skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Jumat, 05 April 2013

Indonesia-Malaysia Sepakat Selamatkan Badak Sumatera Terakhir dari Kepunahan

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News

Ratu, induk badak Sumatera yang melahirkan bayi bernama Andatu bulan Juni 2012 silam. Foto: International Rhino Foundation
Populasi badak Sumatera (Dicerorhinus sumatranensis) kini tersisa kurang dari 100 individu di dunia. Satwa yang masuk kategori ‘kritis’ dalam Daftar Merah IUCN telah bertahan selama 20 juta tahun di bumi, dan kini berada di ambang kepunahan.
Terkait kondisi badak Sumatera yang semakin di ujung tanduk tersebut, pemerintah Indonesia dan Malaysia tanggal 4 April 2013 sepakat untuk bekerjasama menyelamatkan badak bercula dua dan merupakan spesies badak terkecil di dunia ini lewat sebuah kesepakatan yang ditandatangani di Kebun Binatang Singapura saat Sumatran Rhino Crisis Summit yang digelar oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Seperti dilaporkan oleh Environment News Service, para ahli akan segera mengajukan rencana aksi darurat (Emergency Action Plan) untuk menindaklanjuti kesepakatan yang dibangun oleh kedua negara ini. Langkah selanjutnya, kedua negara perlu untuk mengeluarkan upaya legal formal untuk memperkuat kerjasama untuk menghadang krisis populasi badak Sumatera akibat perburuan ilegal akibat tingginya permintaan atas cula badak untuk berbagai keperluan manusia.
Salah satu anggota utusan dari Malaysia, Dr Laurentius Ambu, dari Sabah Wildlife Department, memberikan detail dari program yang melibatkan kedua negara ini. “Kami akan melakukan diskusi lebih lanjut dengan Indonesia terkait kesempatan untuk bertukar sel reproduksi spesies ini, memindahkan individu antara kedua negara dan menggunakan teknologi reproduksi yang terkini sebagai sebuah inisitiatif paralel untuk menangkarkan badak Sumatera,” ungkap Dr. Ambu.
Hal senada juga dikatakan oleh Widodo Ramono dari Yayasan Badak Indonesia,”Langkah serius harus diambil untuk menekan laju kepunahan badak Sumatera. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menyelamatkan spesies ini, dan dengan bekerjasama sebagai sebuah unit secara internasional dan regional, dan dengan tujuan dan visi yang sama harapan akan menjadi lebih baik ke depannya.”
Bayi badak Sumatera, Andatu, hasil penangkaran di Lampung dengan induknya. Foto: Sapariah Saturi
Sumatran Rhino Crisis Summit sendiri berupaya mencari solusi atas tingginya laju kepunahan dan berbagai ancaman yang masih terus mengintai badak Sumatera, sementara habitat mereka juga semakin berkurang akibat ekspansi industri. “Pertemuan ini berhasil mempertemukan dua pemerintahan yang para wakilnya berkomitmen secara positif dan proaktif untuk membangun kerjasama bilateral dimana langkah ini dinilai kritis untuk menyelamatkan badak Sumatera,” ungkap Ketua IUCN SSC Species Conservation Planning, Stanley Price kepada Environment News Service.
Penemuan Jejak Badak Sumatera di Kalimantan
Sebelumnya, sebuah kabar menggembirakan diperoleh dari survey yang digelar oleh WWF-Indonesia yang berhasil menemukan jejak badak Sumatera di pulau Kalimantan. Tim monitoring WWF-Indonesia, menemukan jejak segar mirip jejak badak saat memonitoring orangutan di Kutai Barat (Kubar), Kalimantan Timur (Kaltim),  di wilayah Heart of Borneo (HoB). Guna menguatkan temuan ini, WWF-Indonesia bersama Dinas Kehutanan Kubar, Universitas Mulawarman dan masyarakat setempat, survei lanjutan pada Februari 2013.
Temuan ini diperkuat konfirmasi saintifik dari ahli badak di WWF-Indonesia dan Universitas Mulawarman, Chandradewana Boer. Dia  menegaskan, spesies ini kemungkinan besar adalah badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Temuan ini didukung data historis sebaran badak Sumatra di Kalimantan, yang telah terdokumentasi sebelumnya. Namun, sampai ini, belum bisa dikonfirmasi berapa individu badak yang teridentifikasi melalui temuan ini.
Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia,  mengatakan, temuan ini membawa angin segar bagi dunia konservasi nasional dan internasional, mengingat keberadaan badak Sumatera di Kalimantan, sudah tidak pernah terdengar dan diketahui. Bahkan ditengarai punah sejak tahun 1990-an. International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah mengklasifikasikan badak Sumatera dalam kategori kritis (critically endangered).
WWF-Indonesia, katanya, bersama pihak terkait, antara lain Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Kubar akan survei lanjutan lebih komprehensif untuk memetakan preferensi habitat badak dan populasi di Kutai Barat. Dari hasil survei ini, perlu segera disusun strategi bersama dan rencana aksi komprehensif serta partisipatif bersama para pihak terkait. “Hingga upaya konservasi badak Sumatera di Kalimantan, dapat berlangsung jangka panjang dan didukung pendanaan berkelanjutan,” katanya, Kamis(28/3/13).  Temuan ini, juga  menjadi momen penting sejak pencanganan Tahun Badak Internasional pada 5 Juni 2012 oleh Presiden SBY.

Source : link
0 komentar

Suara Daerah: RUU Pemberantasan Perusakan Hutan Bakal Susahkan Masyarakat, Langgengkan Perusahaan

Diposting oleh Maysatria Label: News

Hutan Papua dibabat perusahaan. Dengan RUU PPH, kerusakan hutan dampak perusahaan besar atau perusahaan ‘legal’ tak masalah. Yang bakal terjerat malah masyarakat yang hidup di sekitar hutan secara turun menurun. Foto: Greenpeace

Komisi IV DPR RI tengah membahas Rancangan Undang-undang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU PPH) yang rencana masuk paripurna April ini. RUU ini terkesan dibahas diam-diam dan dinilai banyak muatan ‘titipan’ hingga berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan dan memberikan keleluasaan perusahaan ‘legal’ lepas dari label ‘perusak hutan.’ Suara protes dari berbagai daerah pun muncul.
Dari Papua, Ketua Komisi A DPRP Papua, Ruben Magai, Rabu (3/4/13) menolak tegas RUU PPH. Menurut dia, RUU ini,  hanya kepentingan investor terutama asing. “Negara ingin kesekian kali mengorbankan masyarakat adat demi kepentingan investor. Kami sudah tahu itu. Kami justru meminta semua UU tentang pengelolaan hutan dan klaim negara atas tanah-tanah adat orang Papua segera dicabut,” katanya. 
Dia mengatakan, negara telah merampas semua kekayaan tanah adat Papua. “Ia telah babat habis kayu, rotan, satwa, dan semua kekayaan alam. Sekarang mau babat hak-hak masyarakat adat.”
Anggota Mejelis Rakyat Papua (MRP), Yakobus Dumupa, menilai sesungguhnya negara tidak punya tanah. “Negara sebagai sebuah institusi tertinggi di Indonesia, justru didirikan di atas tanah adat yang dimiliki masyarakat adat jauh sebelum negara ini didirikan.”
Pemerintah, mengklaim tanah sebagai milik negara. Klaim pemerintah itu dilegalkan secara sepihak melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria.  Ketentuan UU ini,  melegitimasi negara memiliki tanah yang sebelumnya diatur menurut KUH Perdata dan Hukum Adat.  Jadi, katanya, kepemilikan tanah di Papua, sebagai tanah adat oleh masyarakat adat sudah ada sebelum Indonesia ada. “Tanah Papua, telah dimiliki nenek moyang orang asli Papua, sejak mereka mendiami tanah ini. Sejak itu, tanah ini diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi dengan kepemilikan dan batas kepemilikan jelas antarsuku, marga dan saudara semarga dalam suku,” ujar dia.
Jadi, tidak ada alasan mengklaim tanah adat orang Papua atau masyarakat adat di seluruh nusantara. “Tanah Papua, bukan tanah tak bertuan, karena para pemilik hak ulayat masih hidup dan masih memiliki. Kepemilikan itu secara de facto berlaku atas darat, laut dan udara. Orang asli Papua berdaulat atas tanahnya sendiri.”
Menurut dia, keberadaan negara tak boleh serta-merta meniadakan kepemilikan tanah adat, termasuk dengan cara melegitimasi lewat aturan perundang-. Sebab, dalam banyak hal aturan perundang-undangan justru diciptakan untuk menjajah dan mengeksploitasi pihak lain.
Sebaliknya, pemerintah harus melindungi, memihak dan memberdayakan masyarakat adat Papua beserta hutan. “Kalau RUU itu dipaksakan, maka kekuasaan Indonesia di Papua akan hancur. Kan semua orang Papua hidup di hutan dengan alam mereka. Negara yang datang dari belakang kok bisa melarang, bagaimana itu,”kata Dumupa.
Henok Herison Pigai, Ketua Yayasan Pengembangan Ekonomi Masyaralat Papua (Yapkema), menilai,  RUU PPH ini hanyalah pengalihan isu atas kebobrokan negara. “Kenapa Jakarta sekarang malah mau usir rakyat dari hutan-hutan mereka? Kenapa tidak urus saja soal korupsi yang merajalela, konflik yang terus terjadi, pelanggaran HAM, dan lain-lain?”
Dia menyarankan, sebaiknya, Jakarta mengurus masalah-masalah besar daripada mengsusik masyarakat adat. “Saya tidak tahu, RUU ini akan melahirkan konflik seperti apa di Papua. Ini akan menambah daftar pelanggaran HAM dan konflik di Papua. Karena, orang Papua tentu akan marah jika mereka tidak bisa memanfaatkan hutan mereka,”katanya.
Yunus Kegou, Ketua Koperasi Masyaralat (Kopermas) di Wanggar Nabire, mengatakan, bersama masyarakat pemilik kayu di Wanggar Nabire, sudah lama hidup di hutan dan memanfaatkan hutan untuk kehidupan. “Kami hidup dari hutan kami. Negara tidak pernah kasih kami apa-apa. Hutan ini sumber hidup kami. Koperasi kami kan diakui negara. Kami olah kayu dari hutan kami, bukan hutan Jawa. Kami punya badan hukum untuk olah kayu.”
Selama ini, katanya, sudah banyak konflik dengan perusahaan kayu dan sawit. “Apalagi kalau negara bilang hutan kami dia punya, pasti kami akan korban lagi.” “Sawit di Wami Nabire ini katanya hanya tanam sawit tetapi sekarang malah ambil kayu. Dia ambil kayu to sekarang. Semua kayu besi di Wami ambil dan bawa ke Jawa, pakai kapal. Kenapa pemerintah tidak melarang dia? ucap Yunus.
Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago, Ruben Edoway, ditemui di rumahnya, Rabu (3/4/13) sore di Nabire, kesal karena Dewan Adat Papua (DAP), tak diakui negara hingga enggan berkomentar tentang RUU ini. “Kami sudah capek urusan dengan Jakarta. Orang Papua, saat ini tidak bicara soal hutan dan lain-lain. Orang Papua, hanya minta dialog Jakarta-Papua. Negara ini tidak akui kami. Kami sekarang hanya minta merdeka. Tidak ada yang lain dan saya tidak mau komentar soal ini (RUU PPH-red),” katanya dengan nada tinggi.
Protes juga datang dari Sulawesi. RUU PPH dinilai lebih memihak perusahaan besar yang mendapat izin dari pemerintah ketimbang masyarakat di sekitar atau dalam kawasan hutan.
Rahman Dako, aktivis lingkungan dari Sustainable Coastal Livelihoods and Management (Susclam) Teluk Tomini, kepada Mongabay, Rabu (3/4/13) mengatakan, di Gorontalo, masih banyak desa-desa di sekitar kawasan hutan hingga akan gampang terjerat dengan UU ini jika disahkan. Dalam RUU ini, masyarakat sekitar dan dalam kawasan tidak mempunyai kawasan hutan hak.
Satu contoh di Desa Pinogu, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango. Desa ini berada di tengah-tengah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Ketergantungan mereka terhadap hasil hutan itu sangat tinggi, misal, untuk kebutuhan rumah tangga.  “Mereka mengambil hasil hutan di kawasan hutan hak yang tidak diatur oleh RUU Pemberantasan Perusakan Hutan.”
Untuk perusahaan besar berizin, banyak beroperasi di hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Seperti di Gorontalo, belum lama ini, perusahaan sawit membabat kawasan hutan dialih fungsi menjadi perkebunan sawit. “Yang pasti UU ini hanya akan mengkriminalisasi masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan, namun melindungi perusahaan-perusahaan besar,” katanya.
Bali Pano, tokoh adat di Desa Liyodu, Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, mengatakan, RUU ini suatu saat akan menjeratnya dalam terali besi. “Saya biasa mengambil hasil hutan untuk keperluan rumah tangga dan kebutuhan ritual adat, pasti akan ditangkap. Masyarakat di desa ini juga sebagian peladang yang masuk dalam kawasan yang kami anggap sebagai rumah kami. Apakah kami harus meminta izin terlebih dahulu kepada menteri?” tanyanya.
Di desa ini, masyarakat setempat biasa mengadakan ritual dayango. Ini ritual berkomunikasi dan memohon kepada roh leluhur penjaga gunung dan hutan agar menghentikan bencana warga. Meski dalam beberapa tahun terakhir, ritual ini dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.“Kami sudah berpuluh-puluh tahun memanfaatkan hasil hutan, juga menjaga hutan agar tetap lestari. Justru yang merusak adalah perusahaan besar yang mendapat izin dari pemerintah. Harusnya perusahaan itu yang diberantas karena merusak hutan,” ucap Bali.
Pandangan tak jauh beda juga datang dari Jawa Barat (Jabar). RUU ini dinilai berpotensi banyak merugikan berbagai pihak, terutama masyarakat adat yang sudah bertahun-tahun tinggal dan menggantungkan hidup dari hutan.  Di tengah upaya menerbitkan RUU PPH ini, tahun lalu pemerintah justru melepaskan 12,3 juta hektar kawasan hutan atas nama pembangunan.
“Kita sejak awal tegas menolak RUU ini. Bukan berarti tidak memiliki kepedulian dan komitmen terhadap perbaikan lingkungan hidup. Justru di dalam RUU ini ada beberapa hal sangat merugikan,”  kata Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar.
Menurut dia, hal-hal memberatkan dalam RUU PPH ini antara lain, mengancam hutan hak yang dimiliki masyarakat secara prosedur.  Jika, masyarakat menebang pohon di hutan hak mereka, harus sesuai prosedur UU ini.“Kawasan yang diatur bukan hanya kawasan hutan negara, juga masuk hutan hak tadi. Ini akan mengancam masyarakat adat yang sebenarnya turun menurun mempunyai ikatan kebatinan dengan hutan, tetapi kalau mengambil sesuatu dari hutan, mereka bisa dipidanakan.”
Dadan mengatakan, kehadiran RUU  ini, justru melegitimasi pengrusakan oleh pemodal besar. Masyarakat di sekitar hutan terancam, yang jelas-jelas merusak seperti pertambangan skala besar atau pembukaan lahan sawit dibiarkan terjadi karena sudah berizin.
Sebenarnya, kata Dadan, yang diperlukan bukan RUU PPH, tetapi memulihkan hutan. Bekas-bekas tambang harus segera direhabilitasi dan reklamasi. Izin pengelolaan hutan juga harus dikendalikan.
Dadan menyebut kasus di Papua. Di sana, terjadi peralihan fungsi hutan besar-besaran untuk  food estate.  Pihak yang diuntungkan hanya pemodal besar. Sedang masyarakat adat di sekitar kawasan itu disingkirkan. Dengan RUU PPH  ini, praktik ini justru akan makin marak karena tidak mengakomodir hak-hak masyarakat adat. “Justru itu yang harus dikendalikan. Yang bermasalah di sini adalah mudahnya izin diberikan pemerintah pusat terkait pemanfaatan hingga alihfungsi hutan.”
Di Jabar, juga terjadi konflik antara masyarakat di sekitar hutan dengan perum Pehutani. Jika RUU ini disahkan akan menjadi legitimasi bagi pengusiran warga sekitar kawasan hutan oleh Perhutani. “Masyarakat dilarang mengelola hutan, seperti menanam dan lain-lain. Ini terjadi di Indramayu. Akibatnya bukan hanya sosial, juga ekonomi.“  Kasus-kasus konflik dengan Perhutani juga terjadi di kawasan Angkola-Cianjur, Bandung Utara, Subang dan daerah lain.
Sebenarnya, RUU ini diusulkan atas pertimbangan deforestasi dan degradasi tinggi akibat kejahatan sistematis terorganisir di sektor utama yaitu pertambangan, perkebunan dan pembalakan liar skala besar. Hanya, dalam substansi pasal per pasal, justru diarahkan menyelamatkan perusahaan tambang dan perkebunan. Bahkan, menjadi alat baru mengkriminalisasi dan memisahkan rakyat dari sumber kehidupan.
Senada diungkapkan Denny Abdullah, Wakil Sekjen Serikat Hijau Indonesia (SHI) Jabar. Seharusnya, semua RUU yang dirancang dan dikeluarkan pemerintah bisa menyelamatkan hak-hak ekual dan ekonomi sipil politik dan budaya, termasuk ketika berbicara soal hutan.
Dalam konteks menyelamatkan hutan, juga harus menjamin hak-hak masyarakat di sekitar hutan. Fakta tidak seperti  itu. Masyarakat yang tinggal di dalam hutan banyak tergusur tetapi banyak perusahaan besar melakukan pembalakan ‘legal’ di hutan dengan alasan membuat geotermal dan lain-lain.
Dia menilai, RUU PPH itu membatasi masyarakat di sekitar hutan dan menjadi alat pemerintah agar bisa menyingkirkan masyarakat itu. Namun, RUU ini tidak tegas terhadap pengrusakan hutan oleh pemerintah.
“Nanti masyarakat adat ketika mengambil kayu bakar saja itu menjadi masalah. Padahal, kontribusi mereka menjaga dan sosialisasi kelestarian hutan sangat besar.” Untuk itu, SHI menolak RUU ini. “Tak hanya soal RUU ini, tetapi semua RUU yang mubazir. Seperti RUU santet dan ormas,  itu sebenarnya tak perlu. Hentikan.  Jika RUU ini lolos, kita akan mengajukan judicial review,” ucap Denny.
Yayan Hardiana, Deputi Advokasi dan Pengorganisasian Serikat Petani Pasundan (SPS), pun angkat bicara.  Dia mengatakan, RUU PPH akan memunculkan masalah baru. Sebab, masyarakat sekitar hutan selama ini berperan penting menjaga kelestarian hutan malah terancam terusir. “Masyarakat sekitar hutan punya kontribusi sangat besar menjaga hutan. Mereka menanam banyak pohon di kawasan yang tadinya hanya satu jenis pohon. Hingga ketika Perum Perhutani memanen semua pohon di kawasan itu, hutan tidak gundul semua.”
RUU ini justru akan makin mempertajam konflik bahkan makin banyak petani dikriminalisasi.”Kami tegas menolak RUU  ini. Dengan RUU ini akan terjadi tumpang tindih dengan UU lain, seperti UU Pokok Agraria dan UU Kehutanan.”  Pada UU Kehutanan No 41 Tahun 2009, masih mengakomodir masyarakat lokal memanfaatkan hutan tetapi di RUU PPH masyarakat bisa dikriminalisasi.
Mengenai persoalan hutan di Indonesia, katanya, kerusakan banyak oleh para pemilik modal besar, seperti perusahaan tambang. Dengan RUU ini, justru menjadikan legitimasi bagi perusahaan besar makin mengeksplorasi hutan secara besar-besaran. “Itu hanya akal-akalan para kapitalisme untuk menyingkirkan masyarakat dari kawasan hutan. Masyarakat adat akan terusir.”
Yayan menyebutkan, kawasan hutan di Priangan Timur, dulu hutan, kini malah lahan tambang pasir besi. Kerusakan hutan akibat tambang pasir besi itu sangat besar. Dengan kata lain, jika RUU ini disahkan akan makin memperparah kerusakan hutan. Dia mengatakan, di Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, dan  Garut lebih dari 35 persen wilayah perkebunan dan hutan. Luas hutan lebih banyak dibanding perkebunan. Untuk satu kawasan, luas hutan bisa lebih 2.000 hektar mencakup kecamatan. masyarakat tinggal di daerah sekitar hutan, terancam tak bisa lagi memanfaatkan hutan.
Konflik antara petani, sebenarnya Perhutani, tak memiliki dasar jelas mengklaim lahan warga. Dalam berbagai kasus, Perhutani justru  tidak bisa membuktikan itu wilayah milik mereka. Dengan RUU ini, petani akan makin terancam. Kriminalisasi bisa marak. “Belum ada RUU PPH saja para petani sudah banyak kesulitan. Dalam beberapa kasus yang saya dampingi, mereka justru harus membayar pajak kepada Perhutani agar bisa menanam di kawasan hutan. Itu kan pungutan liar. Apalagi nanti jika RUU PPH disahkan. Nasib mereka benar-benar terancam,” ucap Yayan. Yang jelas, RUU ini tidak menjawab persoalan perusakan hutan.
Yohana Mekey, Kepala Kampung Ororodo, yang mengeluh karena warga sudah kesulitan masuk ke hutan, setelah perusahaan-perusahaan diberi izin oleh pemerintah ‘menguasai’ lahan itu. Saat ini saja mereka sudah kesulitan, bagaimana jika RUU Pemberantasan Perusakan Hutan disahkan? Mereka menebang pohon berdiamer 10 cm, dengan tinggi 1,5 meter, berdua saja sudah bisa dijerat UU ini. Sebenarnya, siapa sasaran yang akan dijerat UU ini? Foto: Yermias Degei
Kayu dari hutan alam di Riau, yang merana terjarah perusahaan-perusahaan raksasa kayu. Perusahaan-perusahaan ini tak akan terjerat UU PPH karena embel-embel legal. Meskipun dalam fakta aksi mereka menyebabkan lingkungan dan ekosistem setempat rusak parah, mereka tak masuk kategori ‘perusak hutan.’ Foto: Eyes on The Forest

Source : link
0 komentar

Ahok minta ilmu cara pengolahan sampah ke Jerman

Diposting oleh Maysatria Label: News
Ahok minta ilmu cara pengolahan sampah ke Jerman

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) menerima kunjungan Eddy Pratomo, Duta Besar RI untuk Jerman di Balai Kota, Jakarta. Salah satu topik pembahasan mereka adalah soal pengelolaan sampah.

"Ya tadi dengan Jerman khusus ya tentang pengelolaan sampah. Ada tim dari Jerman untuk ke Pemprov DKI Jakarta untuk mempelajari masalah pembuangan sampah," kata Eddy di Balai Kota, Jakarta, Kamis (4/4).

Menurut Eddy, perbandingan antara persoalan sampah di Jerman dengan di Jakarta adalah faktor budaya masyarakatnya. Dia mengatakan publik Jerman merupakan manusia basah dan sudah disiplin.

"Jadi setiap hari itu ada pengambilan sampah secara teratur, misalnya Senin adalah sampah yang di kotak hijau yang daun-daun, yang Selasa adalah sampah botol-botol dan plastik. Kemudian sampah rumah tangga lainnya pada hari Rabu yang warna kuning sebagainya. Diambil oleh mobil yang juga berbeda, sehingga rumah tangga Jerman ini biasanya sangat teratur dalam pembuangan sampah sesuai dengan jadwal," katanya.

Untuk menyerap konsep pembuangan sampah itu, pihak Jerman akan mengirim tim untuk memberikan pengalaman. Nantinya, ada satu kecamatan atau kelurahan yang menjadi pilot project.

"Sekarang Pak Wagub akan mencarikan lokasinya, agar supaya proyek Jerman ini di bidang pengolahan sampah itu, nyata di lapangan. Ya saya akan cepat sekali, mungkin bulan depan sudah ada tim kali ke sini. Dan tadi saya sudah bicara dengan Pak Unu, kadis kebersihan Pemprov untuk menampung dan mengajak jalan tim Perancis tersebut," katanya.

Source : link
0 komentar

Kadis pertamanan janji buat Jakarta hijau paling lambat Juni

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News
Kadis pertamanan janji buat Jakarta hijau paling lambat Juni

Widyo Wiyono Budi, terpilih sebagai kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta. Misi ke depan adalah membangun ruang terbuka hijau lebih banyak di Jakarta seperti taman kota.

"Kita kan punya koridor-koridor primer, sekunder, tersier. Yang utama yang primer kayak Sudirman, Sisingamangaraja, Kelapa Gading. Daerah-daerah utama yang berkaitan dengan publik. Kembangan Slipi, Grogol, Daan Mogot, itu jadi target utama," ujar Widyo di Balai Kota Jakarta, Rabu (3/4).

Sedangkan untuk wilayah Jakarta Timur, mantan Kepala Biro Sarana dan Prasarana Kota ini akan menyasar daerah Matraman dan Pemuda. Untuk menyukseskan rencana ini, pihaknya akan berkoordinasi dengan Jasa Marga.

"Nanti kita koordinasi dengan Jasa Marga yang dicoret-coret itu maunya pakai tanaman rambat ada kesan visual," jelasnya.

Dia menargetkan pembenahan taman kota ini bisa rampung pertengahan tahun ini. Sehingga, saat APBD Perubahan diajukan sekitar Juni-Juli dapat dilakukan penambahan apabila ada anggaran yang kurang.

"Beliau ingin cepat, beliau bilang Juni. Kita maksimalkan karena volumenya cukup besar, taman itu hanya green cover berupa rumput ya," terang Widyo.

Selain Sudirman, Widyo juga akan membuat program penghijauan di kawasan Gajah Mada. Taman itu akan dibuat seperti area private yang diberikan batas warna.

Source : link
0 komentar

Bikin bantaran Kali Ciliwung hijau, Jokowi gandeng Kopassus

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News
Bikin bantaran Kali Ciliwung hijau, Jokowi gandeng Kopassus 
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mengacungi jempol kegiatan yang dilakukan Kopassus terkait pembersihan Kali Ciliwung dan mengolah sampah menjadi bahan yang bermanfaat. Kedepannya, Jokowi akan bekerja sama bersama Kopassus dalam mengolah sampah terutama masalah penghijauan di pinggiran sungai.

"Selain diundang Danjen (Kopassus) kita ingin lihat kegiatan di sini, sangat bagus untuk percontohan. Kita kerjasamalah dengan Kopassus, diperbaiki dikoreksi terus bisa diterapkan di tempat lain masalah sampah. Masalah penghijauan, terutama di pinggir sungai, kita naik perahu karet, keliatan sekali. Kanan kiri Ciliwung hijaunya seperti itu," kata Jokowi usai meninjau Kali Ciliwung dengan perahu karet, di Cijantung, Jakarta Timur, (5/4).

Jokowi ingin ke depan Jakarta kanan kiri sungai harus hijau agar bisa dijadikan ekowisata. Selain itu, Jokowi mengatakan warga Jakarta juga harus punya kegiatan karya bakti.

"Kita minta kerjasama bantuan dari Kopassus dari yang lain, Kostrad, Kodam. Minggu depan akan kita mulai. Kita mau cepet-cepet lah selesaikan masalah di Jakarta," ungkap Jokowi.

Jokowi menambahkan, kegiatan ini akan diatur dengan Dinas Kebersihan diterapkan di kelurahan dan kecamatan lain. "Meng-copy agar ditiru masyarakat lain gampang. Bawa masyarakat ke sini melihat," tambah Jokowi.

Hari ini Jokowi didampingi Mayjen Kopassus, Agus Sutomo beserta rombongan mengunjungi tempat pengolahan sampah terpadu Kopassus di Cijantung. Setelah itu dilanjutkan dengan menyisir Kali Ciliwung menggunakan perahu karet.

Source : link
0 komentar

Kamis, 04 April 2013

Keraguan Publik Masih Terus Mewarnai Kebijakan Konservasi Baru Asia Pulp and Paper

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, Konservasi, News

Laporan yang disampaikan oleh Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK) atas penebangan dua penyuplai independen APP di Kalimantan. Foto: RPHK

Menyusul analisis dari Greenomics yang dirilis bulan lalu, terkait kebijakan konservasi baru yang diluncurkan oleh produsen kertas Asia Pulp and Paper (APP) untuk tidak lagi menebang hutan alami di Indonesia, kini berbagai analisis dan informasi terkait komitmen baru APP ini juga memberikan informasi ekstra terkait kebijakan ini. Greenomics sebelumnya membeberkan berbagai fakta dalam laporan yang mereka beri judul “APP’s Artful Deception” yang menekankan bahwa APP menerbitkan kebijakan konservasi baru mereka, saat hutan sudah menjadi bubur kertas. Kini, Eyes on the Forest, sebuah koalisi beberapa organisasi lingkungan di Riau, menerbitkan laporan mereka terkait komitmen Asia Pulp and Paper.
Sebagian besar tanggapan yang muncul, masih meragukan komitmen ini bisa berjalan dengan mulus, terkait dua alasan utama: pertama adalah sejarah masa lalu komitmen konservasi Asia Pulp and Paper yang tiga kali dilanggar oleh mereka sendiri. Kedua, adalah munculnya laporan dari Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK) di saat bersamaan dengan terbitnya laporan kemajuan bulanan Kebijakan Konservasi Baru APP.
Asia Pulp and Paper, pernah melanggar komitmen konservasi serupa dengan yang mereka terbitkan saat ini, pada tahun 2004, 2007, dan 2009 silam. Sementara, RPHK merilis laporan dari lapangan, bahwa dua perusahaan penyuplai untuk APP melakukan pembukaan hutan alami dan lahan gambut, serta membangun kanal-kanal di kawasan yang diilai sebagai high conservation value forest, pekan lalu.
Dugaan Penggalian kanal-kanal di hutan berkategori HCVF oleh penyuplai independen APP di Kalimantan. Foto: RPHK
Dalam laporannya terkait komitmen Asia Pulp and Paper ini, Eyes on the Forest, sebuah organisasi gabungan antara Walhi Riau, Jikalahari dan WWF Riau, menemukan bahwa Kebijakan Konservasi Baru oleh APP ini adalah sebuah upaya untuk menyembunyikan deforestasi dan kerusakan hutan yang parah selama mereka beroperasi di Sumatera sejak pertengahan 1980-an.
Dalam laporan yang diterbitkan oleh Eyes on the Forest pada hari Rabu 3 April 2013 ini, diungkapkan bahwa upaya dan komitmen APP ini paling banyak akan melindungi 5000 hektar hutan alam di Propinsi RIau, sementara sepanjang operasi mereka di awal 1980an, APP sudah menghabiskan sekitar 2 juta hektar hutan di Sumatera.
Dalam laporan ini juga diungkapkan bahwa konsesi-konsesi pemasok untuk Sinar Mas Grup/Asia Pulp and Paper sudah kehilangan lebih dari 680.000 hektar hutan alam, mulai tahun 1984 hingga tahun 2012 silam. Dari data ini, 77% diduga tidak memiliki legalitas yang jelas dalam pembukaan lahan, dan 83% diantaranya terjadi di habitat harimau dan gajah.
Seperti dilansir oleh situs jikalahari.or.id, komitmen APP dinilai memberikan janji setelah semua hutan alam yang ada di dalam konsesi mereka musnah. “APP di dalam kebijakan yang sangat digembar-gemborkannya saat ini tidaklah berkomitmen memperbaiki hutan alam dan lahan gambut sebagai kompensasi atas kerusakan lingkungan serius yang diakibatkannya di masa silam,” ujar Hariansyah Usman dari WALHI Riau.
“Analisa kami menunjuk satu kesimpulan: bahwa APP berpikiran bisa membodohi orang agar  membayangkan keuntungan konservasi besar sembari melengahkan pelanggaran di masa lalu,” ujar Aditya Bayunanda dari WWF-Indonesia. “Masalah kita adalah kita tidak melihat keuntungan konservasi di masa depan yang potensial yang menyeimbangkan isu-isu belum tuntas berakar dari warisan deforestasi APP, emisi gas rumah kaca yang dahsyat, hilangnya habitat satwa liar, dan banyaknya konflik dengan masyarakat yang kehilangan lahan-lahan mereka.”
EoF menerbitkan analisa laporan peta interaktif, berdasarkan platform  mesin Peta Google Earth untuk memudahkan para pihak mengevaluasi sendiri sejumlah aspek kebijakan konservasi hutan baru  SMG/APP dan memantau pelaksanaannya. EoF akan memperbarui database secara berkala dari provinsi lainnya sebagai informasi dan rincian baru soal konsesi yang ada agar bisa tersedia.
Hal senada juga diungkapkan oleh WWF lewat tanggapan yang mereka sampakan di dalam situs intenasional mereka, panda.org terkait laporan yang dirilis oleh laporan Eyes on the Forest ini.
“WWF merekomendasikan agar perusahaan yang menggunakan kertas untuk tidak terburu-buru melakukan bisnis dengan APP,” ungkap Rod Taylor, Direktur Kehutanan di WWF Internasional. “APP tidak bisa dinilai sebagai produser yang bertanggung jawab tanpa memperbaiki kerusakan yang sudah mereka sebabkan akibat operasi mereka di masa lalu dan menghilangkan berbagai keraguan dibalik proses produksi mereka.
Tanggapan yang dirilis oleh Eyes on the Forest dan WWF Internasional ini, mendapat tanggapan langsung dari Direktur Keberlanjutan Asia Pulp and Paper, Aida Greenbury lewat surat elektroniknya kepada Mongabay.com.
“Kami berharap cadangan kayu keras sudah akan digunakan di bulan Agustus, namun hal ini sangat tergantung pada pertimbangan logistik yang sangat menentukan di wilayah dimana kami beroperasi  saat ini. Sementara, beberapa tanggal yang disebutkan oleh beberapa NGO tersebut tidak menghitung faktor ini, atau ketersediaan kontraktor, dimana banyak diantaranya tidak berada di lokasi yang semestinya. Sementara stok kayu yang sudah dipotong kini dimonitor oleh The Forest Trust sebagai bagian dari komitmen moratorium APP dan kami sangat terbuka untuk setiap kehadiran berbagai NGO yang ada, seperti Eyes on the Forest atau WWF untuk melihat hal ini secara langsung,” ungkap Aida Greenbury.
“Kami juga tak pernah menyatakan bahwa masa lalu itu tidak penting, kami memahami pentingnya isu restorasi di beberapa area dimana hutan alami sudah ditebang. Rencana itu sudah ada di meja, namun kami saat ini prioritas kami adalah memastikan bahwa seluruh jaringan penyuplai yang ada di seluruh dunia bekerja berdasar atas komitmen konservasi yang sudah kami umumkan, dan memenuhi target ambis kami dalam Forest Conservation Policy kami.”
Dalam jawaban surat elektroniknya, Aida Greenbury menyatakan bahwa pihaknya juga akan menerbitkan laporan independen dari TFT yang akan menjawab laporan yang disampaikan oleh Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK) dalam waktu dekat.

source : link

Tumpang Tindih Dalam Tudingan Pelanggaran Komitmen Konservasi Asia Pulp and Paper

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, Konservasi, News

Penebangan hutan alami di Kalbar yang disinyalir dilakukan oleh penyuplai independen APP. Foto: RPHK

Hari Senin pekan lalu, 25 Maret 2013, tim dari Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK) telah menuding raksasa bisnis kertas Indonesia, Asia Pulp and Paper telah melanggar komitmen baru konservasi hutan yang baru saja mereka luncurkan awal tahun ini.
Laporan yang disampaikan oleh RPHK ini sebenarnya mengacu pada dua perusahaan yang menjadi penyuplai independen untuk Asia Pulp and Paper, bukan perusahaan yang dimiliki langsung oleh Asia Pulp and Paper. Dibawah komitmen konservasi baru yang dilansir APP awal tahun ini, mereka akan memutus kontrak dengan pihak perusahaan penyuplai yang melanggar komitmen untuk tidak lagi menebang hutan alami. Terkait hal ini, maka APP dinilai tidak melanggar komitmen mereka sendiri kecuali kemudian terbukti di belakang hari bahwa kedua perusahaan penyuplai ini memang menebang hutan gambut dan hutan alami.
Lokasi penebangan di perusahaan penyuplai APP. Foto: RPHK
APP sendiri saat ini mengatakan bahwa mereka tengah melakukan investigasi terkait kasus ini. Dalam laporan yang disampaikan, di lahan yang izin kelolanya dimiliki oleh PT Daya Tani Kalbar, terdapat tumpang tindih perizinan lahan dengan pertambangan batubara, kendati pertambangannya sendiri berada jauh dari lokasi penebangan hutan ini, namun hal ini menjadikan semakin sulit untuk menentukan siapa sebenarnya pemilik hak pengelolaan atas tanah ini. Akibatnya, terjadi beberapa klaim yang muncul dari berbagai pihak, termasuk perusahaan, individu dan komunitas atas perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kendati demikian, bukan hal yang mengagetkan bagi para aktivis lingkungan yang skeptis terhadap kebijakan konservasi baru APP ini akibat sejarah masa lalu: produsen kertas raksasa ini pernah tiga kali melanggar komitmen konservasi mereka sebelumnya, untuk tidak lagi menebang hutan alami yaitu di tahun 2004, 2007 dan 2009. Kali ini ambisi APP dalam memenuhi komitmen lingkungan mereka nampaknya lebih serius, sehingga membuat organisasi lingkungan sekelas Greenpeace yang terkenal dengan ketajaman kampanye mereka terhadap APP bersabar menunggu perkembangan. Kampanye serupa yang dilakukan Greenpeace, telah mengakibatkan kerugian jutan dollar bagi APP tahun 2009 silam.
Pihak Greenpeace sendiri yang terlibat dalam menjaga kepatuhan komitmen APP lewat pengawasan bersama, masih menunggu apakah pihak perusahaan akan sepenuhnya menjalankan komitmen yang sudah dilakukan. Namun, Greenpeace akan tetap meminta pihak pembeli kertas untuk menghindari merek dagang dari APP hingga mereka terbukti menjalankan komitmen mereka.
Hal serupa juga digaungkan oleh Walhi, yang merupakan salah satu organisasi lingkungan terbesar di Indonesia. “Kami meminta kepada para pihak pembeli kertas di seluruh dunia untuk tetap menunggu hingga keluar verifikasi resmi dari lembaga yang independen terkait implementasi kebijakan konservasi hutan yang dilakukan oleh APP, sebelum hal ini jelas sebaiknya tidak melakukan pembelian,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya dalam pernyataannya. “Berlanjutnya penebangan dan pembangunan kanal oleh perusahaan penyuplai yang bekerja untuk APP tanpa mempertimbangkan nilai-nilai konservasi, stok karbon dan gambut merupakan sebuah indikasi buruk terhadap implementasi komitmen APP yang telah digaungkan ke seluruh dunia.”
Sebagian besar lahan yang telah dikonversi oleh APP berada di pulau Sumatera. Menurut sejumlah pakar lingkungan, produksi kertas APP telah memakan hutan hujan tropis seluas 2 juta hektar sejak pertengahan tahun 1980-an silam, dan menyebabkan rusaknya habitat satwa liar dan terancam di pulau tersebut.

source : link

Pembalakan Liar Marak di Zona Inti TN Gunung Palung

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, Konservasi, News

Keindahan alam Taman Nasional Gunung Palung. Zona inti yang menjadi pusat penelitian di kawasan ini dijarah pembalak ilegal. Parahnya, aksi ini seakan dibiarkan karena masih terus berlangsung. Foto: Cam Webb

Pembalakan liar (illegal logging) tengah marak di Taman Nasional Gunung Palung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) . Mereka seakan bebas beraksi. Balai TN Gunung Palung, pun terkesan tak serius menangani.
Kinari Webb,  Pendiri Alam Sehat Lestari (Asri), organisasi yang bergerak dalam bidang konservsi alam dan kesehatan masyarakat di Ketapang, sangat khawatir dengan kondisi ini. Menurut dia, saat ini, illegal logging sudah masuk zona inti taman nasional, tepatnya di Dusun Tanjung Gunung.
Dia khawatir karena lokasi yang dijarah itu ada stasiun penelitian lebih dari 20 tahun. Jika hutan di kawasan itu rusak, katanya, maka pusat keramanan hayati yang ada di sana pun terancam. “Ada banyak data yang bisa dikomparasi dari dulu sampai sekarang di sana,”  katanya kepada Mongabay, di Jakarta, medio Maret 2013.
Tak hanya pusat data. Kawasan hutan di zona inti itu, merupakan dataran rendah terakhir di Indonesia yang belum dijamah. “Sekarang illegal logging masuk. Saya berharap ada tindakan serius menghentikan ini.”
Masyarakat di sana,  ucap Kinari, sebenarnya tak mau para pembalak ada. Namun, aksi mereka sulit diatasi karena mayoritas pembalak dari luar daerah. “Kita sudah diskusi dengan pemerintah untuk datang tapi belum ada hasil. Masyarakat di sana tudak mau para pembalak ada, tapi sulit dilarang, masalah orang luar,” ujar dia.
Namun, Hotlin Ompussunggu, Kepala Program Asri, menduga kuat ada kerja sama dengan pihak-pihak tertentu di dalam komunitas di daerah itu hingga pembalakan liar sulit dihentikan. Jika hanya ‘orang luar,’ katanya, tentu aksi tak akan berjalan semulus itu.
Sejak lima tahun lalu, Asri memberikan program kesehatan terintegrasi dengan lingkungan di desa-desa sekitar TN Gunung Palung, meliputi 60 ribuan jiwa, termasuk dusun tempat illegal logging ini. Pelayanan kesehatan biaya murah sekaligus pemahaman perlindungan alam ke dusun-dusun ini, cukup banyak menghentikan aksi penebangan hutan. Namun, di Dusun Tanjung Gunung, penebangan liar masih sulit dihentikan. Berbeda, dengan dusun lain, sudah menampakkan hasil: warga beralih dari menebang pohon di hutan menjadi petani bahkan ikut menanam hutan kembali.
Hendrikus Adam, Kepala Devisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar mengatakan, pihak terkait harus segera turun ke lapangan guna melihat kondisi zona inti di TN Gunung Palung, yang diduga terjadi pembalakan liar.  “Jika memang terjadi, penting mengungkap siapa pelaku dan apa motifnya,” katanya.  “Pihak berwenang juga harus bertindak cepat agar perusakan segera diatasi.”
Kawasan TN Gunung Palung seluas 90.000 hektar, terbentang di Kecamatan Matan Hilir Utara, Sukadana, Simpang Hilir, Nanga Tayap, dan Sandai. Kawasan ini kemungkinan hutan kayu dataran rendah yang belum tersentuh di Indonesia. Ia rumah bagi spesies terancam punah, termasuk burung enggang dan owa. Masih ada, sekitar 2.500 orangutan, 10 persen dari populasi global. Periode 1988-2002, sekitar 38 persen hutan di dataran rendah Gunung Palung hilang.
Pelayanan kesehatan keliling Asri ke berbagai dusun selalu dipenuhi warga. Foto: Kinari Webb
Orangutan di TN Gunung Palung. Kawasan ini merupakan salah satu habitat orangutan terbesar di dunia,dengan perkiraan masih ada sekitar 2.500. Foto: Sachi Oshima

source : link

Survei: Ditemukan Bukti Badak Sumatera di Kalimantan

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, Konservasi

Gesekan cula di dinding kubangan. Foto: WWF-Indonesia

Tim survei menemukan beberapa jejak kaki badak, bekas kubangan, bekas gesekan tubuh badak pada pohon, gesekan cula pada dinding kubangan serta bekas gigitan dan pelintiran pada pucuk tanaman di Kabupaten Kutai Barat, Kaltim.
 
Tim monitoring WWF-Indonesia, menemukan jejak segar mirip jejak badak saat memonitoring orangutan di Kutai Barat (Kubar), Kalimantan Timur (Kaltim),  di wilayah Heart of Borneo (HoB). Guna menguatkan temuan ini, WWF-Indonesia bersama Dinas Kehutanan Kubar, Universitas Mulawarman dan masyarakat setempat, survei lanjutan pada Februari 2013.
Hasilnya, tim survei menemukan beberapa jejak kaki badak, bekas kubangan, bekas gesekan tubuh badak pada pohon, gesekan cula pada dinding kubangan serta bekas gigitan dan pelintiran pada pucuk tanaman. Tim survei juga mengidentifikasi ketersediaan pakan badak berlimpah dan bervariasi, lebih dari 30 spesies tumbuhan pakan.
Temuan ini diperkuat konfirmasi saintifik dari ahli badak di WWF-Indonesia dan Universitas Mulawarman, Chandradewana Boer. Dia  menegaskan, spesies ini kemungkinan besar adalah badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Temuan ini didukung data historis sebaran badak Sumatra di Kalimantan, yang telah terdokumentasi sebelumnya. Namun, sampai ini, belum bisa dikonfirmasi berapa individu badak yang teridentifikasi melalui temuan ini.
Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia,  mengatakan, temuan ini membawa angin segar bagi dunia konservasi nasional dan internasional, mengingat keberadaan badak Sumatera di Kalimantan, sudah tidak pernah terdengar dan diketahui. Bahkan ditengarai punah sejak tahun 1990-an. International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah mengklasifikasikan badak Sumatera dalam kategori kritis (critically endangered). 
WWF-Indonesia, katanya, bersama pihak terkait, antara lain Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Kubar akan survei lanjutan lebih komprehensif untuk memetakan preferensi habitat badak dan populasi di Kutai Barat. Dari hasil survei ini, perlu segera disusun strategi bersama dan rencana aksi komprehensif serta partisipatif bersama para pihak terkait. “Hingga upaya konservasi badak Sumatera di Kalimantan, dapat berlangsung jangka panjang dan didukung pendanaan berkelanjutan,” katanya, Kamis(28/3/13).  Temuan ini, juga  menjadi momen penting sejak pencanganan Tahun Badak Internasional pada 5 Juni 2012 oleh Presiden SBY.
Bupati Kubar, Ismael Thomas mengatakan, badak, orangutan, pesut, macan dahan, dan banteng  adalah  satwa langka, dan ternyata masih ada di Kubar . Keberadaan mereka, harus dilestarikan, dan masyarakat mesti bisa hidup harmonis dengan alam. “Kubar, daerah keragaman hayati tinggi dan bagian penting dari Heart of Borneo,  Jadi, pemerintah Kubar berkomitmen melindungi dan menyelamatkan badak ini melalui Perda Perlindungan Fauna dan Flora Langka.”  
Pemerintah, akan membentuk tim bekerja sama dengan WWF-Indonesia, untuk mengkaji dan mempelajari keberadaan satwa ini. Tim ini untuk menentukan kebijakan, program konservasi tepat dan sumber pendanaan.
Bambang Novianto, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Kemenhut mengatakan,  temuan ini sangat penting bagi dunia, khusus bagi konservasi Indonesia. Sebab,  ini menjadi pencatatan baru keberadaan badak Sumatera di Kalimantan Timur, khusus di Kubar. “Informasi ini menjadi penting untuk strategi perlindungan populasi dan pembinaan habitat dimana Badak ditemukan, jika populasi terbukti ada dan berkembang biak. Ke depan, perlu  kerjasama banyak pihak termasuk masyarakat lokal, korporasi dan lain-lain untuk mengambil langkah-langkah tepat demi konservasi badak Sumatera di Kalimantan.
Tim survei baru menemukan jejak tapak badak. Foto: WWF-Indonesia
Jejak tapak badak. Foto: WWF-Indonesia
Ahli badak tengah menunjukkan bekas goresan cula badak. Foto: WWF-Indonesia
Bekas gigitan badak. Foto: WWF-Indonesia
Peneliti sedang mengukur jejak tapak badak. Foto: WWF-Indonesia
Tim survei usai merekam jejak dan bukti keberadaan badak Sumatera di Kabupaten Kubar. Foto: WWF-Indonesia

source : link

Ditemukan: Raflesia Langka Sedang Mekar di Suaka Margasatwa Rimbang Baling Riau

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News

Raflesia langka, Rafflesia haselstii, di Suaka Margasatwa Rimbang Baling Riau. Foto: WWF Indonesia

Tim WWF Riau dan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Riau menemukan lima bunga Raflesia Merah Putih langka (Rafflesia hasseltii) yang satu di antaranya sedang mekar sempurna di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kabupaten Kampar, Riau. Namun tidak jauh dari bunga langka itu ditemukan beberapa sawmill aktif.
Saat ditemukan bunga Raflesia yang mekar sempurna itu berdiameter 50 sentimeter. Satu bunga lainnya juga mekar sedangkan tiga bunga masih dalam keadaan kuncup atau bongkol. Penemuan bunga pada Februari lalu ini cukup mengejutkan karena tim WWF dan BKSDA sering berpatroli melewati kawasan tersebut di ketinggian 448 meter di atas permukaan laut namun tidak menemukan tanda-tanda keberadaannya.
Tim lapangan bersama bunga Raflesia di Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Foto: WWF Indonesia
“Penemuan ini sekaligus membuktikan bahwa keanekaragaman hayati di SM Bukit Rimbang Bukit Baling ini masih dalam kondisi baik. Tahun 2012 lalu, di lokasi yang sama, dimana kita memasang kamera perangkap berhasil merekam lima dari tujuh spesies kucing hutan yang ada di Indonesia,” ujar Syamsidar, Humas WWF Riau kepada Mongabay Indonesia hari ini.
Dalam hukum Indonesia, Raflesia Merah Putih dilindungi dalam PP No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dan berstatus genting dalam daftar merah lembaga internasional pemeringkat spesies terancam.
Bunga raflesia ini dikenal dengan nama lokal “Cendawan Muka Rimau” dengan warnanya yang merah kecoklatan dengan lempeng warna putih yang relatif besar dan tidak beraturan. Karena warna inilah, bunga tersebut diijuluki Raflesia Merah Putih. Raflesia merupakan tumbuhan parasit dengan inang (genus) Tetrastigma leucostaphyllum. Ada pun wilayah penyebarannya meliputi Selat Peninsula Malaysia, Sarawak dan Sumatera. Di Sumatera sendiri, penyebarannya sangat terbatas, meliputi Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Sanglap, Riau, Jambi dan Taman Nasional Kerinci Seblat.
“Dalam catatan WWF, pada tahun 1995 bunga raflesia pernah ditemukan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh perbatasan Jambi-Riau. Namun di Rimbang Baling baru kali ini ditemukan,” kata Syamsidar.
Rafflesia haseltii. Foto: WWF Indonesia
Bukit Rimbang Bukit Batu merupakan kawasan dilindungi yang memiliki topografi kemiringan 25%-100% dengan ketinggian sekitar 1.070 mdpl. Keanekaragaman hayati sangat tinggi. Di antaranya juga sebagai habitat tumbuhan langka seperti Mempening, Mersawa, Kempas, Keranji, Pulai. Tercatat 170 jenis burung dan 50 jenis mamalia termasuk tapir, beruang madu, kambing hutan kukang, dan lima jenis kucing hutan di antaranya kucing emas, kucing hutan, kucing batu macan dahan juga harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae).
WWF juga mencatat bahwa Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) juga pernah hidup namun diperkirakan telah punah secara lokal dari kawasan tersebut. Karena itu pada 2006 lalu, ahli harimau se-dunia sepakat mengklasifikasikan kawasan itu sebagai habitat penting prioritas jangka panjang konservasi Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) 2006.
Penelitian WWF bekerjasama dengan PHKA pada tahun 2005-2008 membuktikan bahwa kepadatan harimau di Rimbang Baling yang terletak di 90 km arah selatan Pekanbaru ini cukup tinggi yakni 0,5158 individu per 100 km2.
“Namun Rimbang-Baling kini terancam serius oleh aktifitas alih fungsi hutan menjadi perkebunan. Baik perambahan oleh masyarakat setempat atau pendatang namun juga pembangunan koridor perkebunan HTI akasia milik PT RAPP di bagian timur kawasan. Di bagian tenggara kini terancam oleh penambangan batubara. Koridor yang dibangun perusahaan inilah yang menyebabkan akses sangat terbuka bagi masyarakat umum untuk melakukan perburuan,” kata Syamsidar.
“Buktinya hanya berjarak sekitar 3 km dari keberadaan bunga Raflesia langka itu, kita temukan sekitar 6 sawmill aktif yang satu di antara operatornya mengaku mendapat pasokan kayu dari kawasan tersebut. Keterancaman ini sangat tinggi maka WWF mendesak pemerintah agar segera bertindak bersama-sama untuk melindungi kawasan sebelum semuanya terlambat,” lanjut Syamsidar.

source : link

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ►  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ▼  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ▼  April (20)
      • Indonesia-Malaysia Sepakat Selamatkan Badak Sumate...
      • Suara Daerah: RUU Pemberantasan Perusakan Hutan Ba...
      • Ahok minta ilmu cara pengolahan sampah ke Jerman
      • Kadis pertamanan janji buat Jakarta hijau paling l...
      • Bikin bantaran Kali Ciliwung hijau, Jokowi gandeng...
      • Keraguan Publik Masih Terus Mewarnai Kebijakan Kon...
      • Tumpang Tindih Dalam Tudingan Pelanggaran Komitmen...
      • Pembalakan Liar Marak di Zona Inti TN Gunung Palung
      • Survei: Ditemukan Bukti Badak Sumatera di Kalimantan
      • Ditemukan: Raflesia Langka Sedang Mekar di Suaka M...
      • Foto: Hutan Alam Jantho, Surga Hijau Tersisa di Aceh
      • Siswa SMU Australia Bangga Lindungi Orangutan dan ...
      • Menanam Harapan di Segelintir Mangrove Pantai Sela...
      • Kebijakan Konservasi Baru APP: Laporan Kemajuan Bu...
      • Pemasok APP Masih Babat Hutan Alam dan Gambut Dala...
      • Pakar Dunia: Perubahan Tata Ruang Aceh harus Lewat...
      • Indo Muro Kencana, dari Nambang di Cagar Budaya sa...
      • Hutan Kemenyan adalah Hidup Kami dan Anak Cucu
      • Update: Indofood Agri Akhirnya Sepakat Hentikan Pe...
      • Rumah Pohon Suku Korowai Perlu Dilestarikan
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |