Lahan pertanian di Bali. Foto: Rhett A. Butler
Ekspansi lahan pertanian yang masif menjadi salah satu penyebab
hilangnya keragaman hayati di negara-negara tropis di dunia, hal ini
terungkap dalam penelitian yang dirilis oleh World Conservation Monitoring Center milik lembaga United Nations Environmental Programme (UNEP) sebulan silam bersama dengan Cambridge Conservation Initiative.
Studi yang telah diterbitkan di jurnal PLOS ONE ini menggaribawahi
ekspansi komoditi jagung dan kedelai sebagai komoditas paling ekspansif
dan menjadi salah satu pendorong hilangnya kergaman hayati di wilayah
tropis. Komoditi lain yang dinilai memiliki pengaruh signifikan terhadap
hilangnya habitat dan mengancam keberadaan satwa liar adalah
kacang-kacangan, singkong, kelapa sawit, padi sorgum,tebu dan gandum
menurut penelitian ini.
Diperkirakan pertumbuhan lahan pertanian di negara-negara tropis
mencapai 48.000 kilometer persegi setiap tahun, mulai dari tahun 1999
hingga 2008. Ekspansi lahan pertanian terbesar, tercatat terjadi di
Brasil, Ethiopia, Indonesia, Nigeria dan Sudan.
Peneliti UNEP, Stuart H.M Butchart, dan salah satu penulis penelitian
ini mengatakan pada SciDev.Net,”Pertanian yang tidak berkelanjutan
adalah ancaman yang paling signifikan terhadap keragaman hayati, namun
para ahli konservasi tidak memberi perhatian yang cukup besar untuk
melakukan kuantifikasi jenis-jenis komoditi pertanian apa yang menjadi
sumber masalah terbesar, atau jenis tanaman apa yang akan menjadi
masalah di masa mendatang. Penelitian ini, memfokuskan pada hal
tersebut.”
Salah satu contoh ekspansi pertanian yang menjadi contoh kasus
mempercepat hilangnya keragaman hayati adalah Mega Rice Project di
Kalimantan, Indonesia. Sejumlah besar lahan gambut dikeringkan di akhir
1990an dengan cara yang tidak tepat dan mengubahnya menjadi area untuk
menanam padi.
Lebih dari satu juta hektar, atau kira-kira seluas sepertiga negara
Belgia telah diubah menjadi persawahan, dan menjadi penyebab langsung
hilangnya habitat orangutan di Kalimantan.
Hal yang sama juga terjadi dengan hutan dan lahan gambut yang diubah
menjadi perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia, sementara
kedelai menjadi ancaman utama di terhadap hilangnya keragaman hayati di
padang sabana Cerrado di Brasil. Lalu ekspansi perkebunan jagung yang
besar juga memusnahkan hutan di Madagaskar.
Salah satu peneliti di Centre for International for Forestry
Research, di Bogor, Indonesia, Krystof Obidzinski, mengatakan bahwa
pengambilalihan lahan dalam skala besar menjadi salah satu masalah utama
di negara seperti Indoneia – dengan agenda keuntungan ekonomi menjadi
yang utama dan meremehkan dampak lingkungan yang mengancam.
Jika laju ekspansi pertanian ini terus berlanjut, penelitian ini
mengingatkan, hal ini bisa mengganggu perkembangan yang akan diraih
menjelang Aichi Biodiversity Targets, yaitu menentukan target dalam
jangka waktu tertentu untuk menekan hilangnya keragaman hayati secara
global hingga pertengahan abad ini.
Sementara Butchart menyarankan bahwa seharusnya ada sebuah sistem
yang dipergunakan sehingga para konsumen bisa mendapat informasi tentang
pangan yang mereka beli dan bagaimana proses keberlanjutan yang menjadi
fokus utama selama proses produksi pangan itu berlangsung. Sistem ini
diyakini bisa menekan dan mengurangi dampak ekspansi pertanian terhadap
keragaman hayati.
Lewat cara ini, konsumen akan memiliki pilihan terhadap komoditas
pangan yang memiliki dampak paling minimal terhadap lingkungan,
sementara para produsen bisa mendapatkan insentif sebagai hasil dari
upaya mereka menekan dampak negatif pertanian.
Lebih jauh, penelitian ini menekankan urgensi standar keberlanjutan
dan kebijakan terhadap proses produksi dan konsumsi, termasuk di
dalamnya tata guna lahan yang tepat untuk sektor pertanian, lalu
penetapan kawasan-kawasan lindung dan reduksi atau eliminasi insentif
untuk digunakan dalam produksi sumber pangan yang haus akan lahan.
CITATION: Phalan B, Bertzky M, Butchart SHM, Donald
PF, Scharlemann JPW, et al. (2013) Crop Expansion and Conservation
Priorities in Tropical Countries. PLoS ONE 8(1): e51759.
doi:10.1371/journal.pone.0051759
source : link