Penebangan hutan alami di Kalbar yang disinyalir dilakukan oleh penyuplai independen APP. Foto: RPHK
Hari Senin pekan lalu, 25 Maret 2013, tim dari Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK) telah menuding raksasa bisnis kertas Indonesia, Asia Pulp and Paper telah melanggar komitmen baru konservasi hutan yang baru saja mereka luncurkan awal tahun ini.
Laporan yang disampaikan oleh RPHK ini sebenarnya mengacu pada dua
perusahaan yang menjadi penyuplai independen untuk Asia Pulp and Paper,
bukan perusahaan yang dimiliki langsung oleh Asia Pulp and Paper.
Dibawah komitmen konservasi baru yang dilansir APP awal tahun ini,
mereka akan memutus kontrak dengan pihak perusahaan penyuplai yang
melanggar komitmen untuk tidak lagi menebang hutan alami. Terkait hal
ini, maka APP dinilai tidak melanggar komitmen mereka sendiri kecuali
kemudian terbukti di belakang hari bahwa kedua perusahaan penyuplai ini
memang menebang hutan gambut dan hutan alami.
APP sendiri saat ini mengatakan bahwa mereka tengah melakukan
investigasi terkait kasus ini. Dalam laporan yang disampaikan, di lahan
yang izin kelolanya dimiliki oleh PT Daya Tani Kalbar, terdapat tumpang
tindih perizinan lahan dengan pertambangan batubara, kendati
pertambangannya sendiri berada jauh dari lokasi penebangan hutan ini,
namun hal ini menjadikan semakin sulit untuk menentukan siapa sebenarnya
pemilik hak pengelolaan atas tanah ini. Akibatnya, terjadi beberapa
klaim yang muncul dari berbagai pihak, termasuk perusahaan, individu dan
komunitas atas perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kendati demikian, bukan hal yang mengagetkan bagi para aktivis
lingkungan yang skeptis terhadap kebijakan konservasi baru APP ini
akibat sejarah masa lalu: produsen kertas raksasa ini pernah tiga kali
melanggar komitmen konservasi mereka sebelumnya, untuk tidak lagi
menebang hutan alami yaitu di tahun 2004, 2007 dan 2009. Kali ini ambisi
APP dalam memenuhi komitmen lingkungan mereka nampaknya lebih serius,
sehingga membuat organisasi lingkungan sekelas Greenpeace yang terkenal
dengan ketajaman kampanye mereka terhadap APP bersabar menunggu
perkembangan. Kampanye serupa yang dilakukan Greenpeace, telah
mengakibatkan kerugian jutan dollar bagi APP tahun 2009 silam.
Pihak Greenpeace sendiri yang terlibat dalam menjaga kepatuhan
komitmen APP lewat pengawasan bersama, masih menunggu apakah pihak
perusahaan akan sepenuhnya menjalankan komitmen yang sudah dilakukan.
Namun, Greenpeace akan tetap meminta pihak pembeli kertas untuk
menghindari merek dagang dari APP hingga mereka terbukti menjalankan
komitmen mereka.
Hal serupa juga digaungkan oleh Walhi, yang merupakan salah satu
organisasi lingkungan terbesar di Indonesia. “Kami meminta kepada para
pihak pembeli kertas di seluruh dunia untuk tetap menunggu hingga keluar
verifikasi resmi dari lembaga yang independen terkait implementasi
kebijakan konservasi hutan yang dilakukan oleh APP, sebelum hal ini
jelas sebaiknya tidak melakukan pembelian,” ungkap Direktur Eksekutif
Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya dalam pernyataannya.
“Berlanjutnya penebangan dan pembangunan kanal oleh perusahaan penyuplai
yang bekerja untuk APP tanpa mempertimbangkan nilai-nilai konservasi,
stok karbon dan gambut merupakan sebuah indikasi buruk terhadap
implementasi komitmen APP yang telah digaungkan ke seluruh dunia.”
Sebagian besar lahan yang telah dikonversi oleh APP berada di pulau
Sumatera. Menurut sejumlah pakar lingkungan, produksi kertas APP telah
memakan hutan hujan tropis seluas 2 juta hektar sejak pertengahan tahun
1980-an silam, dan menyebabkan rusaknya habitat satwa liar dan terancam
di pulau tersebut.
source : link
source : link