VIVAnews
- Pasca dikeluarkannya Instruksi Gubernur Jambi No:
04/INST.GUB/Dishut.5.3/2012, ribuan petani yang berada di kawasan PT
Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) atau Hutan Harapan, terancam
diusir. Sebab, di dalam surat instruksi itu disebutkan akan dilaksanakan
upaya penindakan secara preventif dan represif terhadap kegiatan
masyarakat yang melakukan perambahan, pembakaran dan penebangan hutan
secara ilegal di kawasan hutan produksi PT REKI.
Dengan adanya instruksi itu, ribuan petani yang sudah berada lebih dahulu dari PT REKI akan memilih untuk tetap tinggal, dan tidak akan keluar dari kawasan Hutan Harapan.
"Mereka para petani mau pergi kemana kalau diusir. Karena kawasan hutan yang mereka diami itu sudah ada jauh sebelum PT REKI hadir di Jambi," jelas Sarwadi, Ketua DPW Serikat Petani Indonesia (SPI) Jambi kepada wartawan, Minggu 16 Desember 2012.
Dijelaskannya, saat ini sudah beredar selebaran di tengah masyarakat untuk menghentikan semua aktivitas di kawasan Hutan Harapan. Meski demikian, warga diakuinya tidak akan meninggalkan hutan.
"Petani tidak akan meninggalkan hutan. Karena mereka bukan perambah dan perusak hutan. Tapi juga melakukan penghijauan di kawasan PT REKI," ujarnya.
Menurut Sarwadi, selama ini PT REKI sudah sering melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap petani. "Pada tahun 2010 PT REKI mulai melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap petani yang kini jumlahnya sudah mencapai puluhan ribu," ujarnya.
Selain itu, diungkapkannya lebih dari 50 persen dari total areal konsesi PT REKI di Jambi sudah menjadi lahan perladangan. "Konsesi PT REKI seluas 46 ribu hektare harus segera ditinjau ulang dan areal perladangan petani segera dilepas saja. Kalau tidak demikian maka ini akan memberikan konsekuensi bom waktu konflik agraria yang akan merugikan PT REKI," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Azhari, Koordinatur politik huukum dan keamanan (Polhukam) SPI Jambi, bahwa upaya pengusiran petani ini akan memicu konflik. "Persoalan ini akan terus mendapat perlawanan dari warga yang berada di dalam Hutan Harapan," ujarnya.
Dengan adanya instruksi itu, ribuan petani yang sudah berada lebih dahulu dari PT REKI akan memilih untuk tetap tinggal, dan tidak akan keluar dari kawasan Hutan Harapan.
"Mereka para petani mau pergi kemana kalau diusir. Karena kawasan hutan yang mereka diami itu sudah ada jauh sebelum PT REKI hadir di Jambi," jelas Sarwadi, Ketua DPW Serikat Petani Indonesia (SPI) Jambi kepada wartawan, Minggu 16 Desember 2012.
Dijelaskannya, saat ini sudah beredar selebaran di tengah masyarakat untuk menghentikan semua aktivitas di kawasan Hutan Harapan. Meski demikian, warga diakuinya tidak akan meninggalkan hutan.
"Petani tidak akan meninggalkan hutan. Karena mereka bukan perambah dan perusak hutan. Tapi juga melakukan penghijauan di kawasan PT REKI," ujarnya.
Menurut Sarwadi, selama ini PT REKI sudah sering melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap petani. "Pada tahun 2010 PT REKI mulai melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap petani yang kini jumlahnya sudah mencapai puluhan ribu," ujarnya.
Selain itu, diungkapkannya lebih dari 50 persen dari total areal konsesi PT REKI di Jambi sudah menjadi lahan perladangan. "Konsesi PT REKI seluas 46 ribu hektare harus segera ditinjau ulang dan areal perladangan petani segera dilepas saja. Kalau tidak demikian maka ini akan memberikan konsekuensi bom waktu konflik agraria yang akan merugikan PT REKI," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Azhari, Koordinatur politik huukum dan keamanan (Polhukam) SPI Jambi, bahwa upaya pengusiran petani ini akan memicu konflik. "Persoalan ini akan terus mendapat perlawanan dari warga yang berada di dalam Hutan Harapan," ujarnya.
Tanggapan PT REKI
Sementara itu, Surya
Kusuma, juru bicara PT REKI, mengatakan isu yang disampaikan SPI ini
terkesan mengada-ada. "Sebenarnya mereka sudah melakukan perambahan
hutan negara," jelasnya.
PT REKI menilai, terkait ada upaya perlawanan terhadap instruksi gubernur, sama halnya dengan melawan pemerintah. "Kami PT REKI menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Karena kawasan Hutan Harapan milik negara," ujarnya.
Menurut Surya, SPI melakukan penanaman karet dan hasil perkebunan merupakan sebuah kebohongan. "Sebenarnya mereka hanya menjual nama petani. Padahal mereka datang dari luar, bukan penduduk asli sana," tegasnya.
PT REKI menilai, terkait ada upaya perlawanan terhadap instruksi gubernur, sama halnya dengan melawan pemerintah. "Kami PT REKI menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Karena kawasan Hutan Harapan milik negara," ujarnya.
Menurut Surya, SPI melakukan penanaman karet dan hasil perkebunan merupakan sebuah kebohongan. "Sebenarnya mereka hanya menjual nama petani. Padahal mereka datang dari luar, bukan penduduk asli sana," tegasnya.
Source : link