Protes warga Desa Pandumaan-Sipituhuta, Sumatera Utara, karena hutan kemenyan mereka terancam menjadi kebun kayu putih. Foto: Sapariah Saturi
“Hutan Kemenyan adalah Hidup Kami dan Anak Cucu.” “Cabut SK Menhut no 44/ Menhut-II/2005!!” “Save Pandumaan-Siputuhuta.” Demikian bunyi protes warga kala aksi di depan Kementerian Kehutanan, Jakarta, awal Maret ini. Di Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Sumut), ini 31 warga ditangkap karena mempertahankan hutan kemenyan mereka agar tak menjadi kebun kayu putih. Kini, 16 warga berstatus wajib lapor.
Di Riau, 10 warga Pulau Padang, medio tahun lalu siap bakar diri
karena tak mau hutan yang menjadi tempat hidup mereka berubah menjadi
‘kebun’ pohon.’ Perlawanan-perlawanan warga berlanjut, hingga kini,
Ketua Serikat Tani Riau (STR), M Ridwan, masuk penjara. Pindah ke
Sulawesi, di Kabupaten Pahuwato, Gorontalo, beberapa warga luka-luka
diserang preman perusahaan sawit. Warga menolak kebun sawit beroperasi
ke hutan di daerah mereka.
Kasus-kasus itu hanya sebagian kecil perjuangan warga yang ingin
menjaga hutan yang menjadi tumpuan hidup mereka. Di berbagai daerah,
perlawanan warga terkalahkan kekuatan modal. Penangkapan-penangkapan
warga atas nama penegakan hukum berlanjut. Data Aliansi Masyarakat Adat
Nasional (AMAN), ada 218 anggota komunitas ditahan polisi, sebagian
besar dibebaskan atau tahanan luar. Sekitar 10 persen masih ditahan.
Mereka itu dari Maluku Utara (49), Pandumaan Sipituhuta (31), Maluku
Tenggara Barat (76), Sumatera Selatan (3), dan Sulawesi Selatan (11).
Lalu, Tana Luwu (8), Bengkulu (8), Kalimantang Tengah (18), Kalimantan
Selatan (5), Kalimantan Timur (6), Sulawesi Utara (4), NTB (1), serta
Manggarai Timur (1).
“Angka ini belum termasuk komunitas masyarakat adat yang mengalami
penyerangan, kekerasan fisik, intimidasi dan tidak punya akses layanan
hukum maupun informasi,” kata Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan,
belum lama ini.
Identifikasi HuMa juga memperlihatkan konflik meluas dampak
eksploitasi hutan oleh perusahaan skala besar. Data HuMa, sektor
perkebunan, konflik meluas ditengarai sebagian besar terjadi di kawasan
hutan. Hutan yang sebelumnya ditumbuhi pohon-pohon lebat dan banyak
dikelola masyarakat, dalam satu dekade mengalami deforestasi amat parah.
“Tingkat konversi hutan cukup tinggi di daerah di mana ekspansi sawit
merajalela,” kata Widiyanto, Koordinator Database dan Informasi HuMa,
Februari 2013.
Laju investasi perkebunan sawit diduga memperkuat tekanan kebutuhan
lahan, dan yang rentan dikorbankan kawasan hutan. Contoh, terjadi di
Nagari Rantau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, melibatkan PT.
Anam Koto. Perusahaan ini, memegang hak guna usaha seluas 4,777 hektar,
dulu diklaim wilayah hutan adat.
Ekspansi perkebunan monokultur seperti sawit di tak ayal membuat luas
hutan berkurang drastis. Perubahan status kawasan hutan melalui
mekanisme pelepasan, tukar- menukar tak seimbang, maupun izin pinjam
pakai marak terjadi dan cenderung kian tak terkendali.
Hal senada diungkapkan Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan
Perkebunan Besar Walhi Nasional. Menurut dia, sudah 5 juta hektar
kawasan hutan terlepas untuk mengakomodir sekitar 567 perusahaan
perkebunan. “Saat ini sekitar 1 juta hektar kawasan hutan dikuasai 115
perusahaan perkebunan,” katanya, di Jakarta, Kamis(21/3/13).
Dia mengatakan, selain perkebunan ada 2,6 juta kawasan hutan
mengalami degradasi akibat eksplorasi dan eksploitasi lebih dari 1.000
perusahaan tambang. “Pelaku eksploitasi di beberapa provinsi justru
dalam kawasan konservasi seperti di Morowali, Sulawesi Tenggara
dibiarkan oleh Kementerian Kehutanan.”
Tak hanya itu, kata Zenzi, pelepasan kawasan hutan juga terjadi sampai 12,3 juta hektar melalui usulan review untuk
tata ruang daerah yang sebagian besar mengakomodir kepentingan
perkebunan dan tambang dalam kawasan hutan. “Ini artinya angka
deforestasi oleh perkebunan dan tambang bisa mencapai 17 juta hektar.
Sedang deforestasi mencapai 9 juta hektar sumbangan dari tambang dan
perkebunan 3, 6 juta hektar dan HTI 5,4 juta hektar,” ujar dia.
Dia menilai, tingginya laju deforestasi dan degradasi oleh ketiga sektor ini dipengaruhi dua faktor utama. Pertama, lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan. Kedua,
kebijakan Presiden cenderung mengutamakan dan melindungi pebisnis
tambang, perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI). “Seperti dengan
keluar PP 60 dan PP 61 tahun 2012 yang mengampuni perusahaan pelaku
perusakan kawasan hutan.”
Sedangkan, degradasi oleh HTI akibat keluar PP tahun 2007 yang
mengubah kriteria kawasan peruntukan HTI yang boleh beroperasi di
kawasan hutan primer dan sekunder.
Untuk ekspansi kebun sawit, kata Zenzi, ke depan, selain
mengakibatkan deforestasi dan degradasi, juga mengancam sekitar 20 juta
hektar hutan. “Ini akibat PP No 10 tahun 2010 yang menjadikan hutan
produksi konversi sebagai kawasan dicadangkan untuk perkebunan sawit.”
Hutan Indonesia pun akan terus mengalami kehancuran. “Dan sektor yang
paling berkontribusi terhadap kerusakan hutan adalah regulasi dari
pemerintah itu sendiri.”
Memang, pemerintah ada upaya memperbaiki tata kelola hutan, salah
satu lewat moratorium hutan dan lahan gambut yang akan berakhir Mei
2013. Satu peta (one map) dan inventarisasi perizinan tengah
dilakukan. Peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPIB), pun
direvisi tiap enam bulan sekali. Namun, dari revisi PIPIB itu juga
menyebabkan kawasan hutan yang dilindungi berkurang. Parahnya, dalam
revisi PIPIB itu, pengurangan banyak terjadi di hutan konservasi dan
lindung–yang kerab dikoar-koarkan pemerintah sebagai kawasan hutan yang
tak boleh diganggu gugat.
Proyek atas nama perbaikan tata kelola hutan pun gencar, salah satu
REDD+. Namun, Zenzi menilai, bagi masyarakat ancaman serius selain dari
perusahaan, justru dari pemerintah melalui project project carbon offset yang mengabaikan hak dan kultur masyarakat yang bergantung dengan hutan.
Saat ini, DPR RI pun menyiapkan pengesahaan RUU Pemberantasan
Perusakan Hutan, yang dibuat mengatasnamakan kepentingan masyarakat dan
mencegah kejahatan hutan terorganisir. Namun, bila berlaku justru
mengampuni perusakan hutan yang sudah terjadi, dan mengamputasi hak
masyarakat untuk hidup berinteraksi dengan hutan.
Untuk itu, pada hari hutan pertama dunia ini, Walhi mendesak, pemerintah segera mengubah watak pengurusan hutan. Pertama, dengan penegakan hukum dan mencabut izin perusahaan-perusahaan dalam kawasan hutan. Kedua, mengedepankan dan mengakui hak kelola rakyat dalam kawasan hutan. Ketiga, mendorong ekonomi berbasis komunitas dan hutan.