VIVAnews- Keberadaan orang rimba di Jambi terancam
punah akibat hutan yang digunakan sebagai tempat tinggal dijadikan
konsesi kawasan perusahaan. Bahkan tak jarang mereka justru harus lari
dari wilayah yang sudah ditempati selama turun temurun.
Seperti yang terjadi terhadap Orang Rimba Bathin IX dari Dusun Kunangan Jaya, Desa Bungku, Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi, keberadaan mereka saat ini semakin menurun. Terlebih semenjak keberadaan PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (REKI) di kawasan Hutan Harapan.
Berdasarkan data yang ada di Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati lingkungan yayasan Cappa Jambi, kehidupan warga orang rimba semakin sedikit di dalam kawasan Hutan Harapan. "Punah karena sumber kehidupan orang rimba Jambi hilang akibat upaya konsesi konsesi kawasan perusahaan besar di Jambi," ujar Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cappa Jambi, Rifani Noer, Minggu 9 Desember 2012.
Dikatakannya, Orang Rimba Bathin IX tinggal beberapa kepala keluarga saja. Sejak 2006 masyarakatnya yang sebelumnya ratusan kepala keluarga harus meninggalkan kampung halamannya karena kawasan mereka masuk dalam konsesi PT REKI.
Menurutnya dalam penanganan konflik lahan yang melibatkan orang rimba seharusnya dilakukan melalui pendekatan khusus yang sangat persuasif. "Kami akui ada beberapa kelompok warga dari luar yang mungkin saja masuk dan merambah hutan. Namun ini jangan disamaratakan dengan kondisi orang rimba yang faktanya sudah menempati kampung mereka selama ratusan tahun," ujarnya lagi.
Terkait surat instruksi Gubernur Jambi yang menyatakan agar Pemkab Batanghari dan aparat keamanan melakukan upaya preventif terhadap warga dikawasan PT REKI, ia mengaku sangat menyayangkan surat tersebut. "Dengan surat ini ada upaya pengusiran Orang Rimba di Kabupaten Batanghari. Mengingat, surat tertanggal 21 November 2012 ini tidak membedakan mana Orang Rimba dengan pendatang maupun perambah," tambahnya.
Sementara itu, Hasan, Ketua Lembaga Adat Suku Anak Dalam Bathin IX, Dusun Simpang Macan, Kabupaten Batanghari, warga Orang Rimba yang ada di kampungnya hanya tinggal 55 kepala keluarga, dari sebelumnya mencapai 200 kepala keluarga lebih. "Sebagian besar terpaksa pergi mencari penghidupan sendiri. Sebab masuknya konsesi perusahaan di kampung kami menyebabkan kami tidak boleh berladang karena dianggap menyalahi aturan," ujarnya.
Ia berharap, pihak perusahaan dan pemerintah lebih memahami persoalan kehidupan orang rimba Jambi. Ia meminta batasan yang jelas antara kampungnya dengan perusahaan. "Kami tidak meminta banyak banyak, kami hanya ingin hidup wajar seperti nenek moyang kami sebelumnya," tambahnya.
Pihak PT REKI melalui juru bicaranya Surya Kusuma, membantah jika keberadaan PT REKI mengakibatkan kepunahan orang rimba Jambi. Justru sebaliknya, apa yang sudah dilakukan PT REKI selama ini selalu berpihak kepada kelangsungan hidup Orang Rimba Jambi. "Mengenai adanya Orang Rimba yang di bawa CAPPA itu hanya segelintir Orang Rimba saja. Tapi, pada umumnya Orang Rimba sudah bekerjasama melalui kemitraan dengan PT REKI," jelasnya.
Dirinya menyayangkan adanya upaya dari LSM CAPPA untuk menghasut Orang Rimba agar berkonflik dengan PT REKI. Padahal PT REKI selama ini selalu berdampingan dengan Orang Rimba dalam berbagai program untuk kehidupan yang ada di kawasan Hutan Harapan. "Kepada CAPPA mari kita sama-sama untuk melestarikan hutan dan Orang Rimba, bukan dengan memunculkan konflik," ungkapnya.
Sementara terkait surat instruksi Gubernur Jambi, menurutnya itu bukan ditujukan untuk orang rimba, melainkan kepada perambah hutan. Sehingga, Orang Rimba tetap diberikan kebebasan hidup di dalam kawasan hutan.
Orang rimba Jambi merupakan salah satu komunitas terasing di Provinsi Jambi. Mereka terbagi dalam bermacam macam suku tergantung daerahnya. Hanya saja, pemerintah setempat memutuskan menyebut orang rimba Jambi dengan sebutan Suku Anak Dalam. Sebagian besar warga Jambi menyebut Suku Anak Dalam dengan sebutan Suku Kubu.
Berdasarkan catatan, jumlah Orang Rimba Jambi berkisar antara 3-4 ribu jiwa. Kehidupan "melangun" atau mengembara menyebabkan komunitas ini tinggal terpisah pisah. Sebagian besar mendiami kawasan hutan konservasi di Provinsi Jambi. Sementara sebagian lainnya berada di jalur lintas Provinsi Jambi serta di kawasan kawasan konsesi milik perusahaan perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri di daerah itu. (sj)
Source : link
Seperti yang terjadi terhadap Orang Rimba Bathin IX dari Dusun Kunangan Jaya, Desa Bungku, Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi, keberadaan mereka saat ini semakin menurun. Terlebih semenjak keberadaan PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (REKI) di kawasan Hutan Harapan.
Berdasarkan data yang ada di Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati lingkungan yayasan Cappa Jambi, kehidupan warga orang rimba semakin sedikit di dalam kawasan Hutan Harapan. "Punah karena sumber kehidupan orang rimba Jambi hilang akibat upaya konsesi konsesi kawasan perusahaan besar di Jambi," ujar Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cappa Jambi, Rifani Noer, Minggu 9 Desember 2012.
Dikatakannya, Orang Rimba Bathin IX tinggal beberapa kepala keluarga saja. Sejak 2006 masyarakatnya yang sebelumnya ratusan kepala keluarga harus meninggalkan kampung halamannya karena kawasan mereka masuk dalam konsesi PT REKI.
Menurutnya dalam penanganan konflik lahan yang melibatkan orang rimba seharusnya dilakukan melalui pendekatan khusus yang sangat persuasif. "Kami akui ada beberapa kelompok warga dari luar yang mungkin saja masuk dan merambah hutan. Namun ini jangan disamaratakan dengan kondisi orang rimba yang faktanya sudah menempati kampung mereka selama ratusan tahun," ujarnya lagi.
Terkait surat instruksi Gubernur Jambi yang menyatakan agar Pemkab Batanghari dan aparat keamanan melakukan upaya preventif terhadap warga dikawasan PT REKI, ia mengaku sangat menyayangkan surat tersebut. "Dengan surat ini ada upaya pengusiran Orang Rimba di Kabupaten Batanghari. Mengingat, surat tertanggal 21 November 2012 ini tidak membedakan mana Orang Rimba dengan pendatang maupun perambah," tambahnya.
Sementara itu, Hasan, Ketua Lembaga Adat Suku Anak Dalam Bathin IX, Dusun Simpang Macan, Kabupaten Batanghari, warga Orang Rimba yang ada di kampungnya hanya tinggal 55 kepala keluarga, dari sebelumnya mencapai 200 kepala keluarga lebih. "Sebagian besar terpaksa pergi mencari penghidupan sendiri. Sebab masuknya konsesi perusahaan di kampung kami menyebabkan kami tidak boleh berladang karena dianggap menyalahi aturan," ujarnya.
Ia berharap, pihak perusahaan dan pemerintah lebih memahami persoalan kehidupan orang rimba Jambi. Ia meminta batasan yang jelas antara kampungnya dengan perusahaan. "Kami tidak meminta banyak banyak, kami hanya ingin hidup wajar seperti nenek moyang kami sebelumnya," tambahnya.
Pihak PT REKI melalui juru bicaranya Surya Kusuma, membantah jika keberadaan PT REKI mengakibatkan kepunahan orang rimba Jambi. Justru sebaliknya, apa yang sudah dilakukan PT REKI selama ini selalu berpihak kepada kelangsungan hidup Orang Rimba Jambi. "Mengenai adanya Orang Rimba yang di bawa CAPPA itu hanya segelintir Orang Rimba saja. Tapi, pada umumnya Orang Rimba sudah bekerjasama melalui kemitraan dengan PT REKI," jelasnya.
Dirinya menyayangkan adanya upaya dari LSM CAPPA untuk menghasut Orang Rimba agar berkonflik dengan PT REKI. Padahal PT REKI selama ini selalu berdampingan dengan Orang Rimba dalam berbagai program untuk kehidupan yang ada di kawasan Hutan Harapan. "Kepada CAPPA mari kita sama-sama untuk melestarikan hutan dan Orang Rimba, bukan dengan memunculkan konflik," ungkapnya.
Sementara terkait surat instruksi Gubernur Jambi, menurutnya itu bukan ditujukan untuk orang rimba, melainkan kepada perambah hutan. Sehingga, Orang Rimba tetap diberikan kebebasan hidup di dalam kawasan hutan.
Orang rimba Jambi merupakan salah satu komunitas terasing di Provinsi Jambi. Mereka terbagi dalam bermacam macam suku tergantung daerahnya. Hanya saja, pemerintah setempat memutuskan menyebut orang rimba Jambi dengan sebutan Suku Anak Dalam. Sebagian besar warga Jambi menyebut Suku Anak Dalam dengan sebutan Suku Kubu.
Berdasarkan catatan, jumlah Orang Rimba Jambi berkisar antara 3-4 ribu jiwa. Kehidupan "melangun" atau mengembara menyebabkan komunitas ini tinggal terpisah pisah. Sebagian besar mendiami kawasan hutan konservasi di Provinsi Jambi. Sementara sebagian lainnya berada di jalur lintas Provinsi Jambi serta di kawasan kawasan konsesi milik perusahaan perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri di daerah itu. (sj)
Source : link