Asap -terlihat dari luar angkasa- membumbung di atas Pulau Sumatera. Sumber: NASA. Klik untuk memperbesar foto
Sejarah mencatat bahwa musim kabut di Indonesia mencapai puncaknya setiap akhir musim kemarau (September – Oktober), sebelum musim hujan tiba. Tahun ini musim kemarau baru saja datang, namun rekor PSI (Pollutant Standard Index—Indeks Standar Polutan) Singapura telah terpecahkan—mencapai angka baru, yakni 401 (Berbahaya) pada 21 Juni 2013. Polusi udara di Semenanjung Malaysia juga mencapai angka tertinggi sepanjang masa, sehingga Perdana Menteri Najib Razak menyatakan situasi tanggap darurat di distrik Muar dan Ledang pada 23 Juni 2013.
Walaupun kebakaran hutan merupakan masalah regional, keresahan yang ditimbulkannya berskala global.
Inferno Indonesia
Api berasal dari salah satu lahan penyimpan karbon superbesar di muka
bumi: hutan rawa gambut. Sejak beribu-ribu tahun silam, di bawah hutan
hujan tropis di dataran rendah Sumatra tersembunyi pokok, dahan, dan
daun pepohonan yang setengah membusuk dan tidak pernah sepenuhnya
terurai setelah terendam air. Dunia bawah tanah nan gelap ini memiliki
potensi menjadi penyebab kebakaran hutan saat tersentuh oleh udara dan
tersulut. Karena itu, ketika lahan-lahan gambut di Indonesia dikeringkan
dan dibakar, salah satu penyimpan karbon jangka panjang terbesar dengan
cepat berubah menjadi sumber karbon.
Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama kebakaran hutan terjadi di
Indonesia pada 1997, sekitar 0,81-2,67 gigaton karbon terlepas ke
atmosfer (Page et al, 2002). Ini setara dengan 13-40% dari emisi bahan
bakar fosil di seluruh dunia pada tahun yang sama, melejitkan Indonesia
menjadi pengemisi gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia (setelah Cina
dan AS) dilihat dari beberapa indikator.
Hubungan antara emisi gas rumah kaca, perubahan iklim, dan
peningkatan permukaan laut mengkhawatirkan bagi Indonesia, bangsa yang
terdiri dari lebih dari 13.000 pulau.
Tanggapan terhadap REDD+
Sebagai tanggapan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan
pada 2009 dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC bahwa Indonesia
bertekad akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26% (41% dengan
bantuan internasional) pada 2020, dengan tujuan paralel meningkatkan PDB
tahunan sebesar 7% pada 2014.
Kedua tujuan tersebut penting bagi Indonesia. Tetapi strategi praktis
apakah yang dapat diambil oleh negara dengan penduduk terpadat keempat
di dunia ini untuk mengurangi dampak perubahan iklim sembari
meningkatkan standar hidup nasional?
Salah satu strategi yang digalakkan adalah sebuah mekanisme yang dikenal dengan istilah REDD+, atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation—Pengurangan
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi. REDD+ dipandang sebagai bentuk
‘pembayaran bagi jasa lingkungan’ di mana negara-negara dan
perusahaan-perusahaan penghasil emisi besar membayar negara-negara dan
komunitas-komunitas yang kaya akan hutan hujan tropis untuk melestarikan
hutan, sehingga emisi karbon yang besar di suatu lokasi dapat
‘diseimbangkan’ oleh pemerangkapan karbon di lokasi lain.
Hingga saat ini, lebih dari $1,4 milyar dolar telah ditanamkan untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan kebakaran hutan di
Indonesia. Investornya adalah Norwegia, Australia, Jerman, Amerika
Serikat, Inggris, Prancis, Denmark, Korea Utara, dan Jepang—begitu pula
perusahaan swasta semacam Merrill Lynch, Marubeni Corporation, Maquarie,
dan Gazprom. Indonesia kini menjadi tuan rumah bagi lebih dari 50
proyek pilot penyeimbangan karbon internasional REDD+ yang menjanjikan
keuntungan sebesar milyaran dolar.
Tetapi kabut yang menyelimuti Sumatra menghadapkan para investor
REDD+ dan bangsa Indonesia dengan kontradiksi solusi berbasis pasar.
‘Siklus Karbon Korporasi’
Memanfaatkan Data Kebakaran Aktif dari NASA dan peta konsesi Riau
2010 dari Kementrian Kehutanan Indonesia, World Resources Institute
mengungkapkan bahwa 52% kebakaran pekan lalu disebabkan oleh pembukaan
lahan untuk industri kayu dan minyak kelapa sawit. Ironisnya, dua
korporasi yang memegang lebih dari setengah hak konsesi tersebut adalah
Sinar Mas dan Raja Garuda Mas—keduanya pemprakarsa penyeimbangan karbon
di Provinsi Riau.
Sinar Mas mendanai “Kampar Carbon Reserve Project” dan menggagas
“Giam Siak Kecil-Bukitbatu Biosphere Reserve REDD+ Pilot Project.” Anak
perusahaan Sinar Mas di antaranya adalah PT SMART (salah satu perusahaan
minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia) dan Asian Pulp & Paper
(APP, salah satu perusahaan kertas dan pulp terbesar di dunia).
Asia Pacific Resources International Holdings, Ltd. (APRIL, bagian
dari RGM), mengoperasikan pabrik pulp terbesar di dunia di Riau. Di
provinsi yang sama, mereka menggalakkan proyek kontroversial
“Sustainable Peatland Management Model” yang melibatkan pembuatan
“penyangga” berupa hutan Acacia—bukan tumbuhan asli dari wilayah
itu—yang kayunya dipanen untuk pembuatan bubur kertas di Semenanjung
Kampar, salah satu habitat terakhir harimau Sumatra yang terancam
kepunahan.
Kedua perusahaan tersebut dan perusahaan-perusahaan lainnya berupaya
menerapkan penyeimbangan karbon dalam program-program tanggung jawab
sosial korporasi (Corporate Social Responsibility) mereka.
Sayangnya, emisi yang dihubungkan dengan kebakaran pekan ini dapat
dipastikan jauh lebih besar daripada potensi penyeimbangan yang
dihasilkan oleh aktivitas REDD di Provinsi Riau.
Sinyal Asap di Sumatra
Selama beberapa pekan mendatang akan dilakukan pelacakan terhadap
sumber kebakaran lahan gambut di Sumatra. Melacak sumber kebakaran
terbukti sulit selama bertahun-tahun terakhir, karena kebakaran tersebut
bersifat menyebar dan gambut dapat terbakar perlahan-lahan di bawah
tanah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum api menyeruak
ke permukaan tanah. Tuduhan telah dilontarkan kepada para konglomerat,
perusahaan minyak kelapa sawit, petani-petani kecil, dan para migran
yang menduduki lahan konsesi. Sebagian tertuduh berusaha mengeruk
keuntungan, sementara sebagian lainnya berjuang untuk hidup sehari-hari.
Tetapi mereka semua berbagi logika pasar yang mendasari gagasan REDD+.
Sebagian orang menyamakan kebakaran kali ini sebagai contoh Tragedy of the Commons karya
Garrett Hardin. Individu yang rasional (mis. petani Sumatra atau
korporasi Indonesia) akan terus meraup sumber daya alam dengan jumlah
yang semakin besar hingga biaya tindakan mereka setara dengan keuntungan
yang diharapkan. Mendahulukan kepentingan pribadi, mereka yang
berkepentingan sama (mis. penduduk Indonesia) mengabaikan dampak
tindakan mereka bagi orang lain (mis. penduduk Singapura). Pada
akhirnya, semua orang menderita.
Tetapi tesis Hardin terlalu menyepelekan realita. Penelitian selama
berpuluh-puluh tahun menunjukkan bahwa masyarakat telah berulang kali
mengatasi risiko dari tragedi semacam itu—menemukan cara untuk
berkomunikasi, bekerja sama, dan secara berkesinambungan mengelola
sumber daya alam mereka. Mendiang penerima Penghargaan Nobel Elinor
Ostrom menyebutkan bahwa ‘Global Commons’ memberikan tantangan
baru bagi manusia. Dalam hal ini adalah atmosfer Bumi. Bisakah kita
bersama-sama sebagai bangsa, korporasi, organisasi, dan individu
membangun sebuah etos atmosferik?
Wendy Miles meneliti ekologi politik konservasi berbasis pasar di
lahan gambut Indonesia. Micah Fisher telah lama bekerja dan tinggal di
Indonesia. Miles dan Fisher adalah kandidat PhD di Jurusan Geografi
University of Hawaii.
Diterjemahkan oleh Antie Nugrahani Permana.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar