Program pengurangan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi
hutan dinilai tidak berhasil menekan laju deforestasi hutan, salah
satunya kasus yang terjadi di Kalimantan. Banyak kasus terjadi,
deforestasi justru terjadi di wilayah yang menjadi program kerja REDD
ini. Hal ini dikemukakan oleh seorang penulis lingkungan bernama Lorna
Howarth, seorang kontributor editor untuk majalah Resurgence & Ecologist yang tulisannya dimuat di the ecologist.org.
Dalam tulisannya, Lorna menyoroti bagaimana hutan seluas 13 juta
hektar di propinsi Kalimantan Tengah atau sekitar 78% dari luas propinsi
tersebut kini berubah menjadi kawasan konsesi lewat berbagai bentuk
izin pengelolaan yang dikeluarkan oleh pemerintah lokal maupun
Kementerian Kehutanan. Pemberian izin ini, sekaligus melanggar prinsip Free, Prior & Informed Consent, yang memberikan izin pengelolaan hutan kepada lebih dari 500 kelompok masyarakat adat di Indonesia.
Dalam salah satu kunjungan yang dilakukan oleh tim Rainforest
Foundation Norway (RFN) ke Kalimantan Tengah dengan menggunakan pesawat
kecil, untuk memantau langsung perkembangan program REDD di pulau
terbesar ketiga di dunia ini, justru memperlihatkan sepanjang
penerbangan lebih banyak melintasi perkebunan kelapa sawit, yang
sebelumnya adalah hutan hujan tropis. Perkebunan ini dimiliki oleh grup
Wilmar, yang baru-baru saja meraih gelar perusahaan dengan kinerja
terburuk dalam 500 bisnis ‘ranking hijau’.
Sementara itu, kendati Norwegia merupakan penyandang dana terbesar
dengan 1 miliar dollar untuk program REDD di Indonesia, Norwegian
Pension Fund justru berinvestasi sebesar 64 juta dollar untuk Wilmar.
Namun lewat kampanye kuat yang ditopang oleh RFN, Norwegian Pension Fund
ini menyatakan bahwa mereka tetap menaruh perlindungan dan pelestarian
alam sebagai prioritas utama dalam strategi lingkungan mereka. Namun,
melihat investasi mereka yang begitu besar di grup Wilmar, komitmen dan
strategi ini nampaknya masih harus dibuktikan lagi di lapangan.
Lorna juga menyebutkan bahwa penyebutan akronim REDD ini sudah salah
kaprah. Program emisi karbon ini seharusnya mengurangi emisi, dan bukan
menambahnya. Namun fakta di lapangan justru sebaliknya, emisi karbon
meningkat signifikan karena kendati moratorium hutan diberlakukan di
beberapa wilayah Indonesia, namun pemberian konsesi penebangan terus
berjalan di kawasan lainnya. Intinya penebangan hutan alami tetap bisa
dilakukan sepanjang emisi yang ditimbulkan dikompensasikan di penanaman
yang dilakukan oleh para pelaku industri kehutanan di wilayah lainnya.
Di Kalimantan, kehancuran hutan hujan tropis telah menyebabkan
keringnya lahan gambut, memicu kebakaran hutan dan pengambilalihan lahan
milik masyarakat, belum lagi hilangnya spesies-spesies terancam
endemik. Seperti telah dinyatakan dalam pertemuan COP yang terakhir,
REDD adalah program yang memiliki cacat secara fundamental.
Dalam konteks Ecocide, atau Pembunuhan lingkungan, aktivitas Wilmar
bisa dikategorikan sebagai “Crimes Against Peace’ atau Kejahatan Melawan
Perdamaian, karena lewat operasi perkebunannya perusahaan ini telah
menimbulkan berbagai konflik terhadap masyarakat adat, kerusakan
ekosistem, mempengaruhi perubahan iklim dan semua konsekuensi lingkungan
global lainnya.