Masa moratorium izin di hutan dan gambut akan berakhir Mei tahun ini.
Desakan perpanjangan muncul dari banyak kalangan. Organisasi masyarakat
sipil meminta moratorium tidak berbatas waktu tapi berdasarkan capaian.
Terpenting, tak hanya perpanjangan aturan ini, tetapi subtansi
moratorium dalam mencapai penyelamatan hutan. Bukan hanya menjadi kotak
kosong alias tak bergigi dan tak berisi.
Teguh Surya dari Greenpeace mengatakan, moratorium harusnya tak dibatasi waktu tapi capaian, misal, ada indikator dengan review izin-izin,
tata batas kawasan hutan, sampai resolusi konflik. “Harusnya itu masuk
dalam isi moratorium,” katanya, dalam temu media Koalisi Penyelamatan
Hutan Indonesia dan Iklim Global, Senin(28/1/13) di Jakarta.
Selama kurang lebih 1,5 tahun ini, kebijakan moratorium bak kotak
kosong. Padahal, dari awal diharapkan menjadi sarana perbaikan tata
kelola kehutanan hingga bisa meminimalisir kerugian negara. “Karena
banyak praktik korupsi di sektor kehutanan dan terkait kehutanan.”
Jika tak ada review perizinan secara utuh dan lengkap, tak akan mungkin ada tata kelola kehutanan. “Karena seharusnya, setelah review ada penegakan hukum dan lain-lain. Kami berpikir tak ada pelajaran yang didapat dari 1,5 tahun moratorium. Hanya macam main puzzle.”
Dia mengatakan, hampir dua tahun ini melihat ada upaya pengkerdilan
makna moratorium hingga tak lihat perbaikan signifikan dalam tata kelola
hutan negeri ini. Contoh, dalam inpres moratorium ada proyek-proyek
pengecualian, seperti obyek penting nasional. Anehnya, proyek Marauke
Integrated Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) masuk obyek
penting nasional. “Ini untuk amankan proyek besar membabat hutan
Papua.”
Contoh lain, dalam revisi peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB)
III banyak upaya pelepasan hutan menjadi tambang dan kebun. “Di Papua
ada 340 ribu hektar lebih hutan lindung berubah fungsi menjadi hutan
produksi. Harusnya proses perubahan fungsi dari lindung ke produksi tak
terjadi. Ini tampak ada taktik politik.”
Dengan modus ini, di atas kertas Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tak melanggar inpres No 10 tahun 2011 maupun letter of intens (LoI)
tetapi dengan perubahan fungsi sama saja memberikan kewenangan atau
memperbolehkan izin-izin keluar. “Karena hutan produksi bisa jadi HTI.
Hutan ditebang jadi pohon lain. Bagaimana komitmen menyelamatkan hutan
itu,” ujar dia.
Menurut Teguh, kondisi ini bisa menjadi preseden buruk bagi
Indonesia. Padahal, revisi PIPIB, katanya, seharusnya memperkuat
keradaan kawasan hutan, namun malah jadi proyek transaksional dan
negoisasi. “Mana yang harus berkurang, mana yang bertambah dari peta.”
Mengenai strategi nasional (stratnas) REDD+ juga terancam tak
terimplementasi. Karena sudah dua tahun Satgas REDD+ bekerja
mempersiapkan kelembagaan REDD, tetapi belum juga ada kejelasan mengenai
wujud lengkap lembaga ini. Masa kerja Satgas REDD+ baru saja
diperpanjang Presiden pekan lalu.
Anggalia Putri Permatasari dari HuMa mengungkapkan hal senada.
Menurut dia, dengan stratnas diharapkan menjadi awal perubahan tata
kelola hutan berkelanjutan. “Juga perubahan praktik, bukan hanya
paradigma,” kata Anggie, begitu dia biasa dipanggil.
Stratnas REDD+, katanya, penting karena sudah cukup akomodatif
terhadap masyarakat sipil. “Kita khawatir proses dua tahun lebih
terjegal.” Dia mengingatkan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman)
tak bersedia menerima REDD+ jika prosesnya di bawah standar statnas yang
sudah disusun bersama.