Laporan yang disampaikan oleh Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK) atas penebangan dua penyuplai independen APP di Kalimantan. Foto: RPHK
Menyusul analisis dari Greenomics yang dirilis bulan lalu, terkait kebijakan konservasi baru yang diluncurkan oleh produsen kertas Asia Pulp and Paper (APP) untuk tidak lagi menebang hutan alami di Indonesia, kini berbagai analisis dan informasi terkait komitmen baru APP ini juga memberikan informasi ekstra terkait kebijakan ini. Greenomics sebelumnya membeberkan berbagai fakta dalam laporan yang mereka beri judul “APP’s Artful Deception” yang menekankan bahwa APP menerbitkan kebijakan konservasi baru mereka, saat hutan sudah menjadi bubur kertas. Kini, Eyes on the Forest, sebuah koalisi beberapa organisasi lingkungan di Riau, menerbitkan laporan mereka terkait komitmen Asia Pulp and Paper.
Sebagian besar tanggapan yang muncul, masih meragukan komitmen ini
bisa berjalan dengan mulus, terkait dua alasan utama: pertama adalah
sejarah masa lalu komitmen konservasi Asia Pulp and Paper yang tiga kali
dilanggar oleh mereka sendiri. Kedua, adalah munculnya laporan dari
Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK) di saat bersamaan dengan
terbitnya laporan kemajuan bulanan Kebijakan Konservasi Baru APP.
Asia Pulp and Paper, pernah melanggar komitmen konservasi serupa
dengan yang mereka terbitkan saat ini, pada tahun 2004, 2007, dan 2009
silam. Sementara, RPHK merilis laporan dari lapangan, bahwa dua
perusahaan penyuplai untuk APP melakukan pembukaan hutan alami dan lahan
gambut, serta membangun kanal-kanal di kawasan yang diilai sebagai high
conservation value forest, pekan lalu.
Dalam laporannya terkait komitmen Asia Pulp and Paper ini, Eyes on
the Forest, sebuah organisasi gabungan antara Walhi Riau, Jikalahari dan
WWF Riau, menemukan bahwa Kebijakan Konservasi Baru oleh APP ini adalah
sebuah upaya untuk menyembunyikan deforestasi dan kerusakan hutan yang
parah selama mereka beroperasi di Sumatera sejak pertengahan 1980-an.
Dalam laporan yang diterbitkan oleh Eyes on the Forest pada hari Rabu
3 April 2013 ini, diungkapkan bahwa upaya dan komitmen APP ini paling
banyak akan melindungi 5000 hektar hutan alam di Propinsi RIau,
sementara sepanjang operasi mereka di awal 1980an, APP sudah
menghabiskan sekitar 2 juta hektar hutan di Sumatera.
Dalam laporan ini juga diungkapkan bahwa konsesi-konsesi pemasok
untuk Sinar Mas Grup/Asia Pulp and Paper sudah kehilangan lebih dari
680.000 hektar hutan alam, mulai tahun 1984 hingga tahun 2012 silam.
Dari data ini, 77% diduga tidak memiliki legalitas yang jelas dalam
pembukaan lahan, dan 83% diantaranya terjadi di habitat harimau dan
gajah.
Seperti dilansir oleh situs jikalahari.or.id,
komitmen APP dinilai memberikan janji setelah semua hutan alam yang ada
di dalam konsesi mereka musnah. “APP di dalam kebijakan yang sangat
digembar-gemborkannya saat ini tidaklah berkomitmen memperbaiki hutan
alam dan lahan gambut sebagai kompensasi atas kerusakan lingkungan
serius yang diakibatkannya di masa silam,” ujar Hariansyah Usman dari
WALHI Riau.
“Analisa kami menunjuk satu kesimpulan: bahwa APP berpikiran bisa
membodohi orang agar membayangkan keuntungan konservasi besar sembari
melengahkan pelanggaran di masa lalu,” ujar Aditya Bayunanda dari
WWF-Indonesia. “Masalah kita adalah kita tidak melihat keuntungan
konservasi di masa depan yang potensial yang menyeimbangkan isu-isu
belum tuntas berakar dari warisan deforestasi APP, emisi gas rumah kaca
yang dahsyat, hilangnya habitat satwa liar, dan banyaknya konflik dengan
masyarakat yang kehilangan lahan-lahan mereka.”
EoF menerbitkan analisa laporan peta interaktif, berdasarkan platform
mesin Peta Google Earth untuk memudahkan para pihak mengevaluasi
sendiri sejumlah aspek kebijakan konservasi hutan baru SMG/APP dan
memantau pelaksanaannya. EoF akan memperbarui database secara berkala
dari provinsi lainnya sebagai informasi dan rincian baru soal konsesi
yang ada agar bisa tersedia.
Hal senada juga diungkapkan oleh WWF lewat tanggapan yang mereka sampakan di dalam situs intenasional mereka, panda.org terkait laporan yang dirilis oleh laporan Eyes on the Forest ini.
“WWF merekomendasikan agar perusahaan yang menggunakan kertas untuk
tidak terburu-buru melakukan bisnis dengan APP,” ungkap Rod Taylor,
Direktur Kehutanan di WWF Internasional. “APP tidak bisa dinilai sebagai
produser yang bertanggung jawab tanpa memperbaiki kerusakan yang sudah
mereka sebabkan akibat operasi mereka di masa lalu dan menghilangkan
berbagai keraguan dibalik proses produksi mereka.
Tanggapan yang dirilis oleh Eyes on the Forest dan WWF Internasional
ini, mendapat tanggapan langsung dari Direktur Keberlanjutan Asia Pulp
and Paper, Aida Greenbury lewat surat elektroniknya kepada Mongabay.com.
“Kami berharap cadangan kayu keras sudah akan digunakan di bulan
Agustus, namun hal ini sangat tergantung pada pertimbangan logistik yang
sangat menentukan di wilayah dimana kami beroperasi saat ini.
Sementara, beberapa tanggal yang disebutkan oleh beberapa NGO tersebut
tidak menghitung faktor ini, atau ketersediaan kontraktor, dimana banyak
diantaranya tidak berada di lokasi yang semestinya. Sementara stok kayu
yang sudah dipotong kini dimonitor oleh The Forest Trust sebagai bagian
dari komitmen moratorium APP dan kami sangat terbuka untuk setiap
kehadiran berbagai NGO yang ada, seperti Eyes on the Forest atau WWF
untuk melihat hal ini secara langsung,” ungkap Aida Greenbury.
“Kami juga tak pernah menyatakan bahwa masa lalu itu tidak penting,
kami memahami pentingnya isu restorasi di beberapa area dimana hutan
alami sudah ditebang. Rencana itu sudah ada di meja, namun kami saat ini
prioritas kami adalah memastikan bahwa seluruh jaringan penyuplai yang
ada di seluruh dunia bekerja berdasar atas komitmen konservasi yang
sudah kami umumkan, dan memenuhi target ambis kami dalam Forest
Conservation Policy kami.”
Dalam jawaban surat elektroniknya, Aida Greenbury menyatakan bahwa
pihaknya juga akan menerbitkan laporan independen dari TFT yang akan
menjawab laporan yang disampaikan oleh Relawan Pemantau Hutan Kalimantan
(RPHK) dalam waktu dekat.
source : link
source : link