skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Minggu, 30 Juni 2013

Kabut Asap di Sumatra: Mengapa Kebakaran Hutan di Indonesia Menjadi Masalah Dunia

Diposting oleh Maysatria Label: News
Asap -terlihat dari luar angkasa- membumbung di atas Pulau Sumatera. Sumber: NASA

Asap -terlihat dari luar angkasa- membumbung di atas Pulau Sumatera. Sumber: NASA. Klik untuk memperbesar foto

Sejarah mencatat bahwa musim kabut di Indonesia mencapai puncaknya setiap akhir musim kemarau (September – Oktober), sebelum musim hujan tiba. Tahun ini musim kemarau baru saja datang, namun rekor PSI (Pollutant Standard Index—Indeks Standar Polutan) Singapura telah terpecahkan—mencapai angka baru, yakni 401 (Berbahaya) pada 21 Juni 2013. Polusi udara di Semenanjung Malaysia juga mencapai angka tertinggi sepanjang masa, sehingga Perdana Menteri Najib Razak menyatakan situasi tanggap darurat di distrik Muar dan Ledang pada 23 Juni 2013.
Walaupun kebakaran hutan merupakan masalah regional, keresahan yang ditimbulkannya berskala global.
Inferno Indonesia
Api berasal dari salah satu lahan penyimpan karbon superbesar di muka bumi: hutan rawa gambut. Sejak beribu-ribu tahun silam, di bawah hutan hujan tropis di dataran rendah Sumatra tersembunyi pokok, dahan, dan daun pepohonan yang setengah membusuk dan tidak pernah sepenuhnya terurai setelah terendam air. Dunia bawah tanah nan gelap ini memiliki potensi menjadi penyebab kebakaran hutan saat tersentuh oleh udara dan tersulut. Karena itu, ketika lahan-lahan gambut di Indonesia dikeringkan dan dibakar, salah satu penyimpan karbon jangka panjang terbesar dengan cepat berubah menjadi sumber karbon.
Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama kebakaran hutan terjadi di Indonesia pada 1997, sekitar 0,81-2,67 gigaton karbon terlepas ke atmosfer (Page et al, 2002). Ini setara dengan 13-40% dari emisi bahan bakar fosil di seluruh dunia pada tahun yang sama, melejitkan Indonesia menjadi pengemisi gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia (setelah Cina dan AS) dilihat dari beberapa indikator.
Hubungan antara emisi gas rumah kaca, perubahan iklim, dan peningkatan permukaan laut mengkhawatirkan bagi Indonesia, bangsa yang terdiri dari lebih dari 13.000 pulau.
Tanggapan terhadap REDD+
Sebagai tanggapan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan pada 2009 dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC bahwa Indonesia bertekad akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26% (41% dengan bantuan internasional) pada 2020, dengan tujuan paralel meningkatkan PDB tahunan sebesar 7% pada 2014.
Kedua tujuan tersebut penting bagi Indonesia. Tetapi strategi praktis apakah yang dapat diambil oleh negara dengan penduduk terpadat keempat di dunia ini untuk mengurangi dampak perubahan iklim sembari meningkatkan standar hidup nasional?
Salah satu strategi yang digalakkan adalah sebuah mekanisme yang dikenal dengan istilah REDD+, atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation—Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi. REDD+ dipandang sebagai bentuk ‘pembayaran bagi jasa lingkungan’ di mana negara-negara dan perusahaan-perusahaan penghasil emisi besar membayar negara-negara dan komunitas-komunitas yang kaya akan hutan hujan tropis untuk melestarikan hutan, sehingga emisi karbon yang besar di suatu lokasi dapat ‘diseimbangkan’ oleh pemerangkapan karbon di lokasi lain.
Dapatkah konservasi berbasis pasar membantu menyelamatkan hutan rawa gambut—rumah bagi orangutan—dari permintaan akan kayu, kertas, dan minyak kelapa sawit dari pasar? Foto: Wendy Miles
Dapatkah konservasi berbasis pasar membantu menyelamatkan hutan rawa gambut—rumah bagi orangutan—dari permintaan akan kayu, kertas, dan minyak kelapa sawit dari pasar? Foto: Wendy Miles

Hingga saat ini, lebih dari $1,4 milyar dolar telah ditanamkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan kebakaran hutan di Indonesia. Investornya adalah Norwegia, Australia, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Denmark, Korea Utara, dan Jepang—begitu pula perusahaan swasta semacam Merrill Lynch, Marubeni Corporation, Maquarie, dan Gazprom. Indonesia kini menjadi tuan rumah bagi lebih dari 50 proyek pilot penyeimbangan karbon internasional REDD+ yang menjanjikan keuntungan sebesar milyaran dolar.
Tetapi kabut yang menyelimuti Sumatra menghadapkan para investor REDD+ dan bangsa Indonesia dengan kontradiksi solusi berbasis pasar.
‘Siklus Karbon Korporasi’
Memanfaatkan Data Kebakaran Aktif dari NASA dan peta konsesi Riau 2010 dari Kementrian Kehutanan Indonesia, World Resources Institute mengungkapkan bahwa 52% kebakaran pekan lalu disebabkan oleh pembukaan lahan untuk industri kayu dan minyak kelapa sawit. Ironisnya, dua korporasi yang memegang lebih dari setengah hak konsesi tersebut adalah Sinar Mas dan Raja Garuda Mas—keduanya pemprakarsa penyeimbangan karbon di Provinsi Riau.
Sinar Mas mendanai “Kampar Carbon Reserve Project” dan menggagas “Giam Siak Kecil-Bukitbatu Biosphere Reserve REDD+ Pilot Project.” Anak perusahaan Sinar Mas di antaranya adalah PT SMART (salah satu perusahaan minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia) dan Asian Pulp & Paper (APP, salah satu perusahaan kertas dan pulp terbesar di dunia).
Asia Pacific Resources International Holdings, Ltd. (APRIL, bagian dari RGM), mengoperasikan pabrik pulp terbesar di dunia di Riau. Di provinsi yang sama, mereka menggalakkan proyek kontroversial “Sustainable Peatland Management Model” yang melibatkan pembuatan “penyangga” berupa hutan Acacia—bukan tumbuhan asli dari wilayah itu—yang kayunya dipanen untuk pembuatan bubur kertas di Semenanjung Kampar, salah satu habitat terakhir harimau Sumatra yang terancam kepunahan.
Kedua perusahaan tersebut dan perusahaan-perusahaan lainnya berupaya menerapkan penyeimbangan karbon dalam program-program tanggung jawab sosial korporasi (Corporate Social Responsibility) mereka. Sayangnya, emisi yang dihubungkan dengan kebakaran pekan ini dapat dipastikan jauh lebih besar daripada potensi penyeimbangan yang dihasilkan oleh aktivitas REDD di Provinsi Riau.
Sinyal Asap di Sumatra
Selama beberapa pekan mendatang akan dilakukan pelacakan terhadap sumber kebakaran lahan gambut di Sumatra. Melacak sumber kebakaran terbukti sulit selama bertahun-tahun terakhir, karena kebakaran tersebut bersifat menyebar dan gambut dapat terbakar perlahan-lahan di bawah tanah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum api menyeruak ke permukaan tanah. Tuduhan telah dilontarkan kepada para konglomerat, perusahaan minyak kelapa sawit, petani-petani kecil, dan para migran yang menduduki lahan konsesi. Sebagian tertuduh berusaha mengeruk keuntungan, sementara sebagian lainnya berjuang untuk hidup sehari-hari. Tetapi mereka semua berbagi logika pasar yang mendasari gagasan REDD+.
Sebagian orang menyamakan kebakaran kali ini sebagai contoh Tragedy of the Commons karya Garrett Hardin. Individu yang rasional (mis. petani Sumatra atau korporasi Indonesia) akan terus meraup sumber daya alam dengan jumlah yang semakin besar hingga biaya tindakan mereka setara dengan keuntungan yang diharapkan. Mendahulukan kepentingan pribadi, mereka yang berkepentingan sama (mis. penduduk Indonesia) mengabaikan dampak tindakan mereka bagi orang lain (mis. penduduk Singapura). Pada akhirnya, semua orang menderita.
Tetapi tesis Hardin terlalu menyepelekan realita. Penelitian selama berpuluh-puluh tahun menunjukkan bahwa masyarakat telah berulang kali mengatasi risiko dari tragedi semacam itu—menemukan cara untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan secara berkesinambungan mengelola sumber daya alam mereka. Mendiang penerima Penghargaan Nobel Elinor Ostrom menyebutkan bahwa ‘Global Commons’ memberikan tantangan baru bagi manusia. Dalam hal ini adalah atmosfer Bumi. Bisakah kita bersama-sama sebagai bangsa, korporasi, organisasi, dan individu membangun sebuah etos atmosferik?
Wendy Miles meneliti ekologi politik konservasi berbasis pasar di lahan gambut Indonesia. Micah Fisher telah lama bekerja dan tinggal di Indonesia. Miles dan Fisher adalah kandidat PhD di Jurusan Geografi University of Hawaii. 
Diterjemahkan oleh Antie Nugrahani Permana.

Source : link
0 komentar

Jumat, 28 Juni 2013

Kami Menghirup Asap Sementara Politisi Sibuk Berdebat dan Perusahaan Mencuci Tangan

Diposting oleh Maysatria Label: News

Rasanya kerinduan dengan keluarga kecilku, terutama putri mungilku Zahra (10 bulan) belum terobati setelah terlibat aktif dalam perjalanan panjang selama sebulan dengan kapal Rainbow Warrior untuk menyerukan penyelamatan penyelamatan keanekaragaman hayati hutan dan laut Indonesia.  Dan mendengar jelas komitmen presiden SBY dari atas kapal Rainbow Warrior untuk ikut meyelamatan hutan dan laut Indonesia.
Usai kegiatan tersebut saya sempat kembali ke kampung halaman di Sumatra Barat, sebelum kembali ke tempat bertugas di Pekanbaru. Namun setiba di perbatasan Riau, kami disambut kabut asap tipis dan udara yang mulai menyesak. Ah, musim kabut asap itu kembali lagi dan lagi. Kasihan Zahra kecilku yang seharusnya berhak atas udara sehat dalam pertumbuhannya dan juga anak-anak seluruh Riau.
Kebakaran hutan dan lahan di Riau memang tidak asing lagi bagi saya. Hampir setiap tahun asap menyesakan paru-paru warga Riau. Terakhir, pertengahan tahun lalu, kebakaran juga terjadi meski tidak separah tahun ini. Dan dua nama perusahaan yang disebut-sebut oleh kementrian lingkungan akan diselidiki karena diduga sebagai dalang kebakaran waktu itu. Namun hingga kini belum jelas ujung dari penyelidikan tersebut.
Bencana kabut asap tahun ini terbilang parah. Asap yang tertiup angin bergerak ke utara dan menutup langit Riau dan negara tetangga Singapura dan Malaysia. Indeks polusi udara di Singapura bahkan sudah mencatat rekor di tingkat berbahaya.
Minggu lalu saya dan tim dokumentasi Greenpeace berangkat untuk mengetahui situasi di lapangan. Setelah kami melihat peta titik api kami menuju titik api terbanyak maka Dumai adalah tujuan pertama kami. Dan benar saja, sepanjang Pekanbaru menuju Kota Dumai, kabut asap menutupi jalan, dan itu berasal dari perkebunan di sepanjang jalan. Ketebalan kabut asap semakin parah pada sore hari ditambah tiupan angin. Angin yang meniup bara api di dalam gambut akan menciptakan api yang membakar sangat cepat karena kondisi gambut dan ranting yang sudah kering. Jarak pandang terburuk selama empat hari perjalanan, mencapai 200 meter.
Tiba di Desa Tanjung Leban, Kabupaten Bengkalis, kami melihat satu keluarga sedang bersiap-siap untuk mengungsi karena gambut di belakang rumahnya sudah terbakar dan jaraknya hanya 10 meter saja dari dinding dapur. Meski sehari sebelumnya pemadam kebakaran dari pemerintah setempat membanjiri pekarangan rumahnya, namun ia tetap ragu kalau itu bisa mencegah api yang akan menyambar rumahnya.
“Keluarga saya yang lain sudah pada pindah ke rumah orang, termasuk ibu saya. Tetangga di dalam (kebun) sana juga sudah pindah. Saya malu sebenarnya pindah ke rumah orang, tapi kalau tak pindah, habis saya. Macam mana lah lagi,” kata Ernawati (46 tahun)
Menurut data satelit hotspot yang dirilis Greenpeace, antara 11-18 Juni terdapat seribu lebih titik api di Riau saja. Titik-titik api itu berada di lahan gambut, konsesi perusahaan sawit dan akasia juga di kawasan moratorium hutan. Bahkan lebih dari setengahnya terdeteksi di hutan yang dilindungi dalam kebijakan moratorium.
Menanggapi bencana ini, pemerintah lebih banyak berdebat kusir siapa yang patut disalahkan dibandingkan mengerahkan kemampuan untuk menghentikan titik api dan memulai menegakkan hukum. Debat kusir ini terjadi terutama saat Singapura dan Malaysia memulainya di media yang menuding Indonesia harus bertanggung jawab. Sementara pemerintah Indonesia menanggapinya dengan menyebut perusahaan asal Singapura dan Malaysia juga harus bertanggungjawab karena ditemukan titik api.   Begitu juga dengan para CEO perusahaan sawit raksasa yang memiliki kebun di Riau sibuk dengan mencuci tangan bahwa mereka tidak terlibat dengan semua kebakaran itu meski pemerintah menyebut ada banyak titik api di lahan mereka.
Di tengah hiruk pikuk para politisi dan aksi cuci tangan perusahaan sawit besar, kondisi di lapangan semakin parah. Saat kami melanjutkan perjalanan ke Sontang, Bonai Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu, hamparan gambut berhutan sebagian hangus terbakar. Kepulan asap membumbung tiada henti. Saat angin bertiup, api pun mulai menjilat-jilat. Ada sejumlah warga saling bantu membantu memadamkan api dengan peralatan seadanya. Jalanan ditutup sementara karena kebakaran meluas hingga di pinggir jalan raya. Dan akhirnya setelah beberapa hari bantuan pemadam kebakaran dari pemerintah setempat datang, hamparan gambut luas yang sore itu hangus, esok paginya terlihat bersih dari asap dan bara.
 
Tapi kami menyaksikan pemandangan lain, empat eskavator terlihat langsung aktif bekerja membersihkan lahan yang terbakar itu. Dua di antaranya merobohkan pohon-pohon dan lainnya membuat kanal. Bukannya mereka seharusnya istirahat setelah api padam, lalu buat apa merobohkan pohon di hutan kecil dekat gambut itu? Ternyata mereka melanjutkan pembukaan kelapa sawit seperti tidak ada masalah kebakaran sebelumnya.  Business as usual.

source : link 
penulis : Zamzami
0 komentar

Diduga Terlibat Kebakaran Hutan, 117 Perusahaan Dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup

Diposting oleh Maysatria Label: News
Sisa hutan dan lahan gambut yang hangus terbakar di Jurong, Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu Riau terlihat pada 24/6/13. Foto: Zamzami

Sisa hutan dan lahan gambut yang hangus terbakar di Jurong, Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu Riau terlihat pada 24/6/13. Foto: Zamzami

Koalisi masyarakat sipil melaporkan 117 perusahaan ke Kementerian Lingkungan Hidup, Rabu(26/6/13). Perusahaan-perusahaan ini diduga terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, hingga menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan udara di atas ambang batas kesehatan.
Muhnur Stayahaprabu, Manager Advokasi Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional mengatakan, dari 117 perusahaan ini 33 perkebunan, 84 hutan tanaman industri dengan lokasi 99 persen di Riau.
“Kami menduga kebakaran bukan semata terjadi begitu saja, melainkan ada kepentingan korporasi yang jelas mendapatkan keuntungan di balik kebakaran lahan dan hutan itu,” katanya dalam rilis kepada media, di Jakarta, Rabu (26/6/13).
Koalisi mendesak KLH memproses hukum 117 perusahaan ini atas dasar tindak pidana lingkungan. Pemerintah diminta audit lingkungan sebagai bentuk pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Juga mencabut perizinan lingkungan setiap perusahaan yang jelas-jelas mencemari dan merusak lingkungan.
Walhi Somasi Pemerintah
Sebelumnya, pada Selasa (25/6/13), Walhi menyampaikan somasi ke Presiden Republik Indonesia, ke tiga kementrian yakni  KLH, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian dan tiga tiga gubernur (Riau, Jambi dan Sumatera Selatan serta Kapolri.
Dalam waktu tujuh hari  Walhi mendesakkan beberapa hal. Pertama, mengeluarkan kebijakan melindungi warga negara dalam ancaman udara yang  melebihi ambang batas kesehatan. Kedua, pencegahan dan penanggulangan cepat atas peristiwa kebakaran hutan di sejumlah pulau di Indonesia. Ketiga, evaluasi semua izin konsesi baik perkebunan maupun HTI. Keempat penegakan hukum termasuk menangkap pelaku-pelaku perseorangan maupun korporasi yang bertanggung jawab atas wilayah konsesi mereka.
Dalam catatan Walhi dari satelit Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, 2006 ada 146.264 titik api, 2007 (37.909), 2008 (30.616), 2009 (29.463),  2010 ( 9.898) dan 2011 (11.379). Sedang penghitungan Walhi, 2011 terditeksi 22.456 titik api, dan 2012 sampai Agustus ada 5.627 titik api tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Antara lain, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengan dan Kalimantan Timur.
Koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari Walhi Nasional, Walhi Riau, Walhi Jambi, Walhi SumSel, Sawit Watch, Elsam, Yayasan LBH Indonesia, dan ICEL.
10 Warga jadi Tersangka
Sementara Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya mengatakan, ada delapan perusahaan Malaysia diduga membakar lahan dan hutan di Riau. Polda Riau mengecek perusahaan  itu, antara lain, PT Lagam Inti Hibrida di Pelalawan dan PT Bumi Reksa Sejati di Indragiri Hilir.
Namun, sampai kini yang ditangkap polisi hanya masyarakat yang diduga membakar hutan dan lahan, belum ada mengarah ke pelaku perusahaan. Warga yang dijadikan tersangka dalam kasus pembakaran kawasan lahan dan hutan Riau menjadi 10 orang. “Dari Polda Riau sudah tetapkan 10 tersangka. Ini baru jumlah saja. Dari wilayah Rokan Hilir enam orang, Bengkalis satu, Pelalawan dua, dan Siak satu tersangka,”  kata Kepala Bagian Penerangan Satuan Divisi Humas Polri Komisaris Besar Rana S Permana di Jakarta, Rabu (26/6/2013), seperti dikutip dari Kompas.com.
Menurut dia, kepolisian belum mendapatkan informasi keterkaitan tersangka dengan sejumlah perusahaan perkebunan sawit di kawasan hutan atau lahan Riau.
Sebelumnya, Ronny Franky Sompie, Kepala Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) mengatakan, masih mendalami kasus kebakaran hutan pada sejumlah perusahaan itu.”Masih didalami apakah ada kaitan dengan perusahaan yang mungkin membiayai mereka untuk melakukan pembakaran. Bagaimana upaya pencegahan terjadi kebakaran yang lebih besar oleh perusahaan, itu nanti akan sangat terkait dengan ada atau tidaknya keterlibatan dari perusahaan itu.”
Laporan Tindak Pidana 117 Perusahaan

Source : link
0 komentar

Penelitian: Sebagian Besar Spesies Terdampak Perubahan Iklim Tidak Masuk Prioritas Konservasi

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi
Rusa adalah salah satu satwa yang tidak mendapat prioritas utama dalam konservasi, kendati satwa ini memiliki peran penting bagi manusia di sekitar hutan dan menjadi sumber protein bagi manusia. Foto: Aji Wihardandi

Rusa adalah salah satu satwa yang tidak mendapat prioritas utama dalam konservasi, kendati satwa ini memiliki peran penting bagi manusia di sekitar hutan dan menjadi sumber protein bagi manusia. Foto: Aji Wihardandi

Sebagian besar spesies yang mengalami resiko terbesar akibat perubahan iklim ternyata jutsru tidak masuk dalam prioritas konservasi di dunia, hal ini terungkap dalam studi yang dilakukan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang memperkenalkan sebuah metode untuk menilai kerentanan spesies terhadap perubahan iklim.
Artikel ilmiah ini telah diterbitkan dalam sebuah jurnal PLOS ONE, menilai semua spesies burung dunia, amfibi dan terumbu. Penelitian ini melibatkan sekitar 100 pakar ilmiah dari seluruh dunia selama lima tahun, termasuk si pemimpin penelitian ini Wendy Foden seorang kandidat PhD dari Wits.
Dari hasil penelitian ini, sekitar 83% spesies burung, 66% spesies amfibi dan 70% terumbu teridentifikasi mengalami kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim, dan mereka semua tidak masuk dalam kategori terancam di dalam Daftar Merah IUCN. Terkait hal ini, semua spesies tersebut harus mulai difokuskan dan mendapat perhatian yang lebih untuk melestarikannya, ungkap studi ini.
“Temuan ini membuka tabir yang mengejutkan,” ungkap Foden, yang memulai penelitian ini saat bekerja di IUCN Global Species’ Programme’s Climate Change Unit, yang didirikannya sejak enam tahun silam. “Kami tidak menyangka sebanyak itu spesies dan wilayah yang muncul dalam kategori sangat rentan terhadap perubahan iklim. Secara umum, jika kita hanya melakukan aksi konservasi seperti biasa, tanpa mempertimbangkan unsur perubahan iklim, kita akan gagal melindungi banyak spesies dan wilayah yang sebenarnya paling membutuhkan perhatian.”
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini mendalami keunikan karakteristik biologis dan ekologis yang membuat setiap spesies lebih atau kurang sensitif atau tingkat adaptasi mereka terhadap perubahan iklim. Metode konvensional lebih menekankan pengukuran perubahan terbesar yang dialami oleh spesies.
Pendekatan baru ini sudah diaplikasikan di kawasan Albertine Rift di Afrika Tengah dan Timur yang kaya spesies, dengan mengidentifikasi vegetasi dan satwa yang penting bagi manusia dan memiliki kemungkinan terbesar akibat perubahan iklim. Termasuk di dalamnya adalah 33 jenis vegetasi yang digunakan sebagai bahan bakar, material konstruksi, pangan dan obat-obatan.Lalu juga 19 spesies ikan air tawar yang menjadi sumber pangan dan penghasilan dan 24 mamalia yang digunakan sebagai sumber pangan utama.
“Dari hasil studi ini menunjukkan bahwa manusia di kawasan tersebut sangat bergantung pada spesies liar untuk kehidupan mereka, dan hal ini sudah pasti akan terganggu akibat perubahan iklim,” ungkap Jamie Carr dari IUCN Global Species Programme dan penulis utama di kawasan Albertine Rift. “Hal ini menjadi penting bagi orang-orang yang miskin dan termarjinalisasi yang menggantungkan pada spesies liar untuk memenuhi kebutuhan mereka.”

CITATION: Wendy B. Foden, Stuart H. M. Butchart, Simon N. Stuart, Jean-Christophe Vié, H. Resit Akçakaya, Ariadne Angulo, Lyndon M. DeVantier, Alexander Gutsche, Emre Turak, Long Cao, Simon D. Donner, Vineet Katariya, Rodolphe Bernard, Robert A. Holland, Adrian F. Hughes, Susannah E. O’Hanlon, Stephen T. Garnett, Çagan H. ÅžekercioÄŸlu, Georgina M. Mace. Identifying the World’s Most Climate Change Vulnerable Species: A Systematic Trait-Based Assessment of all Birds, Amphibians and Corals. PLoS ONE, 2013; 8 (6): e65427 DOI: 10.1371/journal.pone.0065427

Source : link
0 komentar

Foto: Petugas Kewalahan Padamkan Kebakaran Hutan di Rokan Hulu

Diposting oleh Maysatria Label: News
Pemadam sedang kewalahan memadamkan api di lahan gambut, di Sontang, Kecamatan Bonai Darussalam, Rokan Hulu Riau. Foto diambil 23/06/2013. Foto: Zamzami

Pemadam sedang kewalahan memadamkan api di lahan gambut, di Sontang, Kecamatan Bonai Darussalam, Rokan Hulu Riau. Foto diambil 23/06/2013. Foto: Zamzami

Upaya pemadaman api yang dilakukan di beberapa lokasi kebakaran hutan di Riau telah dimulai sejak beberapa hari terakhir. Namun luasnya area yang terbakar, hembusan angin serta kedalaman lahan gambut, serta peralatan yang seadanya membuat berbagai upaya pemadaman yang dilakukan menjadi sangat sulit.
Hal ini diakui oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Rokan Hulu yang berupaya memadamkan kebakaran lahan di Kecamatan Bonai Darussalam. Kepala BPBD Rokan Hulu, Aceng Hediana menyatakan Sabtu lalu kepada media bahwa kondisi ini membuat jarak pandang sangat terbatas akibat tebalnya kabut asap.
Pemadan api Pemkab Rokan Hulu berusaha keras memadamkan api yang membakar hutan di Desa Sontang, Bonai Darussalam, Rokan Hulu, Riau, 24/06/2013. Foto: Zamzami
Pemadan api Pemkab Rokan Hulu berusaha keras memadamkan api yang membakar hutan di Desa Sontang, Bonai Darussalam, Rokan Hulu, Riau, 24/06/2013. Foto: Zamzami
BPBD sendiri melakukan upaya pemadaman bersama dengan pihak TNI, Polisi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Lingkungan Hidup dan lain sebagainya. Jumlah lahan yang terbakar diperkirakan mencapai ribuan hektar di berbagai desa di Kecamatan Bonai Darussalam. Namun upaya yang dilakukan memang menemui kendala, beberapa titik api yang berhasil dipadamkan kembali menyala. Kepala BPBD Rokan Hulu, Aceng Hediana mengaku hal tersebut, pihaknya mengakui kewalahan dalam memadamkan api di lahan gambut, kondisi api yang sudah padam bisa menyala kembali sewaktu-waktu.
Sisa hutan dan lahan gambut yang hangus terbakar di Jurong, Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu Riau terlihat pada 24/06/2013.
Sisa hutan yang hangus terbakar di Desa Sontang, Bonai Darussalam, Rokan Hulu, Riau. 24/06/2013. Foto: Zamzami
Sisa hutan yang hangus terbakar di Desa Sontang, Bonai Darussalam, Rokan Hulu, Riau. 24/06/2013. Foto: Zamzami
Sisa hutan dan lahan gambut yang hangus terbakar di Jurong, Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu Riau terlihat pada 24/06/2013.

Source : link
0 komentar

Minggu, 09 Juni 2013

Upaya Penyelamatan Sungai Ciliwung Lewat Metode Biotilik

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, Sains dan Teknologi

Kegiatan uji kesehatan sungai dengan metode biotilik oleh pelajar SMK di sekitar puncak, Jawa Barat. Foto: Prigi Arisandi – Ecoton

Kondisi kerusakan sungai Ciliwung yang membentang dari dataran tinggi Jawa Barat hingga Teluk Jakarta, kini semakin parah. Tanpa adanya pencegahan dan keterlibatan aktif masyarakat, kondisi Ciliwung akan semakin rusak. Terkait upaya penyelamatan ini, sebuah pelatihan untuk mengukur indiator kebersihan air dengan metode biotilik telah dilakukan di Cisampay, Jawa Barat pada 13-15 Mei 2013 silam. Pelatihan untuk guru, siswa sekolah dan berbagai elemen lainnya ini digelar oleh Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Komunitas Ciliwung. “Kegiatan ini bertujuan untuk melatih fasilitator pendamping yang nantinya akan melakukan kegiatan pemantauan bersama dengan 1000 orang disepanjang DAS Ciliwung dalam puncak peringatan hari lingkungan hidup,” kata Abdul Koordinator penggerak Komunitas Ciliwung yang menjadi koordinator pelatihan.
Pelatihan ini juga diikuti oleh Erna Witoelar Mantan Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah dan kini Ketua Gerakan Ciliwung Bersih juga hadir memberikan dukungan agar upaya-upaya inisiatif warga untuk pemulihan DAS didukungan semua fihak. ”Saya sangat mendukung kegiatan biotilik sebagai cara untuk memulihkan Ciliwung, meskipun sudah banyak cara yang telah dilakukan untuk Ciliwung namun yang terpenting adalah konsistensi dan kerjasama semua fihak untuk pemulihan Ciliwung,” kata Erna Witoelar yang juga ketua Gerakan Ciliwung Bersih (GCB).
Kerusakan DAS di Indonesia
Mengacu pada evaluasi dan hasil pelaksanaan Pemantauan Kualitas  Air 33 Propinsi Tahun 2011 oleh Pusarpedal -KLH yang disampaikan dalam rakernis PKA 33 Provinsi di Jaya Pura, Papua, dari 51 sungai yang dipantau di Indonesia 62, 74% masuk kategori tercemar Berat, 31, 37% tercemar Sedang-berat, 3,92% tercemar. Padahal Indonesia memiliki sedikitnya 5.590 sungai utama dan 65.017 anak sungai. Dari 5,5 ribu sungai utama panjang totalnya mencapai 94.573 km dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) mencapai 1.512.466 km2. Selain mempunyai fungsi hidrologis, sungai juga mempunyai peran dalam menjaga keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budaya, transportasi, pariwisata dan lainnya.
Namun sayangnya setiap tahun selalu terjadi peningkatan jumlah DAS kritis di Indonesia. Jumlah DAS Kritis di Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya pada tahun 1984 terdapat 22 DAS Kritis meningkat menjadi 39 DAS pada tahun 1992. Pada tahun 1998 jumlah DAS Kritis meningkat menjadi 55 DAS, hasil inventarisasi terakhir oleh Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2010 terdapat 62 DAS dalam status Kritis. “DAS kritis ini umumnya terdapat di pulau Jawa atau pada daerah lain yang mengalami peningkatan jumlah penduduk,” kata Prigi Arisandi S.Si, M.Si, Koordinator Pemulihan DAS Indonesia.
Kali Ciliwung  salah satunya, termasuk dalam DAS kritis di Indonesia yang saat ini sedang mengalami kerusakan serius pada semua segmen DAS, hal ini diungkapkan oleh Ir. Hj Dewi Nurhayati,Msi selaku Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan  BPLHD Jawa Barat seperti dikutip dari rilis Ecoton yang diterima Mongabay Indonesia.
Prigi Arisandi dari Ecotn bersama para pembicara pelatihan metode biolitik. Foto: Prigi Arisandi – Ecoton
Biotilik dan Pemulihan Daerah Aliran Sungai
Metode Biotilik adalah cara pemantauan kualitas air yang mudah dan murah sehingga membuka ruang bagi masyarakat untuk bisa terlibat termasuk di dalamnya pelajar, guru dan komunitas di Ciliwung. Sudirman Asun dari Ciliwung Institut menyatakan bahwa selama ini  konsep pendekatan pengendalian  pencemaran dan pemulihan sungai jauh dari melibatkan masyarakat, sentralistik, mahal dan eksklusif. Padahal Indonesia yang memiliki keanekaragaman habitat dan ekosistem dengan pengaruh kondisi lingkungan yang berbeda sehingga tidak seharusnya diterapkan metode yang seragam dalam pemantauan kualitas air dan upaya pemulihan DAS.
Untuk pemulihan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dibutuhkan partisipasi masyarakat. “Masyarakat didorong untuk terlibat dalam menjaga Sungai, masyarakat harus diposisikan sebagai komponen penting dalam karena Pemerintah atau instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan sungai tidak memiliki komitmen kuat dalam menjaga kelestarian fungsi ekologis sungai,” kata Daru Setyorini M.Si, Direktur Institut Perlindungan dan Pemulihan Sungai (INSPIRASI).
“Biotilik merupakan metode pemantauan kualitas air yang bisa memberikan informasi lebih mendetail dalam upaya pemulihan DAS, karena dengan biotilik kita bisa mengetahui dampak penurunan kualitas air yang mengakibatkan berubahnya kondisi habitat sungai, perubahan kondisi habitat ini direspon oleh biota air yang tinggal di sungai, karena setiap biota air memiliki tingkat toleransi yang berbeda terhadap pencemaran air,” kata Daru Setyorini.
Metode Biotilik dikembangkan dan diuji-cobakan dalam 10 tahun terakhir oleh Inspirasi dan Ecoton di beberapa daerah. Harpannya, metode ini bisa diimplementasikan di seluruh DAS Indonesia karena didesain agar mudah dilakukan dan menyenangkan.

Source : link
0 komentar

Biotilik: Memantau Kesehatan Sungai lewat cara Sederhana namun Efektif

Diposting oleh Maysatria Label: Sains dan Teknologi
Pengambilan sampel biolitik

Pengambilan sampel biolitik di anak Sungai Solo. Foto: Ecoton

Sungai adalah ekosistem daratan yang paling kritis karena tingginya tekanan lingkungan akibat kerusakan daerah resapan air dan bantaran sungai serta eksploitasi sumber daya alam di daerah aliran sungai (DAS) yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.
Jika selama ini pemantauan ekosistem sungai identik dengan keharusan untuk menggunakan peralatan canggih nan mahal, -yang berarti jauh dari jangkauan masyarakat umum-, maka metode Biotilik menawarkan cara sederhana tetapi efektif yang memudahkan kelompok maupun komunitas untuk langsung memantau sampai sejauh mana kesehatan ekologis sebuah sungai dan daerah alirannya.
Biotilik atau biomonitoring sendiri adalah metode pemantauan kesehatan sungai dengan menggunakan indikator makro invertebrata (hewan tidak bertulang belakang) seperti bentos, capung, udang, siput, dan cacing.  Hasil pemantauan Biotilik dapat memberikan petunjuk adanya gangguan lingkungan pada ekosistem sungai, sehingga dapat dirumuskan upaya penanggulangan yang dibutuhkan.
Menurut Prigi Arisandi dari Ecoton dan Ketua BT Telapak-Jabagtim, Biotilik merupakan metode yang mudah digunakan karena hanya memerlukan pengambilan sampel biota di dasar, tepian sungai atau yang menempel di bebatuan atau substrat. Biota yang ditemukan tinggal dicocokkan dengan biota yang tertera dalam gambar panduan yang terdapat di dalam modul.
Untuk selanjutnya, biota yang didapat dikelompokkan menjadi biota yang tidak toleran (sensitif) terhadap pencemaran dan biota yang toleran (tidak sensitif) terhadap pencemaran.
Keberadaan biota yang sensitif dengan pencemaran mengindikasikan bahwa kondisi suatu sungai masih tetap bagus kualitasnya (tidak tercemar), seperti larva kunang-kunang atau larva capung.  Sedangkan biota yang tidak sensitif terhadap pencemaran mencirikan bahwa sungai telah sakit dan tercemar, diantara biota ini adalah cacing tanah (cacing darah) dan cuncum.
Murah dan Cepat
Dibandingkan dengan metode konvensional yang ada, dengan metode Biotilik untuk mengetahui kualitas air di suatu lokasi, hasilnya dapat diketahui paling lama 1 jam, padahal dengan metode fisika kimia seperti BOD dan COD, dibutuhkan waktu minimal lima hari untuk pengujian laboratorium.
Pengukuran lain dengan menggunakan parameter fisika kimia seperti pengukuran pH, suhu, TSS dan turbidity menghasilkan data yang langsung dapat diketahui, “Namun kelemahan dari penggunaan peralatan ini, harganya sangat mahal dan jika terjadi kerusakan di peralatan, suku cadangnya harus tunggu pesanan dulu ke  Amerika atau Singapura,” Prigi menjelaskan.
“Bandingkan dengan Biotilik yang cukup dengan menggunakan jaring dengan mata jaring lebih kecil atau sama dengan 500um atau sama dengan penggunaan jaring nener atau kasa nyamuk di toko material. Biotilik mudah, juga murah dan massal karena bisa dilakukan bersama-sama dan cara mitigasi pencemaran. Dengan biotilik diharapkan dapat mengambil langkah cepat antisipasi kerusakan sungai yang lebih parah,” Prigi menuntaskan.
Dalam sepuluh tahun ini metode Biotilik telah diujicobakan dan diterapkan di DAS Brantas oleh lembaga Ecoton dan Inspirasi (Institut Perlindungan dan Pemulihan Sungai) untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat, khususnya generasi muda, agar berpartisipasi menjaga kelestarian ekosistem sungai.  Bahkan saat ini, di hulu sungai Brantas, para pelajar dan komunitas secara rutin setiap dua minggu sekali turut memantau kesehatan sungai dengan memberikan bendera kuning untuk kualitas air baik, hijau untuk kualitas air sedang, dan merah untuk kualitas air buruk.
Disarankan untuk melakukan pemantauan Biotilik sebaiknya dilakukan saat musim kemarau saat debit air sungai stabil dan tidak ada banjir.
Untuk mengetahui lebih lanjut prosedur pemeriksaan dengan menggunakan Biotilik dapat melihat di dokumen berikut: PANDUAN BIOTILIK PEMANTAUAN KESEHATAN SUNGAI–1
Terimakasih kepada Prigi Arisandi dari ECOTON yang telah mengijinkan Mongabay-Indonesia untuk menyebarluaskan modul pemantau Biotilik untuk tujuan penyadartahuan publik.

Source : link
0 komentar

Hutan Adat Temedak: Kisah Kearifan Lokal dari Tepian Danau Kerinci

Diposting oleh Maysatria Label: News

Panorama di sekitar Hutan Temedak, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Jambi. Salah satu hutan tropis yang masih tersisa di Sumatera dengan adanya kearifan lokal. Foto: Lili Rambe

Hutan adat Temedak terletak di Desa Keluru, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Hutan yang memiliki luas sekitar 23 hektar ini sudah ditetapkan sebagai hutan adat oleh para pemangku adat desa Keluru sekitar 60 tahun yang lalu. Menurut Zulfahmi, sekretaris desa Keluru, penetapan hutan ini menjadi hutan adat berawal pada saat desa tetangga mereka (desa Jujun) dilanda tanah longsor yang memporak porandakan desa, bahkan ada beberapa rumah yang terseret hingga puluhan meter jauhnya dari desa. Setelah kejadian tersebut para ninik mamak dan alim ulama desa Keluru menetapkan kawasan hutan yang terletak dipinggir desa mereka menjadi hutan adat.
Pemangku adat berwenang atas pengelolaan dan penjagaan hutan dan seluruh warga desa Keluru ikut berperan serta secara aktif dalam menjaga kelestarian hutan ini. Setiap warga desa boleh memanfaatkan hasil hutan namun dilarang keras mengambil kayu dari dalam hutan. Kayu hanya dapat diambil dari dalam hutan sepanjang kayu tersebut digunakan untuk kepentingan desa, misalnya untuk membuat jembatan atau membangun tempat ibadah dan telah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemangku adat.
Jika ada warga yang melanggar peraturan hutan adat, warga tersebut akan segera diberi sanksi berupa denda. Sanksi denda ini diberikan berdasarkan berapa banyak hasil hutan yang diambil oleh warga tersebut. “Jika yang diambil dari dalam hutan kayu berukuran kecil dan jumlahnya sedikit denda yang diberikan adalah seekor ayam. Semakin banyak hasil yang diambil dari hutan dendanya semakin besar, bisa saja dendanya berupa kambing atau bahkan sapi” jelas Zulfahmi.  Menurutnya hampir tidak ada warga desa Keluru yang melanggar peraturan hutan adat. Pernah ada warga dari desa lain yang mengambil kayu dari hutan adat dan tertangkap tangan oleh warga desa Keluru. Kejadian ini segera dilaporkan ke pemangku adat desa dan warga dari desa lain itu segera dikenai sanksi atas perbuatannya. Dengan pemberian sanksi ini diharapkan warga lain tidak akan berani lagi mengambil kayu dari hutan adat.
Tepian Hutan Temedak. Foto: Lili Rambe
“Hutan adat ini adalah sumber air bagi desa kami” kata Zulfahmi. Dengan air dari hutan adat inilah warga desa Keluru yang sebagian besar adalah petani padi mendapatkan air untuk mengairi sawah mereka. Namun kebutuhan air bersih di tiap rumah  warga desa Keluru masih disuplai oleh perusahaan air minum desa (PAM desa) Jujun. Tarif yang dibebankan kepada desa Keluru pun dirasa cukup mahal. “Sudah lama desa kami ingin memenuhi kebutuhan air bersih dengan memanfaatkan sumber air dari hutan adat Temedak sehingga tidak lagi tergantung pada suplai air dari desa Jujun. Kami sudah pernah meminta pada pemda untuk memberikan bantuan untuk membangun PAM desa sendiri namun hingga kini belum ada jawaban dari pemda” ungkap Zulfahmi.  Ia berharap agar tahun ini pemda dapat merealisasikan harapan warga desanya.
Hutan adat Temedak adalah hutan adat pertama di Kapubaten Kerinci yang mengantongi SK dari Bupati, disusul oleh 4 hutan adat lainnya dan sementara ini masih ada 5 hutan adat lain yang tengah menanti SK Bupati. Pada tanggal 16 Mei 2013 Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan putusan atas gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap undang-undang kehutanan nomor 41 tahun 1999. Dalam putusan MK ini ditegaskan bahwa hutan adat berbeda dengan hutan negara sehingga tidak dimungkinkan hutan adat berada dalam wilayah hutan negara.
Dengan adanya keputusan MK ini maka hutan yang menjadi tanah ulayat atau tanah hutan yang sudah menjadi milik orang, tetapi belum diusahakan, akan sepenuhnya dikelola sendiri oleh masyarakat setempat. Dalam tanah ulayat, juga terdapat hak ulayat, yaitu hak yg dimiliki suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai tanah beserta isinya di lingkungan wilayahnya dan wewenang negara atas hutan adat dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Putusan ini membuat hutan adat Temedak dan hutan-hutan adat lainnya yang terdapat diseluruh nusantara memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan hutan sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih dalam hal pengelolaan kawasan dan negara tidak lagi sewenang-wenang dalam memberikan izin alihfungsi kawasan hutan adat untuk kepentingan bisnis.

Source : link
0 komentar

Jumat, 07 Juni 2013

Dokumentasi Magang (8 April-31 mei 2013)

Diposting oleh Maysatria Label: News
Tidak terasa sudah berlalu 2 bulan melaksanakan magang. lokasi pelaksanaan magang di salah satu perusahaan hutan tanaman industri di propinsi Jambi. Alhamdulillah berkat doa teman-teman semua kegiatan magang dapat berjalan lancar dan semoga bermanfaat, tinggal bersiap-siap untuk ujian. sekedar berbagi foto-foto narsis selama magang. cekidot .. ^_^






0 komentar

Penelitian: Penghijauan Ternyata Juga Akan Menyelamatkan Terumbu Karang

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi

Terumbu karang di Raja Ampat, Papua akan semakin sehat jika lingkungan daratan di sekitarnya terjaga. Foto: Greenpaece

Siapa bilang kerusakan di hutan  dan daratan tidak membawa dampak bagi kehidupan terumbu karang dunia? Ternyata berbagai aktivitas manusia dan kerusakan di daratan, seperti terjadinya erosi tanah, meningkatnya sedimentasi serta kerusakan lingkungan akibat deforestasi memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap kehidupan terumbu karang di lautan.
Hal ini terungkap dalam sebuah studi yang dilakukan oleh sekelompok pakar dari Australia Barat, yaitu di Western Australia’s Ocean Institute. Dalam tulisan berjudul ‘Human Deforestation Outweighs Future Climate Change Impacts of Sedimentation on Coral Reefs” ini para pakar melihat dampak perubahan iklim di masa mendatang terhadap terumbu karang di Madagaskar dan skenario deforestasi yang berbeda.
“Dalam penelitian ini kami menemukan relevansi untuk wilayah di Australia, karena penggunaan lahan yang intens dan deforestasi di masa lalu telah mengubah area tangkapan air sungai secara besar-besaran dan hal ini menjadi ancaman utama bagi terumbu karang di Great Barrier Reef dan berbagai wilayah lain di dunia,” ungkap Dr. Jens Zinke dari UWA Oceans Institute. “Pengelolaan dalam tata ruang di daratan yang baik adalah tindakan utama yang diperlukan untuk mengulur waktu agar karang bisa tumbuh di daerah dekat muara.”
“Dalam kasus Madagaskar, kami berupaya memahami bagaimana erosi tanah dan sedimentasi telah mengubah terumbu karang yang berdekatan dengan sungai mengalami perubahan dengan kedua faktor ini,” tambahnya.
Untuk mengatasi hal ini, menekan polusi sedimen ke terumbu karang adalah langkah yang kami rekomendasikan untuk memberikan kesempatan kepada terumbu karang untuk mencegah kerusakan di masa mendatang. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana mengelola sedimentasi melalui upaya penghutanan kembali dan pengelolaan pesisir yang tepat?
“Dalam studi ini sangat jelas ditunjukkan bahwa kita membutuhkan upaya penghutanan kembali yang memiliki tujuan spesifik untuk wilayah yang juga spesifik dan memastikan bahwa luasan wilayah yang dialokasikan untuk dihutankan kembali tersebut cukup untuk menekan sedimentasi secara signifikan.
“Sampai kita memahami secara pasti kaitan antara penghutanankembali sebagai alat untuk konservasi terumbu karang, maka hal kita tidak akan mendapatkan jawaban memeuaskan dari tujuan pengurangan sedimentasi tersebut.”
Hasil penelitian ini nampaknya cukup relevan dengan kasus di berbagai wilayah di Indonesia, mengingat sedimentasi secara besar-besaran terjadi di berbagai wilayah di tanah air, dan mengiringi kerusakan ekosistem perairan di sekitarnya.

CITATION: Joseph Maina, Hans de Moel, Jens Zinke, Joshua Madin, Tim McClanahan, Jan E. Vermaat. Human deforestation outweighs future climate change impacts of sedimentation on coral reefs. Nature Communications, 2013; 4 DOI: 10.1038/ncomms2986

Source : link
0 komentar

Teknologi: Wow, Ternyata Belum Semua Jenis Kayu yang ada di Indonesia Diketahui Manfaatnya

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, Kesehatan
Pohon di hutan

Belum semua jenis pohon berkayu di Indonesia diketahui manfaat dan kegunaannya. Foto: Rhett A. Butler

Indonesia merupakan negara tropis yang kaya dengan berbagai kekayaan hayati.  Berdasarkan catatan publikasi ilmiah telah terdeskripsi lebih dari 4.000 jenis pohon kayu terdapat di Asia Tenggara, di mana sebagian terbesar jenis-jenis tersebut tumbuh di Indonesia. Namun demikan, ternyata baru sekitar 75% atau 3.001 jenis saja yang sampel kayunya baru berhasil di koleksi hingga saat ini.  Dari tiga ribuan jenis-jenis sampel spesimen kayu tersebut, saat ini berbagai spesimen tersimpan dengan rapi di Xylarium Bogoriense atau yang dikenal oleh publik dengan sebutan Perpustakaan Kayu.
Xylarium Bogoriense atau perpustakaan kayu yang berlokasi di Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) Bogor telah mengumpulkan contoh kayu sebanyak 40.858 spesimen dari 591 marga (genus) dari 94 suku (family).  Dari keseluruhan sampel tersebut, maka bagian terbesar telah dikelompokkan menjadi kayu komersial,dan sisanya dikelompokan menjadi kayu kurang dikenal dan kayu yang paling sedikit dikenal.
“Meskipun telah memiliki Xylarium yang hampir berusia 100 tahun. Kita tertinggal dari negara-negara lain. Contohnya Brasil yang telah memiliki 18 perpustakaan kayu, 15 diantaranya setelah Perang Dunia II.  Bahkan negara seperti Belanda, yang tidak memiliki hutan alam memiliki 7 perpustakaan kayu,” demikian Y.I. Mandang, mantan kurator pada Xylarium Bogoriense menjelaskan dalam Workshop Diskusi Anatomi Kayu di Bogor pada 3-4 Juni 2013 yang lalu.  Xylarium Bogoriense sendiri didirikan sejak tahun 1914 oleh pemerintah kolonial Belanda dan saat ini merupakan perpustakaan kayu terbesar ketiga di dunia.
Tujuan dari pengumpulan kayu adalah untuk menggambarkan informasi tentang sifat fisik dan anatomi kayu untuk tujuan kecocokan tertentu.  Misalnya saja mencari jenis kayu pengganti jelutung (Dyera costulata), kayu yang mulai langka, untuk bahan baku pensil.  Mudah tidaknya kayu diserut dengan alat peruncing pensil bergantung kepada struktur anatomi dan berat jenis kayu.
Contoh lain, adalah upaya para peneliti yang mencari jenis kayu lokal untuk propeler baling-baling kapal laut guna menggantikan kayu pok (Guaijacum officinale) asal Brasil. Hasil penelitian para anatomiwan mendapatkan kayu Elateriospermum tapos dan Xantophyllum stipitatum yang hasilnya dapat digunakan.
penampang lintang kayu
Pengamatan mikroskopik sebagai bagian dari pemeriksaan anatomi kayu. Kiri: foto mikroskopik penampang melintang bambu gumelah. Kanan atas dan bawah: foto mikroskopik penampang kayu kantil (Michelia alba). Foto: Pustekolah
Mengapa Kayu Penting untuk Dikoleksi dan Diidentifikasi?
Ibarat mengenali sifat dan karakter manusia dari bentuk wajah, warna kulit dan struktur tubuhnya, demikian pula kayu memiliki bermacam-macam sifat yang berlainan. Pengindentifikasian kayu selama ini dilakukan melalui penelitian anatomi, yang meliputi pengujian dari penampang lintang kayu, susunan dan ukuran pori dan warna alami kayu.  Selain struktur anatomi kayu sebagai pengenal identitas jenis, karakteristik serat digunakan untuk menentukan kegunaan kayu.
Setiap jenis kayu memiliki penampakan yang berbeda dengan jenis kayu yang lain, diantara panjang serat dan besarnya pori.  Dimensi panjang serat, tebal dinding dan diameter sel menentukan kegunaan suatu jenis kayu. Semakin panjang serat kayu akan semakin bagus kualitas kertas yang dihasilkan. Semakin tebal dinding sel maka semakin kuat kayu tersebut untuk menahan beban.
Selain untuk mengetahui kegunaan suatu jenis kayu untuk kebutuhan manusia, maka identifikasi diperlukan untuk mengkonservasi jenis-jenis kayu yang saat ini sudah terancam punah.  Kedepannya penelitian jenis-jenis kayu dilakukan tidak saja dengan penelitian anatomi, tetapi dilakukan dengan penelitian DNA kayu.
Dari Penyelundupan hingga Mencari Jejak Peninggalan Arkeologis
Ibarat detektif, para peneliti dan anatomiwan kayu (wood anatomist) juga berperan dalam berbagai aspek penegakan hukum dan menyingkap tabir rahasia masa lampau.
Para peneliti di Xylarium Bogoriense telah beberapa kali diminta oleh aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan bea cukai untuk memeriksa dan memastikan jenis-jenis kayu. Pengecekan dilakukan untuk memastikan spesies-spesies kayu tertentu yang dilindungi dan dilarang untuk diperjualbelikan lepas diselundupkan begitu saja ke luar negeri.
Beberapa penjual ‘nakal’ kerap memanfaatkan ketidakmengertian petugas.  Meskipun dalam dokumen pengangkutan kayu jenis yang diperdagangkan adalah kayu yang boleh dieksploitasi, namun tak jarang petugas mencurigai terdapat kayu-kayu dilindungi yang dicampur didalamnya. Dengan hasil analisa makroskopik dan mikrokospik, para pakar anatomis kayulah yang pada akhirnya dapat mengkonfirmasi jenis-jenis kayu tersebut.
Beberapa kasus rencana penyelundupan kayu yang terbongkar karena jasa dari anatomiwan kayu diantaranya adalah rencana penyeludupan log sonokeling dan log eboni melalui Pelabuhan Tanjung Priok, penyelundupan kayu ramin di beberapa pelabuhan dan penyelundupan kayu yang berasal dari TN Halimun Salak yang pada akhirnya dapat digagalkan.
Identifikasi kayu juga diperlukan oleh penelitian arkeologis. Dengan bantuan para anatomiwan kayu, para arkeolog berhasil  mengungkap rahasia jenis dan umur kayu yang telah menjadi arang pada rumah-rumah yang tertimbun lava vulkanik pada era masa awal sejarah. Hebatnya lagi, para anatomiwan mampu mengidentifikasi jenis-jenis kayu yang digunakan sebagai perahu kuno dari tepian Bengawan Solo di Bojonegoro, Jawa Timur.
Karena rumitnya proses pengidentifikasikan kayu, tidak heran jika diperlukan suatu keahlian khusus untuk profesi ini.  Bahkan pada tahun 2000, hanya terdapat 6 orang pakar saja yang benar-benar ahli tentang anatomi kayu dari total lebih kurang 100 orang anatomiwan kayu.  Jumlah yang sangat sedikit bila diperbandingkan dengan jumlah jenis kayu dan luas hutan di Indonesia.  Regenerasi dari anatomiwan kayu sendiri sangat terbatas dan lambat.
Apakah anda tertarik?

Source : link
0 komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ►  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ▼  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ▼  Juni (19)
      • Kabut Asap di Sumatra: Mengapa Kebakaran Hutan di ...
      • Kami Menghirup Asap Sementara Politisi Sibuk Berde...
      • Diduga Terlibat Kebakaran Hutan, 117 Perusahaan Di...
      • Penelitian: Sebagian Besar Spesies Terdampak Perub...
      • Foto: Petugas Kewalahan Padamkan Kebakaran Hutan d...
      • Upaya Penyelamatan Sungai Ciliwung Lewat Metode Bi...
      • Biotilik: Memantau Kesehatan Sungai lewat cara Sed...
      • Hutan Adat Temedak: Kisah Kearifan Lokal dari Tepi...
      • Dokumentasi Magang (8 April-31 mei 2013)
      • Penelitian: Penghijauan Ternyata Juga Akan Menyela...
      • Teknologi: Wow, Ternyata Belum Semua Jenis Kayu ya...
      • Penegakan Hukum Lemah, Gajah Sumatera Laju Menuju ...
      • Burung Raja-Udang Meninting: Indikator Lingkungan ...
      • Tanpa Perburuan, Ikan Pari Manta di Asia Bisa Sumb...
      • Kesepakatan Pemerintah Alor dan WWF Dorong Percepa...
      • Data dari Satelit Terbaru NASA Landsat 8 Kini Bisa...
      • Foto: Penebangan Hutan Alam Masih Berlangsung di S...
      • Penelitian: Hiu Lebih Bermanfaat di Laut Lepas Ket...
      • Proyek REDD+ Terbesar di Dunia Akhirnya Disetujui ...
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |