Hutan Papua dibabat perusahaan. Dengan RUU PPH, kerusakan hutan dampak perusahaan besar atau perusahaan ‘legal’ tak masalah. Yang bakal terjerat malah masyarakat yang hidup di sekitar hutan secara turun menurun. Foto: Greenpeace
Komisi IV DPR RI tengah membahas Rancangan Undang-undang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU PPH) yang rencana masuk paripurna April ini. RUU ini terkesan dibahas diam-diam dan dinilai banyak muatan ‘titipan’ hingga berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan dan memberikan keleluasaan perusahaan ‘legal’ lepas dari label ‘perusak hutan.’ Suara protes dari berbagai daerah pun muncul.
Dari Papua, Ketua Komisi A DPRP Papua, Ruben Magai, Rabu (3/4/13)
menolak tegas RUU PPH. Menurut dia, RUU ini, hanya kepentingan investor
terutama asing. “Negara ingin kesekian kali mengorbankan masyarakat
adat demi kepentingan investor. Kami sudah tahu itu. Kami justru meminta
semua UU tentang pengelolaan hutan dan klaim negara atas tanah-tanah
adat orang Papua segera dicabut,” katanya.
Dia mengatakan, negara telah merampas semua kekayaan tanah adat
Papua. “Ia telah babat habis kayu, rotan, satwa, dan semua kekayaan
alam. Sekarang mau babat hak-hak masyarakat adat.”
Anggota Mejelis Rakyat Papua (MRP), Yakobus Dumupa, menilai
sesungguhnya negara tidak punya tanah. “Negara sebagai sebuah institusi
tertinggi di Indonesia, justru didirikan di atas tanah adat yang
dimiliki masyarakat adat jauh sebelum negara ini didirikan.”
Pemerintah, mengklaim tanah sebagai milik negara. Klaim pemerintah
itu dilegalkan secara sepihak melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Ketentuan UU ini, melegitimasi
negara memiliki tanah yang sebelumnya diatur menurut KUH Perdata dan
Hukum Adat. Jadi, katanya, kepemilikan tanah di Papua, sebagai tanah
adat oleh masyarakat adat sudah ada sebelum Indonesia ada. “Tanah Papua,
telah dimiliki nenek moyang orang asli Papua, sejak mereka mendiami
tanah ini. Sejak itu, tanah ini diwariskan turun-temurun dari generasi
ke generasi dengan kepemilikan dan batas kepemilikan jelas antarsuku,
marga dan saudara semarga dalam suku,” ujar dia.
Jadi, tidak ada alasan mengklaim tanah adat orang Papua atau
masyarakat adat di seluruh nusantara. “Tanah Papua, bukan tanah tak
bertuan, karena para pemilik hak ulayat masih hidup dan masih memiliki.
Kepemilikan itu secara de facto berlaku atas darat, laut dan udara. Orang asli Papua berdaulat atas tanahnya sendiri.”
Menurut dia, keberadaan negara tak boleh serta-merta meniadakan
kepemilikan tanah adat, termasuk dengan cara melegitimasi lewat aturan
perundang-. Sebab, dalam banyak hal aturan perundang-undangan justru
diciptakan untuk menjajah dan mengeksploitasi pihak lain.
Sebaliknya, pemerintah harus melindungi, memihak dan memberdayakan
masyarakat adat Papua beserta hutan. “Kalau RUU itu dipaksakan, maka
kekuasaan Indonesia di Papua akan hancur. Kan semua orang Papua hidup di hutan dengan alam mereka. Negara yang datang dari belakang kok bisa melarang, bagaimana itu,”kata Dumupa.
Henok Herison Pigai, Ketua Yayasan Pengembangan Ekonomi Masyaralat
Papua (Yapkema), menilai, RUU PPH ini hanyalah pengalihan isu atas
kebobrokan negara. “Kenapa Jakarta sekarang malah mau usir rakyat dari
hutan-hutan mereka? Kenapa tidak urus saja soal korupsi yang merajalela,
konflik yang terus terjadi, pelanggaran HAM, dan lain-lain?”
Dia menyarankan, sebaiknya, Jakarta mengurus masalah-masalah besar
daripada mengsusik masyarakat adat. “Saya tidak tahu, RUU ini akan
melahirkan konflik seperti apa di Papua. Ini akan menambah daftar
pelanggaran HAM dan konflik di Papua. Karena, orang Papua tentu akan
marah jika mereka tidak bisa memanfaatkan hutan mereka,”katanya.
Yunus Kegou, Ketua Koperasi Masyaralat (Kopermas) di Wanggar Nabire,
mengatakan, bersama masyarakat pemilik kayu di Wanggar Nabire, sudah
lama hidup di hutan dan memanfaatkan hutan untuk kehidupan. “Kami hidup
dari hutan kami. Negara tidak pernah kasih kami apa-apa. Hutan ini
sumber hidup kami. Koperasi kami kan diakui negara. Kami olah kayu dari hutan kami, bukan hutan Jawa. Kami punya badan hukum untuk olah kayu.”
Selama ini, katanya, sudah banyak konflik dengan perusahaan kayu dan
sawit. “Apalagi kalau negara bilang hutan kami dia punya, pasti kami
akan korban lagi.” “Sawit di Wami Nabire ini katanya hanya tanam sawit
tetapi sekarang malah ambil kayu. Dia ambil kayu to sekarang. Semua kayu besi di Wami ambil dan bawa ke Jawa, pakai kapal. Kenapa pemerintah tidak melarang dia? ucap Yunus.
Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago, Ruben Edoway, ditemui di rumahnya,
Rabu (3/4/13) sore di Nabire, kesal karena Dewan Adat Papua (DAP), tak
diakui negara hingga enggan berkomentar tentang RUU ini. “Kami sudah capek urusan
dengan Jakarta. Orang Papua, saat ini tidak bicara soal hutan dan
lain-lain. Orang Papua, hanya minta dialog Jakarta-Papua. Negara ini
tidak akui kami. Kami sekarang hanya minta merdeka. Tidak ada yang lain
dan saya tidak mau komentar soal ini (RUU PPH-red),” katanya dengan nada
tinggi.
Protes juga datang dari Sulawesi. RUU PPH dinilai lebih memihak
perusahaan besar yang mendapat izin dari pemerintah ketimbang masyarakat
di sekitar atau dalam kawasan hutan.
Rahman Dako, aktivis lingkungan dari Sustainable Coastal Livelihoods and Management (Susclam) Teluk Tomini, kepada Mongabay,
Rabu (3/4/13) mengatakan, di Gorontalo, masih banyak desa-desa di
sekitar kawasan hutan hingga akan gampang terjerat dengan UU ini jika
disahkan. Dalam RUU ini, masyarakat sekitar dan dalam kawasan tidak
mempunyai kawasan hutan hak.
Satu contoh di Desa Pinogu, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone
Bolango. Desa ini berada di tengah-tengah Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone. Ketergantungan mereka terhadap hasil hutan itu sangat tinggi,
misal, untuk kebutuhan rumah tangga. “Mereka mengambil hasil hutan di
kawasan hutan hak yang tidak diatur oleh RUU Pemberantasan Perusakan
Hutan.”
Untuk perusahaan besar berizin, banyak beroperasi di hutan produksi,
hutan lindung, dan hutan konservasi. Seperti di Gorontalo, belum lama
ini, perusahaan sawit membabat kawasan hutan dialih fungsi menjadi
perkebunan sawit. “Yang
pasti UU ini hanya akan mengkriminalisasi masyarakat sekitar dan dalam
kawasan hutan, namun melindungi perusahaan-perusahaan besar,” katanya.
Bali Pano, tokoh adat di Desa Liyodu, Kecamatan Bongomeme, Kabupaten
Gorontalo, mengatakan, RUU ini suatu saat akan menjeratnya dalam terali
besi. “Saya biasa mengambil hasil hutan untuk keperluan rumah tangga dan
kebutuhan ritual adat, pasti akan ditangkap. Masyarakat di desa ini
juga sebagian peladang yang masuk dalam kawasan yang kami anggap sebagai
rumah kami. Apakah kami harus meminta izin terlebih dahulu kepada
menteri?” tanyanya.
Di desa ini, masyarakat setempat biasa mengadakan ritual dayango. Ini
ritual berkomunikasi dan memohon kepada roh leluhur penjaga gunung dan
hutan agar menghentikan bencana warga. Meski dalam beberapa tahun
terakhir, ritual ini dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan
nilai-nilai agama.“Kami sudah berpuluh-puluh tahun memanfaatkan hasil
hutan, juga menjaga hutan agar tetap lestari. Justru yang merusak adalah
perusahaan besar yang mendapat izin dari pemerintah. Harusnya
perusahaan itu yang diberantas karena merusak hutan,” ucap Bali.
Pandangan tak jauh beda juga datang dari Jawa Barat (Jabar). RUU
ini dinilai berpotensi banyak merugikan berbagai pihak, terutama
masyarakat adat yang sudah bertahun-tahun tinggal dan menggantungkan
hidup dari hutan. Di tengah upaya menerbitkan RUU PPH ini, tahun lalu
pemerintah justru melepaskan 12,3 juta hektar kawasan hutan atas nama
pembangunan.
“Kita sejak awal tegas menolak RUU ini. Bukan berarti tidak memiliki
kepedulian dan komitmen terhadap perbaikan lingkungan hidup. Justru di
dalam RUU ini ada beberapa hal sangat merugikan,” kata Dadan Ramdan,
Direktur Eksekutif Walhi Jabar.
Menurut dia, hal-hal memberatkan dalam RUU PPH ini antara lain,
mengancam hutan hak yang dimiliki masyarakat secara prosedur. Jika,
masyarakat menebang pohon di hutan hak mereka, harus sesuai prosedur UU
ini.“Kawasan yang diatur bukan hanya kawasan hutan negara, juga masuk
hutan hak tadi. Ini akan mengancam masyarakat adat yang sebenarnya turun
menurun mempunyai ikatan kebatinan dengan hutan, tetapi kalau mengambil
sesuatu dari hutan, mereka bisa dipidanakan.”
Dadan mengatakan, kehadiran RUU ini, justru melegitimasi pengrusakan
oleh pemodal besar. Masyarakat di sekitar hutan terancam, yang
jelas-jelas merusak seperti pertambangan skala besar atau pembukaan
lahan sawit dibiarkan terjadi karena sudah berizin.
Sebenarnya, kata Dadan, yang diperlukan bukan RUU PPH, tetapi
memulihkan hutan. Bekas-bekas tambang harus segera direhabilitasi dan
reklamasi. Izin pengelolaan hutan juga harus dikendalikan.
Dadan menyebut kasus di Papua. Di sana, terjadi peralihan fungsi hutan besar-besaran untuk food estate.
Pihak yang diuntungkan hanya pemodal besar. Sedang masyarakat adat di
sekitar kawasan itu disingkirkan. Dengan RUU PPH ini, praktik ini
justru akan makin marak karena tidak mengakomodir hak-hak masyarakat
adat. “Justru itu yang harus dikendalikan. Yang bermasalah di sini
adalah mudahnya izin diberikan pemerintah pusat terkait pemanfaatan
hingga alihfungsi hutan.”
Di Jabar, juga terjadi konflik antara masyarakat di sekitar hutan
dengan perum Pehutani. Jika RUU ini disahkan akan menjadi legitimasi
bagi pengusiran warga sekitar kawasan hutan oleh Perhutani. “Masyarakat
dilarang mengelola hutan, seperti menanam dan lain-lain. Ini terjadi di
Indramayu. Akibatnya bukan hanya sosial, juga ekonomi.“ Kasus-kasus
konflik dengan Perhutani juga terjadi di kawasan Angkola-Cianjur,
Bandung Utara, Subang dan daerah lain.
Sebenarnya, RUU ini diusulkan atas pertimbangan deforestasi dan
degradasi tinggi akibat kejahatan sistematis terorganisir di sektor
utama yaitu pertambangan, perkebunan dan pembalakan liar skala besar.
Hanya, dalam substansi pasal per pasal, justru diarahkan menyelamatkan
perusahaan tambang dan perkebunan. Bahkan, menjadi alat baru
mengkriminalisasi dan memisahkan rakyat dari sumber kehidupan.
Senada diungkapkan Denny Abdullah, Wakil Sekjen Serikat Hijau
Indonesia (SHI) Jabar. Seharusnya, semua RUU yang dirancang dan
dikeluarkan pemerintah bisa menyelamatkan hak-hak ekual dan ekonomi
sipil politik dan budaya, termasuk ketika berbicara soal hutan.
Dalam konteks menyelamatkan hutan, juga harus menjamin hak-hak
masyarakat di sekitar hutan. Fakta tidak seperti itu. Masyarakat yang
tinggal di dalam hutan banyak tergusur tetapi banyak perusahaan besar
melakukan pembalakan ‘legal’ di hutan dengan alasan membuat geotermal
dan lain-lain.
Dia menilai, RUU PPH itu membatasi masyarakat di sekitar hutan dan
menjadi alat pemerintah agar bisa menyingkirkan masyarakat itu. Namun,
RUU ini tidak tegas terhadap pengrusakan hutan oleh pemerintah.
“Nanti masyarakat adat ketika mengambil kayu bakar saja itu menjadi
masalah. Padahal, kontribusi mereka menjaga dan sosialisasi kelestarian
hutan sangat besar.” Untuk itu, SHI menolak RUU ini. “Tak hanya soal RUU
ini, tetapi semua RUU yang mubazir. Seperti RUU santet dan ormas, itu
sebenarnya tak perlu. Hentikan. Jika RUU ini lolos, kita akan
mengajukan judicial review,” ucap Denny.
Yayan Hardiana, Deputi Advokasi dan Pengorganisasian Serikat Petani
Pasundan (SPS), pun angkat bicara. Dia mengatakan, RUU PPH akan
memunculkan masalah baru. Sebab, masyarakat sekitar hutan selama ini
berperan penting menjaga kelestarian hutan malah terancam terusir.
“Masyarakat sekitar hutan punya kontribusi sangat besar menjaga hutan.
Mereka menanam banyak pohon di kawasan yang tadinya hanya satu jenis
pohon. Hingga ketika Perum Perhutani memanen semua pohon di kawasan itu,
hutan tidak gundul semua.”
RUU ini justru akan makin mempertajam konflik bahkan makin banyak
petani dikriminalisasi.”Kami tegas menolak RUU ini. Dengan RUU ini akan
terjadi tumpang tindih dengan UU lain, seperti UU Pokok Agraria dan UU
Kehutanan.” Pada UU Kehutanan No 41 Tahun 2009, masih mengakomodir
masyarakat lokal memanfaatkan hutan tetapi di RUU PPH masyarakat bisa
dikriminalisasi.
Mengenai persoalan hutan di Indonesia, katanya, kerusakan banyak oleh
para pemilik modal besar, seperti perusahaan tambang. Dengan RUU ini,
justru menjadikan legitimasi bagi perusahaan besar makin mengeksplorasi
hutan secara besar-besaran. “Itu hanya akal-akalan para kapitalisme
untuk menyingkirkan masyarakat dari kawasan hutan. Masyarakat adat akan
terusir.”
Yayan menyebutkan, kawasan hutan di Priangan Timur, dulu hutan, kini
malah lahan tambang pasir besi. Kerusakan hutan akibat tambang pasir
besi itu sangat besar. Dengan kata lain, jika RUU ini disahkan akan
makin memperparah kerusakan hutan. Dia mengatakan, di Kabupaten
Tasikmalaya, Ciamis, dan Garut lebih dari 35 persen wilayah perkebunan
dan hutan. Luas hutan lebih banyak dibanding perkebunan. Untuk satu
kawasan, luas hutan bisa lebih 2.000 hektar mencakup kecamatan.
masyarakat tinggal di daerah sekitar hutan, terancam tak bisa lagi
memanfaatkan hutan.
Konflik antara petani, sebenarnya Perhutani, tak memiliki dasar jelas
mengklaim lahan warga. Dalam berbagai kasus, Perhutani justru tidak
bisa membuktikan itu wilayah milik mereka. Dengan RUU ini, petani akan
makin terancam. Kriminalisasi bisa marak. “Belum ada RUU PPH saja para
petani sudah banyak kesulitan. Dalam beberapa kasus yang saya dampingi,
mereka justru harus membayar pajak kepada Perhutani agar bisa menanam di
kawasan hutan. Itu kan pungutan liar. Apalagi nanti jika RUU
PPH disahkan. Nasib mereka benar-benar terancam,” ucap Yayan. Yang
jelas, RUU ini tidak menjawab persoalan perusakan hutan.
0 komentar:
Posting Komentar