PENDUGAAN CADANGAN KARBON (C-stock)
DALAM RANGKA PEMANFAATAN FUNGSI HUTAN
SEBAGAI PENYERAP KARBON
(Ringkasan)
(download File Lengkap : carbon-stock-in-secondary-forest)
Oleh
Wahyu Catur Adinugroho
Ismed Syahbani
Mardi T. Rengku
Zainal Arifin
Mukhaidil
PENDAHULUAN
Disaat hutan alam tak ada lagi yang dapat dieksploitasi karena kayunya telah habis dieksploitasi secara berlebihan, baik secara legal maupun ilegal dan hutan tanaman yang diharapkan mampu mendukung ketersedian bahan baku kayu belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, akankah era kekemilauan sektor kehutanan sebagai sumber devisa andalan Indonesia telah berakhir? Kini Indonesia harus mampu melihat hutan tropisnya dengan paradigma yang berbeda, hutan tidak lagi identik dengan kayu, apalagi hutan tropis yang sifatnya ringkih. Hutan dapat memberikan jasa dalam bentuk yang lain seperti fungsi hidrologi, fungsi ekologi, fungsi sosial dan budaya serta saat ini diketahui bahwa hutan berperan besar dalam upaya melindungi atmosfer bumi. Manfaat intangible hutan ini kadang sering diabaikan karena dianggap tidak dapat memberikan nilai ekonomis yang dapat dirupiahkan.
Dengan adanya inisiatif global seperti Kyoto Protocol, kini kita ditantang untuk melihat hutan dengan sudut pandang lain lagi. Para rimbawan, masyarakat dan praktisi lainnya yang berkaitan dengan keberadaan hutan perlu untuk mempraktekkan pengetahuan dan keahliannya pada spektrum yang lebih luas lagi, lingkungan global. Hutan bukan sekedar tumpukan kayu yang dapat mendatangkan devisa sesaat yang sering juga menimbulkan bencana jika dimanfaatkan tanpa kendali tetapi merupakan komoditi global yang memiliki potensi selain kayu. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) termasuk jasa yang dihasilkan harus dikembangkan dalam pemanfaatannya untuk mengembalikan era kekemilauan sektor kehutanan dalam mendukung devisa negara.
Berkaitan dengan kemampuan hutan dalam menyerap karbon, perdagangan emisi atau perdagangan karbon merupakan sebuah paradigma baru dalam sektor kehutanan dan dapat menjadi peluang bagi Indonesia yang notabene merupakan negara berkembang untuk mendapatkan devisa melalui sektor ini. Melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) inilah negara berkembang seperti Indonesia dapat berpartisipasi dalam rangka perdagangan karbon. Dalam sektor kehutanan, kegiatan yang tergolong dalam mekanisme ini adalah Aforestasi dan Reforestasi. Aforestasi merupakan kegiatan penanaman hutan kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan 50 tahun yang lalu sedang reforestasi adalah penanaman hutan kembali pada lahan yang tidak berupa hutan sebelum tahun 1990. Meskipun kegiatan konservasi dan rehabilitasi tidak masuk dalam mekanisme CDM namun kegiatan tersebut masuk dalam kategori kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mekanisme yang diatur oleh Konvensi Perubahan Iklim sehingga kegiatan inipun berpotensi untuk mendapatkan pembiayaan.
Perdagangan karbon adalah paradigma baru sehingga kita perlu banyak persiapan, kesiapan ini juga menyangkut teknik dan penilaian informasi kandungan karbon yang dimiliki. Dalam makalah ini disampaikan bagaimana menduga cadangan karbon sehingga menghasilkan informasi C-stock dalam Hutan yang terdiri dari enam karbon pool (above ground, below ground, understorey, litter, nekromash dan soil) dengan mengambil studi kasus di Hutan Sekunder bekas kebakaran di PT. Inhutani I Batuampar, Kalimantan Timur.
PERANAN HUTAN SEBAGAI PENYERAP KARBON
Peranan Hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas.
Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). Di antara GRK penting yang diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Dengan kontribusinya yang lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2 yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar. Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 30oC lebih dingin dari kondisi saat ini. Namun demikian seperti diuraikan diatas, peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya mengatasi (mitigasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan.
Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan dengan ”net growth” (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra (Kyrklund, 1990). Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer.
PARADIGMA PERDAGANGAN KARBON
Negara-negara industri yang sudah lebih lama dan banyak mengemisikan GRK mempunyai tanggungjawab menurunkan emisi GRK. Kewajiban ini disepakati dalam Konvensi Perubahan Iklim, yaitu sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk menstabilkan emisi GRK ke atmosfer sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mengimplementasikan konvensi ini, masyarakat internasional telah menyepakati sebuah target, tentang besar dan jadwal penurunan emisi yang tertuang dalam Protokol Kyoto. Protokol ini juga mengatur tatacara penurunan emisi termasuk kegiatan yang dilakukan di negara lain yang dikenal dengan nama Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM). Melalui mekanisme CDM inilah negara berkembang seperti Indonesia dapat menjual karbon yang mampu diserap dan disimpan oleh hutan yang dimiliki ke negara maju (sink program). Indonesia sangat berpotensi menjadi negara penyerap emisi karbon karena Indonesia mempunyai hutan tropis yang luas bahkan potensi tersebut dapat lebih ditingkatkan dengan upaya penanaman dan rehabilitasi hutan yang telah rusak yang tersebar luas. Dalam sektor kehutanan, kegiatan yang tergolong dalam CDM adalah aforestasi dan reforestasi. Meskipun kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan mitigasi yang absah dibawah prosedur CDM. Namun kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mekanisme yang tidak diatur oleh CDM, tetapi oleh Konvensi Perubahan Iklim yang memungkinkan juga mendapatkan pembiayaan. Selain CDM beberapa alternatif potensi pasar karbon lain juga tersedia, yaitu melalui pasar non kyoto dengan persyaratan dan kriteria lain, seperti pasar Amerika, bio-carbon fund, bilateral, multilateral dan unilateral donor.
CONTOH KASUS PENDUGAAN C-stock HUTAN
Dalam rangka pemanfaatan fungsi hutan sebagai penyerap karbon melalui sebuah kerangka carbon trade sangat diperlukan upaya mengkuantifikasi berapa besar karbon yang dapat diserap dan disimpan (C-stock) oleh hutan. Sebagai contoh kasus upaya mengkuantifikasi berapa besar karbon yang dapat diserap dan disimpan oleh Hutan akan diuraikan Pendugaan C-stock Hutan Sekunder Bekas Kebakaran 1997/1998 di PT. Inhutani I Batuampar, Kalimantan Timur. Pendugaan C-stock Hutan Sekunder ini dapat dijadikan baseline (penentuan garis awal) atau kondisi awal cadangan karbon sebelum proyek dimulai. C-stock Hutan terdiri dari enam karbon pool, yaitu above ground (batang, cabang, daun), below ground (akar), tumbuhan bawah, serasah, nekromash dan tanah.
Dalam rangka pendugaan C-stock ini dapat digunakan pendekatan biomassa dimana 40%-50% dari biomassa tersebut adalah karbon (Brown, 1997). Secara rinci metode yang digunakan dalam menduga C-stock berbagai komponen dalam hutan dapat diuraikan sebagai berikut :
Pada tahap pertama dilakukan pembuatan plot ukuran 20mx20m sebanyak 3 ulangan (Gbr. 2), didalamnya dibuat sub plot dengan ukuran 5mx5m dan 1m x 1m masing – masing sebanyak 5 ulangan (Gbr. 1). Pada penelitian ini plot I terletak pada koordinat 01o00’43” LS, 116o51’25,5” BT, plot II terletak pada koordinat 01o00’44,4” LS, 116o51’23,2” BT dan plot III terletak pada koordinat 01o00’47,2” LS, 116o51’23,2” BT. Selanjutnya dilakukan pengambilan data primer dengan melakukan sensus di seluruh plot meliputi identifikasi jenis tumbuhan bawah, pancang dan pohon serta pengukuran diameter batang.
Guna mendapatkan sebaran diameter, maka pada plot 20mx20m dilakukan sensus pengukuran diameter batang pohon (D>10cm) sedangkan pada sub plot 5mx5m dilakukan sensus pengukuran diameter batang untuk pancang (D<10cm). Pada sub plot 1m x 1m dilakukan pengamatan vegetasi bawah, nekromash, ceraza dan tanah.
Setelah mendapatkan gambaran komposisi vegetasi dan sebaran diameter maka dipilih 63 pohon contoh secara purposif yang diharapkan dapat mewakili ketersebaran diameter dan jenis yang ada di lokasi. Kemudian dilakukan pengukuran diameter pohon setinggi dada (1,3 m di atas permukaan tanah) dengan menggunakan pita ukur dan tinggi pohon pada saat pohon berdiri. Selanjutnya dilakukan penghitungan biomassa dengan menggunakan metode destructive sampling, yaitu melakukan penebangan kemudian penimbangan berat basah secara langsung pada tiap bagian komponen vegetasi (daun, cabang, batang dan akar) dan mengkonversinya menjadi berat kering (biomassa) menggunakan berat kering tiap contoh bagian vegetasi pada tiap pohon contoh. Contoh daun diambil sebanyak ±100 gr sedangkan contoh bagian cabang, batang dan akar jika memungkinkan diambil contoh dengan ukuran ± 2 cm x 2 cm x 2 cm pada bagian pangkal, tengah dan ujung. Biomassa yang diperoleh dari pohon contoh ini selanjutnya dikembangkan untuk menyusun persamaan alometrik. Persamaan alometrik yang diperoleh nantinya dapat digunakan untuk menghitung biomassa suatu tegakan hutan sekunder.
Adapun tahapan-tahapan yang dapat dilakukan adalah melakukan pembersihan areal di sekitar pohon contoh dan penebangan. Selanjutnya dilakukan pemisahan bagian-bagian pohon (daun, cabang, batang dan akar).
- Daun : Guna Penghitungan biomassa daun pohon contoh maka pada setiap pohon contoh yang telah ditebang dikumpulkan keseluruhan daun tersebut kemudian dilakukan penimbangan berat basah, selanjutnya diambil sampel sebanyak ±100 gr untuk penghitungan berat kering.
- Cabang : Pada setiap pohon contoh dipisahkan bagian cabang dari batang utama, dikumpulkan kemudian ditimbang berat basahnya. Setelah dilakukan penimbangan berat basah, diambil contoh pada bagian pangkal, tengah dan ujung cabang pada seluruh contoh guna penghitungan berat kering di laboratorium.
- Batang : Pada setiap batang utama dipotong-potong untuk memudahkan penimbangan berat basah serta dipisahkan batang utama bebas cabang dan setelah cabang. Setelah dilakukan penimbangan berat basah keseluruhan batang utama, diambil contoh batang pada bagian pangkal, tengah dan ujung cabang untuk penghitungan berta kering di laboratorium.
- Akar : Untuk memudahkan pengambilan akar maka sebelum pohon ditebang dilakukan penggalian akar-akar yang besar sehingga saat pohon rebah akar akan terangkat. Setelah itu keseluruhan akar dikumpulkan kemudian dilakukan penimbangan berat basah. Untuk penghitungan berat kering yang dilakukan di laboratorium maka diambil sampel pada bagian pangkal, tengah dan ujung akar.
Pada petak 1m x 1m (15 petak) dilakukan pembabatan tumbuhan bawah kemudian dikumpulkan dan ditimbang berat basahnya Begitupun juga dengan serasah, serasah yang terdapat dalam petak 1m x 1m (15 petak) dikumpulkan dan ditimbang berat basahnya kemudian diambil contoh sebanyak ± 100 gr untuk pengukuran berat kering contoh.
Nekromash merupakan kayu-kayu yang telah lapuk, nekromash ini juga merupakan salah satu komponen didalam hutan yang mempunyai potensi sebagai penyimpan karbon. Untuk pengambilan sample nekromash dilakukan pada petak ukur 2 x 2m pada tiap plot sebanyak 5 ulangan. Keseluruhan nekromash yang terdapat dalam petak ukur dikumpulkan kemudian ditimbang berat basahnya, setelah itu diambil sampel sebanyak kurang lebih ±100 gr untuk penghitungan berat kering di laboratorium.
Untuk perhitungan karbon tanah diambil contoh tanah pada tiap plot sebanyak 4 ulangan pada 5 tingkat kedalaman, yaitu : 0-5 cm, 5-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-50 cm. Dimana pada tiap contoh tanah ini dilakukan pengukuran berat tanah, volume dan kandungan karbon tanah.
Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa komposisi vegetasi di lokasi dicirikan oleh 69 jenis vegetasi, 61 marga dan 37 suku pada berbagai tingkat yaitu tumbuhan bawah, Semai, Pancang dan Pohon. Beberapa jenis tumbuhan ini menjadi ciri khas hutan sekunder yaitu sebagai tumbuhan pioner seperti jenis Macaranga sp., Mallotus sp., Trema sp., Melastoma sp. dan Leea sp. Beberapa jenis pioner ini juga dijumpai dalam penelitian komposisi dan struktur vegetasi hutan bekas terbakar di Wanariset Samboja Kalimantan Timur oleh Saridan dan Tangketasik (1987). Struktur vegetasi pada lokasi ini merupakan vegetasi muda dengan diameter kecil dimana secara umum semakin besar diameter suatu vegetasi jumlahnya akan semakin menurun seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah pohon Pada Tiap Kelas Diameter di Plot Penelitian
Persamaan alometrik ini digunakan untuk menduga biomassa total vegetasi tingkat pancang dan pohon atau vegetasi dengan kriteria tinggi > 1,5 m. Persamaan alometrik penduga biomassa di lokasi ini disusun dari 63 vegetasi contoh tingkat pancang dan pohon berdasarkan adanya hubungan peubah dimensi pohon (diameter dan Biomassa). Dari hasil analisa pemilihan model terbaik, pada lokasi ini dihasilkan persamaan alometrik biomassa terpilih seperti terlihat pada Tabel 2.
Plot
|
Kelas Diameter (cm)
| |||||||||||
<2
|
2-
<4
|
4-
<6
|
6-
<8
|
8-
<10
|
10-
<12
|
12-
<14
|
14-
<16
|
16-
<18
|
20-
<22
|
24-
<26
|
>30
| |
I
|
38
|
30
|
10
|
3
|
5
|
9
|
6
|
2
|
1
| |||
II
|
45
|
39
|
12
|
1
|
1
|
1
|
3
|
1
|
1
|
2
|
1
|
1
|
III
|
31
|
31
|
14
|
2
|
5
|
2
|
2
|
1
| ||||
Jumlah (Ind)
|
114
|
100
|
36
|
4
|
8
|
15
|
11
|
5
|
1
|
4
|
1
|
1
|
Kerapatan
(Ind/ha)
|
3040
|
2667
|
960
|
107
|
213
|
125
|
92
|
42
|
8
|
33
|
8
|
8
|
Tabel 2. Persamaan Biomassa Terpilih
Biomassa
|
Persamaan Alometrik
|
R-sq
|
s
|
PRESS
|
Biomassa Daun
|
Bdaun = 0.0263027D1.79
|
65.5%
|
0.3978
|
10.2397
|
Biomassa Cabang
|
Bcab = 0.0165959D2.44
|
83.0%
|
0.3392
|
7.37279
|
Biomassa Batang
|
Bbtg = 0.0977237D2.20
|
94.9%
|
0.1557
|
1.57058
|
Biomassa Akar
|
Bakar = 0.0457088D1.98
|
86.7%
|
0.2372
|
3.65184
|
Biomassa Total
|
Btot = 0.199986D2.14
|
93.4%
|
0.1741
|
1.95678
|
Keterangan : D (diameter setinggi dada), Bdaun (biomassa daun), Bcab (biomassa cabang) Bbtg (biomassa batang), Bakar (biomassa akar), Btot (biomassa total).
Dari Tabel 2. menunjukkan bahwa persamaan alometrik yang dihasilkan untuk menduga biomassa tiap bagian pohon merupakan bentuk power function (Y=aDb) dimana Y= biomassa, D=diameter yang diukur setinggi dada, a dan b=konstanta. Bentuk persamaan ini juga telah digunakan oleh Brown untuk menduga biomassa pohon di hutan alam primer daerah kering, lembab dan basah (Brown, 1997). Dari perbandingan persamaan biomassa total hasil penelitian dengan persamaan Brown pada daerah lembab dan basah (B = 0.118D2.53 dan B = 0.092D2.60) dengan menggunakan uji t setelah ditransformasi kedalam persamaan linear didapatkan bahwa persamaan biomassa total dalam penelitian dan persamaan Brown mempunyai nilai intersep dan slope yang berbeda nyata. Nilai slope garis persamaan regresi pada persamaan yang dihasilkan untuk menduga kandungan biomassa pada hutan sekunder bekas kebakaran lebih kecil dibandingkan persamaan Brown (1997) di hutan alam primer. Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan biomassa hutan sekunder akan menghasilkan biomassa yang lebih kecil dibandingkan hutan alam primer terutama pada vegetasi berdiameter besar. Kecilnya biomassa pada hutan sekunder karena diakibatkan kebakaran dan pembalakan sehingga menyebabkan sebagian biomassa hilang.
Kandungan Karbon (C-stock) dihitung dengan menggunakan pendekatan biomassa dengan asumsi 50 % dari biomassa adalah karbon yang tersimpan. Diperoleh hasil bahwa C-stock hutan sekunder dari berbagai karbon pool seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. C-stock Hutan Sekunder Bekas Kebakaran 1997/1998 di PT. Inhutani I Batuampar, Kalimantan Timur.
Karbon pool
|
Total Biomassa
(Ton/Ha)
|
C-org
(%)
|
Total C-stock
(Ton/Ha)
|
- Pohon
Bagian atas
Daun
Cabang
Batang
Bagian bawah
Akar
|
36.82632
30.69506
2.35312
6.6469
21.69504
6.13126
6.13126
|
50 (est)
50 (est)
50 (est)
50 (est)
50 (est)
50 (est)
50 (est)
|
18.41316
15.34753
1.17656
3.32345
10.84752
3.06563
3.06563
|
Tumbuhan bawah
|
2.423879
|
50 (est)
|
1.21194
|
Serasah
|
3.768549
|
50 (est)
|
1.870885
|
Nekromash
|
22.63489
|
50 (est)
|
11.31744
|
Soil
0-5 cm (BD=1.106 gr/cm3)
5-10 cm (BD=1.252 gr/cm3)
10-20 cm (BD=1.286 gr/cm3)
20-30 cm (BD=1.331 gr/cm3)
30-50 cm (BD=1.345 gr/cm3)
|
2.450
1.212
0.833
0.667
0.593
|
56.728
13.524
7.569
10.694
8.921
16.020
| |
TOTAL
|
89.541425
|
dari Tabel 3 dalam kaitannya dengan karbon yang tersimpan pada komponen pohon, dapat dilihat bahwa kandungan karbon terbesar terdapat pada bagian batang yaitu sebesar 10.84752 ton/ha (58.91%). Hal ini karena sebagian besar hasil fotosintesis disimpan pada bagian batang untuk pertumbuhan baik horisontal maupun vertikal. Total kandungan karbon vegetasi hutan sekunder pada tingkat pancang dan pohon di lokasi penelitian sebesar 18.41316 ton/ha. Nilai dugaan ini lebih kecil dibandingkan karbon stock yang terdapat pada Hutan Primer di Kalimantan Timur, dimana sebuah penelitian di hutan primer di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa total biomassa tegakan hutan primer sekitar 492 ton/ha (Ruhiyat, 1995) dengan asumsi 50% biomassa adalah C-stock maka C-stock pada hutan primer di Kalimantan Timur tersebut adalah 246 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian kebakaran telah menyebabkan banyak karbon terlepas dan berpotensi meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer.
Total C-stock pada Hutan Sekunder bekas kebakaran dan pembalakan pada plot penelitian ini sebesar 89.541425 Ton/ha. Komponen C-stock pada nekromash di lokasi ini mempunyai nilai yang cukup besar hal ini dikarenakan lokasinya merupakan areal bekas kebakaran dan pembalakan sehingga banyak ditemukan batang, cabang dan tunggak pohon yang telah mati dan mengalami proses pelapukan. Persentase C-stock pada berbagai komponen hutan sekunder dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar.
PENUTUP
Perdagangan Karbon merupakan sebuah paradigma baru dalam upaya pemanfaatan hutan selain kayu dimana hutan mempunyai jasa lingkungan sebagai penyerap karbon. Dalam rangka pemasaran jasa lingkungan ini perlu dilakukan kuantifikasi besar karbon yang mampu diserap dan disimpan (C-stock) oleh Hutan. Pada Hutan Sekunder bekas Kebakaran 1997/1998 di PT. Inhutani I Batuampar, diperoleh nilai C-stock pada berbagai komponen karbon pool sebesar 89.541425 Ton/ha. Selain informasi kandungan karbon tersebut dihasilkan juga persamaan alometrik yang dapat digunakan untuk menduga Biomassa pohon, yaitu Biomassa daun (Bdaun)= 0.0263027D1.79 , Biomassa cabang (Bcab)= 0.0165959D2.44, Biomassa batang (Bbtg)= 0.0977237D2.20, Biomassa akar(Bakar)= 0.0457088D1.98, Biomassa total : (Btot)= 0.199986D2.14 dimana D adalah diameter setinggi dada.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A Primer. FAO. Forestry Paper No. 134. F AO, USA
IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. 2003. Good Practicece Guidance for Land Use, Land Use Change and Forestry. Technical Support Unit IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme, Institute for Global Environmental Strategies. Hayama.
Kyrklund, B. 1990. The Potential of Forests and Forest Industry in Reducing Excess Atmospheric Carbon Dioxide. Unasylva 163. Vol 41. FAO
Ruhiyat, D. 1995. Estimasi Biomassa Tegakan Hutan Tropis di Kalimantan Timur. Lokakarya Inventarisasi Emisi dan Rosot Gas Rumah Kaca. Bogor 4-5 Agustus 1995
Saridan, A & Tangketasik, J. 1987. Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Bekas Terbakar dan Tidak Terbakar di Wanariset Samboja. Jurnal Penelitian Hutan Tropika Samarinda, Wanatrop Volume 2 No 2. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda.
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar