Rasanya kerinduan dengan keluarga kecilku, terutama putri mungilku Zahra (10 bulan) belum terobati setelah terlibat aktif dalam perjalanan panjang selama sebulan dengan kapal Rainbow Warrior untuk menyerukan penyelamatan penyelamatan keanekaragaman hayati hutan dan laut Indonesia. Dan mendengar jelas komitmen presiden SBY dari atas kapal Rainbow Warrior untuk ikut meyelamatan hutan dan laut Indonesia.
Usai kegiatan tersebut saya sempat kembali ke kampung halaman di
Sumatra Barat, sebelum kembali ke tempat bertugas di Pekanbaru. Namun
setiba di perbatasan Riau, kami disambut kabut asap tipis dan udara yang
mulai menyesak. Ah, musim kabut asap itu kembali lagi dan lagi. Kasihan
Zahra kecilku yang seharusnya berhak atas udara sehat dalam
pertumbuhannya dan juga anak-anak seluruh Riau.
Kebakaran hutan dan lahan di Riau memang tidak asing lagi bagi saya.
Hampir setiap tahun asap menyesakan paru-paru warga Riau. Terakhir,
pertengahan tahun lalu, kebakaran juga terjadi meski tidak separah tahun
ini. Dan dua nama perusahaan yang disebut-sebut oleh kementrian
lingkungan akan diselidiki karena diduga sebagai dalang kebakaran waktu
itu. Namun hingga kini belum jelas ujung dari penyelidikan tersebut.
Bencana kabut asap tahun ini terbilang parah. Asap yang tertiup angin
bergerak ke utara dan menutup langit Riau dan negara tetangga Singapura
dan Malaysia. Indeks polusi udara di Singapura bahkan sudah mencatat
rekor di tingkat berbahaya.
Minggu lalu saya dan tim dokumentasi Greenpeace berangkat untuk
mengetahui situasi di lapangan. Setelah kami melihat peta titik api kami
menuju titik api terbanyak maka Dumai adalah tujuan pertama kami. Dan
benar saja, sepanjang Pekanbaru menuju Kota Dumai, kabut asap menutupi
jalan, dan itu berasal dari perkebunan di sepanjang jalan. Ketebalan
kabut asap semakin parah pada sore hari ditambah tiupan angin. Angin
yang meniup bara api di dalam gambut akan menciptakan api yang membakar
sangat cepat karena kondisi gambut dan ranting yang sudah kering. Jarak
pandang terburuk selama empat hari perjalanan, mencapai 200 meter.
Tiba di Desa Tanjung Leban, Kabupaten Bengkalis, kami melihat satu
keluarga sedang bersiap-siap untuk mengungsi karena gambut di belakang
rumahnya sudah terbakar dan jaraknya hanya 10 meter saja dari dinding
dapur. Meski sehari sebelumnya pemadam kebakaran dari pemerintah
setempat membanjiri pekarangan rumahnya, namun ia tetap ragu kalau itu
bisa mencegah api yang akan menyambar rumahnya.
“Keluarga saya yang lain sudah pada pindah ke rumah orang, termasuk
ibu saya. Tetangga di dalam (kebun) sana juga sudah pindah. Saya malu
sebenarnya pindah ke rumah orang, tapi kalau tak pindah, habis saya.
Macam mana lah lagi,” kata Ernawati (46 tahun)
Menurut data satelit hotspot yang dirilis Greenpeace, antara 11-18
Juni terdapat seribu lebih titik api di Riau saja. Titik-titik api itu
berada di lahan gambut, konsesi perusahaan sawit dan akasia juga di
kawasan moratorium hutan. Bahkan lebih dari setengahnya terdeteksi di
hutan yang dilindungi dalam kebijakan moratorium.
Menanggapi bencana ini, pemerintah lebih banyak berdebat kusir siapa
yang patut disalahkan dibandingkan mengerahkan kemampuan untuk
menghentikan titik api dan memulai menegakkan hukum. Debat kusir ini
terjadi terutama saat Singapura dan Malaysia memulainya di media yang
menuding Indonesia harus bertanggung jawab. Sementara pemerintah
Indonesia menanggapinya dengan menyebut perusahaan asal Singapura dan
Malaysia juga harus bertanggungjawab karena ditemukan titik api.
Begitu juga dengan para CEO perusahaan sawit raksasa yang memiliki
kebun di Riau sibuk dengan mencuci tangan bahwa mereka tidak terlibat
dengan semua kebakaran itu meski pemerintah menyebut ada banyak titik
api di lahan mereka.
Di tengah hiruk pikuk para politisi dan aksi cuci tangan perusahaan
sawit besar, kondisi di lapangan semakin parah. Saat kami melanjutkan
perjalanan ke Sontang, Bonai Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu, hamparan
gambut berhutan sebagian hangus terbakar. Kepulan asap membumbung tiada
henti. Saat angin bertiup, api pun mulai menjilat-jilat. Ada sejumlah
warga saling bantu membantu memadamkan api dengan peralatan seadanya.
Jalanan ditutup sementara karena kebakaran meluas hingga di pinggir
jalan raya. Dan akhirnya setelah beberapa hari bantuan pemadam kebakaran
dari pemerintah setempat datang, hamparan gambut luas yang sore itu
hangus, esok paginya terlihat bersih dari asap dan bara.
Tapi kami menyaksikan pemandangan lain, empat eskavator terlihat
langsung aktif bekerja membersihkan lahan yang terbakar itu. Dua di
antaranya merobohkan pohon-pohon dan lainnya membuat kanal. Bukannya
mereka seharusnya istirahat setelah api padam, lalu buat apa merobohkan
pohon di hutan kecil dekat gambut itu? Ternyata mereka melanjutkan
pembukaan kelapa sawit seperti tidak ada masalah kebakaran sebelumnya.
Business as usual.
source : link
source : link
penulis : Zamzami
0 komentar:
Posting Komentar