Dua perusahaan HTI yang akan masuk ke Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten
Nunukan, Kalimantan Timur, mengancam keberadaan satwa yang masuk list
IUCN kategori endangered ini. Foto: WWF
Kawasan habitat gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) di
Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, berada dalam jantung Borneo,
terancam dikonversi menjadi hamparan tanaman karet, jabon dan sengon.
Dua perusahaan hutan tanaman industri (HTI) milik PT Borneo Utara
Lestari (PT BUL) dan PT Intracawood Manufacturing (PT IWM) saat ini
telah mengantongi izin prinsip. Mereka sedang proses analisis mengenai
dampak lingkungan (Amdal) untuk izin usaha HTI.
Analisis WWF-Indonesia menunjukkan, sekitar 66 persen kawasan usulan
konversi PT BUL dan 100 persen kawasan PT. IWM merupakan habitat gajah.
“Konversi habitat satwa yang terancam punah untuk pembangunan HTI
semestinya tidak dilakukan,” kata Agus Suyitno, Staf WWF-Indonesia
Program Kalimantan Timur untuk Mitigasi Konflik Gajah-Manusia, dalam
pernyataan kepada media, Kamis(28/2/13).
Dia mengatakan, jika rencana konversi ini berjalan khawatir semua
populasi gajah Kalimantan akan hilang. Terlebih, sebaran gajah
Kalimantan, hanya sampai di Kecamatan Tulin Onsoi. Konversi habitat ini
juga bertentangan dengan Permenhut No.P44/Menhut-II/2007 tentang
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi untuk Gajah Sumatera dan Gajah
Kalimantan.
“Penerbitan izin HTI di areal habitat gajah akan berdampak negatif
bagi masyarakat setempat. Jika kawasan ini dibuka, gajah-gajah liar akan
kekurangan pakan alami. Akibatnya, gajah akan mencari makan di
pemukiman masyarakat hingga memicu konflik,”ujar dia.
Kini, konflik gajah-manusia mulai terjadi sejak 2005 dan pembangunan
HTI justru memperparah konflik. “Semestinya izin-izin operasi
dibatalkan.” Menurut dia, Amdal perusahaan harus sesuai fakta lapangan.
Meskipun berada pada kawasan budidaya kehutanan (KBK), karena berada
pada habitat gajah, hendaknya areal itu jangan dibuka. “Risikonya besar
dan biaya tinggi,“ kata Santifil Oslo, Camat Tulin Onsoi.
International Union for Conservation of Naturea (IUCN) mengklasifikasi gajah kerdil Kalimantan atau kerap dijuluki Borneo pygmy elephant ini dalam kategori genting (endangered).Hasil
penelitian WWF-Indonesia dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Kaltim tahun 2007-2012, memperkirakan populasi gajah kerdil pada
kisaran 20-80 ekor.
Gajah Kalimantan itu disebut kerdil karena ukuran tubuh relatif
paling kecil di antara subspesies gajah lain di dunia. Masyarakat Dayak
Agabag di Tulin Onsoi menyebut gajah ini dengan sebutan “Nenek”. Mereka
menganggap satwa ini adalah satwa sakral yang tidak boleh diganggu atau
dimusuhi.
Ilay, wakil ketua adat besar Sungai Tulid – salah satu kawasan yang
menjadi wilayah jelajah gajah kerdil Kalimantan menolak tegas jika
wilayah itu dibuka. “Di wilayah itu juga terdapat hutan adat kami. Jika
hutan kami dibuka lagi Nenek akan marah dan pasti sering datang ke
kampung, memakan tanaman kami.”
Untuk mengurangi risiko konflik gajah, BKSDA Kaltim, Pemerintah
Kabupaten Nunukan dan WWF-Indonesia bahu membahu bekerja sama membentuk
Satgas mitigasi konfik gajah beranggotakan masyarakat dari 11 desa di
Kecamatan Tulin Onsoi. Tugas utama satgas melakukan pencegahan dan
penanggulangan konflik gajah.