonesia terutama dalam pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa setelah kemerdekaan. Metode ini dibuat dengan standar khusus untuk jati menggunakan tabel tegakan jati oleh Wolf von Wulfing yang kemudian dimodifikasi oleh Lembaga Penelitian Kehutanan pada tahun 1975 (Suhendang 2004). Manan (1997) menegaskan bahwa pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian hasil ini mengarahkan pada kontinuitas produksi, sehingga dalam waktu yang cukup awal, dapat diperoleh dan dicapai secara tahunan suatu keseimbangan antara pertumbuhan netto (riap) dan penebangan pemanenan.
Tahapan periode pengelolaan hutan yang terakhir menurut Suhendang (2004) adalah pengelolaan berlandaskan prinsip pengelolaan hutan lestari. Konsep pengelolaan hutan lestari ini secara eksplisit mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat untuk fungsi-fungsi ekonomi (produksi), ekologis (lingkungan) dan sosial ekosistem hutan secara optimal dan lestari. Untuk menjamin agar pelaksanaan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip tersebut dikembangkan standar dan baku mutu kinerja pengelolaan hutan yang dinyatakan dalam kriteria dan indikator. Penyusunan kriteria dan indikator pengelolaan hutan telah dirintis oleh ITTO pada tahun 1990. Di Indonesia, prinsip pengelolaan hutan lestari menggunakan standar kriteria dan indikator diterapkan pada pengelolaan hutan alam dan tanaman di luar Pulau Jawa maupun pada hutan tanaman di Pulau Jawa. Modifikasi-modifikasi standar kriteria dan indikator ini dikembangkan oleh Departemen Kehutanan, LEI, CIFOR dan lain-lain.
Pengelolaan hutan di Indonesia tidak hanya terfokus pada hutan-hutan di Pulau Jawa, tetapi juga di pulau-pulau besar lainnya, seperti di Pulau Kalimantan. Menurut Kalteng (2006), sejarah pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah telah dimulai sejak lebih dari setengah abad lalu ditandai dengan kegiatan eksploitasi kayu agathis secara sederhana menggunakan sistem panglong/tebang banjir di daerah Sampit dan sekitarnya yang dilaksanakan oleh NV. Bruinzeel. Setelah kemerdekaan, kegiatan eksploitasi dan pengolahannya selanjutnya diambil alih oleh PT. SAMPIT DAYAK dan PN Perhutani. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh PT. Sampit Dayak dan PN Perhutani ditujukan untuk diolah sendiri dan mensuplai kebutuhan pabrik kertas yang berada di Martapura.
Kegiatan PN Perhutani mengekploitasi hutan di daerah Sampit tersebut terus berlanjut sampai dengan memasuki era Orde Baru, dan pada dekade tahun 1970 karena tuntutan kebutuhan dan ketentuan, PN Perhutani selanjutnya direstrukturisasi menjadi PT. Inhutani III. Selaras dengan meningkatnya kebutuhan akan sumber daya alam untuk pembangunan, maka memasuki tahun 70-an, kegiatan eksploitasi di Kalimantan Tengah tidak lagi sebatas dilaksanakan oleh PT. Inhutani, tetapi juga telah melibatkan perusahaan swasta lainnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah dengan terbukanya peluang untuk memperoleh konsesi HPH dalam skala luas.
Era baru bagi pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan secara besar-besaran dan modern, perkembangannya dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Ketiga undang-undang telah menjadi dasar dan landasan bagi pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah khususnya dan Indonesia umumnya, yang ditandai dengan adanya pemanfaatan hutan dalam bentuk HPH dan HPHH, serta berkembangnya industri yang mengolah produk hasil hutan (sawmill, plywood, blackboard, particle board, chipmill, pulpmill dan sebagainya).
Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa era baru kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah dimulai dengan hanya 3 unit HPH pada tahun 1969/1970. Setiap tahunnya data kepemilikan HPH selalu bertambah dan mencapai puncaknya pada tahun 1989/1990 dengan jumlah 117 HPH yang mencakup areal seluas 11.862.500 Ha, dan selanjutnya sejak saat itu mulai menyusut hingga pada tahun 2000 hanya berjumlah 53 unit saja dengan cakupan areal 4.790.522 Ha. Menyusutnya kepemilikan HPH tersebut diantaranya kerena pengelolaanya dianggap gagal melakukan pengelolaan hutan yang berazaskan kelestarian, sehingga pengelolaanya dikembalikan ke negara (Kalteng 2006).
Aspek Ekonomis
Berbicara masalah kehutanan di Indonesia, dulu pernah dikenal “Forest Management,sustained yield principles” dan “Forest Planning” dikaitkan pada rencana perusahaan pada hutan-hutan tanaman, terutama jenis pinus, mahoni, dammar, dan lain-lain dl pulau Jawa sekitar tahun 1950 s/d 1970. Pada waktu itu hasil hutan masih merupakan sebagian kecil (1-2 %) dari seluruh penghasilan ekonomi negara setiap tahun.
Penemuan kembali hutan trofika basah di sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya telah menimbulkan harapan-harapan baru bagi ekonomi negara yang sedang parah keadaannya pada waktu itu. Hanya pemanfaatan hutannya pada waktu itu kurang bijaksana tanpa memperhatikan asfek kelestarian alam dan ekologi, hasil hutan yang diambil hanya kayunya saja tidak kehasil hutan non kayu, yang menurut survey bahwa hasil hutan berupa kayu hanya 10 % dari hasil hutan kayu lainnya.
Bila ditinjau dari segi kelayakan ekonomi maka tumbuhan mempunyai pengaruh yang besar terhadap ekonomi regional, nasional maupun internasional baik secara langsung dan tidak langsung. Dari pengaruh biaya pembangunan tanaman di cari yang murah, hasil lebih menguntungkan, mempunyai nilai tinggi.
Sustensi hutan dan tujuan ekonomi, istilah tujuan ekonomi meliputi suatu kesatuan serta pentahapan dari seluruh tuntutan. Pengoperasian hutan inilah yang harus bisa memenuhi tuntutan-tuntutan kepemilikan serta masyarakat umum dimasa mendatang.
Tujuan ekonomi ini termasuk penyediaan bahan, nilai tak nyata dan uang menjadi tujuan yang sebenarnya dari pengoperasian hutan. Tujuan ekonomi ini pada akhirnya memang untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Beberapa penulis menyatakan bahwa sustensi hutan ini adalah tujuan ekonomi. Tetapi kebanyakan tokoh yang berwenang menganggap sustensi hutan ini hanyalah alat atau cara untuk mencapai slah satu tujuan ekonomi. Mereka sependapat dengan suatu teori yang menyatakan bahwa sustensi hutan dapat menjadi landasan dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomi.
Dengan demikian sustensi hutan adalah suatu prinsip ekonomi yang bersifat “primer” dan juga “permanent”, serta tidak tergantung pada situasi dan kondisi dasar (MELF Niedersachsen, 1969).
Ketergantungan konsep sustensi terhadap idiologi dibuktikan dengan yang tumbuh semakin mantap terhadap tindakan atau usaha masyarakat dimana baik untuk lingkungan maupun untuk malahan tidak lagi misalnya adanya kesadaran masyarakat lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan hutan mempunyai kedudukan penting rekreasi penduduk. Kadang-kadang efek hutan lainnya dianggap begitu penting.
Konsep dasar sustensi hutan ini dampak dan daya gunanya demi kepentingan dasar sustensi hutan ini, malahan, harus tidak terutama sekali karena kondisi ekonomi dan sosial yang cepat.
Asepk Ekologis
Adapun ekologis sendiri mencakup suatu keterkaitan antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi, seperti tumbuhan dengan sinar matahari, tanah dengan air, yang pada umumnya dikatakan sebagai hukum alam yang berimbang, dan kelayakan ekologis ini dapat dilihat dari beberapa faktor diantaranya :
1. Faktor Iklim ( Curah hujan, suhu )
Pengaruh iklim terhadap kehidupan tumbuh-tumbuhan sangatlah nyata karena kondisi atmosfer juga ikut menentukan sifat iklim lokal dan regional seperti suhu, kelembaban, cahaya matahari, adanya perbedaan iklim dan menimbulkan suatu variasi besar dalam formasi hutan.
Jika hal ini terjadi didaerah iklim basah maka akan terbentuk hutan yang rapat dengan pohon yang tinggi serta banyak species. Sebaliknya untuk daearah yang kering hutan akan terbentuk tidak rapat dan species akan sedikit.
2. Faktor Tanah
Tanah sebagai sarana atau tempat tumbuh suatu tumbuhan atau tanaman yang berasal dari berbagai campuran hasil hancuran oleh iklim yang terdiri dari komposisi bahan organic dan anorganik ( Mineral ) yang menyelimuti bumi, menyediakan udara, air, tunjangan mekanik dan hara bagi tumbuhan. Selain itu kesuburan tanah sangat mempengaruhi keadaan tumbuh-tumbuhan beserta penyebarannya, dan juga kesuburan tanah yang membentuk jenis vegetasi yang berlainan dan menunjang produktivitas hutan.
3. Tofograpi
Tofograpi suatu kawasan sangatlah berpengaruh terhadap kelangsungan hidup tumbuhan, dengan jenis tofograpi tertentu biasanya tumbuahn yang adapun biasanya lebih khas. Salah satu contohnya dalah tumbuhan yang ada pada kemiringan yang cukup curam, disitu biasanya lebih dominan ditumbuhi tumbuhan penguat tanah, berbeda dengan kawasan yang tofografinya landai, paling disitu untuk tumbuhan bawahnya lebih ke tumbuhan semak biasa.
Berikutnya dari segi kerapatan biasanya terlihat jelas, biasanya pada daerah yang tofografinya miring, kerapatan lebih tinggi dibandingkan yang tofograpinya miring, ini disebabkan oleh persaingan dalam memperoleh cahaya matahari.
4. Lingkungan
Pengaruh tumbuhan sangatlah signifikan terhadap tumbuhan, banyak faktor yang dapat mengganggu pertumbuhan yang diakibatkan oleh lingkungan seperti hama tanaman, konsumen tingkat pertama, ataupun faktor lingkungan yang lainnya antara lain pencemaran,baik pencemaran air, tanah, maupun udara yang pada umumnya semua pencemaran ini berasal dari aktivitas manusia. Dan seperti kita ketahui bahwa faktor lingkungan ini lebih banyak dipengaruhi manusia, oleh karena itu faktor yang satu ini harus dikurangi seminimal mungkin.
Aspek Sosial Budaya
Masyarakat Indonesia pada tahun 1970-an, mulai memandang hutan dalam hubungan sebagai bagian dari sumber-sumber alam, dan tidak semata-mata sebagai penghasil gudang kayu. Hutan merupakan komponen utama dari suatu ekosistem, karena manajemen hutan langsung mempengaruhi komponen lainnya seperti tanah, air, udara, iklim mikro dan lingkungan pada keseluruhannya adalah mempertahankan hutan beserta generasi mendatang. Jadi konsep tergantung kepada idiologi, sering mengalami perubahan.
Hal ini terlebih lagi dirasakan pada daerah-daerah aliran sungai (DAS) yang padat penduduknya, seperti pulau Jawa, Lampung, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
Penduduk didaerah-daerah tersebut mulai merasakan akibat-akibat dari “Mismanagement” dan “malpractice” berbentuk penebangan hutan pada tanahtanah yang keadaan tofograpinya rnembahayakan dan penggarapan-penggarapan tanah pada tempat-tempat serupa oleh penduduk sendiri dan kadang-kadang juga perusahaan perkebunan.
Oleh karena itu masyarakat setempat haruslah diberikan motivasi yang kuat, bahwa tujuan dan hasil gerakan penghijauan adalah semata-mata untuk kepentingan mereka sendiri dengan kata lain siapa menanam bibit dialah yang akan memetik hasilnya. Usaha lain dapat disebutkan disini antara lain transmigrasi ke luar Jawa, melaksanakan program keluarga berencana, meningkatkan usaha industri kecil (Kerajinan). Pendeknya mengurangi ketergantungan penduduk atas tanah sebagai sumber penghidupannya.
Tanggungjawab sosial atas kepemilikan hutan sebenarnya lebih luas dari pada tanggungjawab sosial atas pemilikan pertanian, misalnya menurut Ertl (1981),” tidak ada bentuk penggarapan tanah lain (kecuali hutan) yang dapat memberikan dampak demikian positip terhadap tanah dan air, udara dan iklim untuk kepentingan ekologi maupun rekreasi manusia. Akhir-akhir ini banyak saja tuntutan yang diajukan pada sektor kehutanan dengan alasan “tanggungjawab sosial”.
Pemilik hutan dihadapkan pada beberapa masalah haruslah pengelolaan hutannya mengikuti “tanggungjawab sosial” sesuai prinsip hutan yang sekarang berlaku atau prinsip yang baru didepinisikan? ataukah menerima saja konsepsustensi hutan yang lebih menyeluruh termasuk nilai-nilai tak nyata yang dapat mempengaruhi kebebasan dalam mengelola (Seperti yang di nyatakan Zundel 1982). Karena produksi kayu memerlukan periode rotasi yang lama dan karena sustensi (sebagai pokok prinsip pemanpaatan hutan) diarahkan untuk tujuan jangka panjang. Oleh karena itu pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam metode-metode kehutanan modern lengkap dengan segala fungsi ekologis dan kesejahteraan sosial serta perlindungan lingkungannya sebenarnya hanyalah masalah yang paling sepele yang terjadi dalam masalah-masalah penggarapan tanah.
Lagipula kita harus ingat bahwa “Semua hutan kita… sebenarnya adalah bentang alam digarap yang memerlukan usaha kehutanan yang sistematis serta berkesinambungan bagi pemeliharaan dan sustensinya” (Bittig,1982)
Henne (1982) menyatakan : “Dengan adanya perubahan konsep nilai dalam ekonomi, rekonsiliasi yang seimbang antara ketetapan ekonomi dengan berjenis-jenis acuan umum dan sosial jelas akan semakin penting. Dalam konteks ini, kehutanan bisa dijadikan contoh karena kehutanan mempunyai tujuan-tujuan ekonomi yang sangat luas dimana prinsip susutensi diterapkan.
0 komentar:
Posting Komentar