Bangau bluwok, salah satu penghuni lahan basah yang semakin terjepit
akibat pembangunan yang minim wawasan lingkungan. Foto: Asep Ayat/Burung
Indonesia
Tanggal 2 Februari diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia
(World Wetlands Day). Lahan basah adalah kawasan yang sangat penting
bagi keseimbangan ekosistem di dunia.
Manfaat langsung dari lahan basah bagi kehidupan dapat kita lihat di
pesisir pantai. Mangrove dan terumbu karang dapat mencegah abrasi air
laut. Jika wilayah pesisir pantai rusak maka resapan air laut akan masuk
ke lahan pertanian sehingga dapat merusaknya. Jika air laut meresap ke
wilayah pemukiman maka air sumur penduduk akan berubah menjadi asin.
Terjadi proses fisika-kimia dan biologi di suatu ekosistem. Yaitu
pergerakan air melalui lahan basah ke sungai atau laut, pembusukan bahan
organik, pelepasan unsur nitrogen, sulfur, dan karbon ke atmosfir,
pengambilan unsur hara, sedimen dan bahan organik dari air ke dalam
lahan basah, dan pertumbuhan serta perkembangan seluruh organisme yang
memerlukan lahan basah untuk kehidupannya.
Memelihara lahan basah pesisir akan mendukung fungsi ekologi, karena
lahan basah itu akan menahan sedimen darat yang dapat mencemari laut.
Hal ini menjadi faktor yang sangat signifikan bagi manusia, dan berbagai
jenis spesies yang hidup di lahan basah, terutama berbagai jenis
burung. Salah satunya adalah bangau bluwok (Mycteria cinerea)
Bangau bluwok (Mycteria cinerea) merupakan burung air yang
populasinya relatif sedikit dengan perkembangbiakan lambat. Habitat
alami burung berukuran 92 cm ini adalah daerah berlumpur dan rawa. Ia
tidak bisa pindah ke sembarang tempat karena hidupnya memang tergantung
pada lahan basah. Di daerah peralihan antara daratan dengan perairan
yang tanahnya selalu digenangi air ini ia mencari ikan atau binatang
kecil sambil berjalan perlahan.
Di Indonesia, persebarannya hanya ada di Sumatera, Jawa, Bali,
Sumbawa dan Sulawesi. Koloni berbiaknya pernah diketahui berada di
pesisir timur Sumatera Selatan dan Pulau Rambut. Di beberapa tempat di
Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak ada tanda berbiak, sementara statusnya
di Sumbawa dan Sulawesi, tidak diketahui dengan pasti. Kemungkinan hanya
sebagai pengunjung tidak tetap di Sumbawa dan berbiak di Sulawesi.
Dwi Mulyawati, Bird Conservation Officer Burung Indonesia,
menuturkan bahwa kebiasaan bangau bluwok adalah hidup sendiri atau dalam
kelompok kecil di dekat pantai. Burung berparuh kuning panjang ini juga
sering bergabung dengan cangak dan jenis bangau lainnya. Ciri utamanya
adalah memiliki kulit muka tanpa bulu berwarna merah jambu hingga merah.
Menurut Dwi, menyusutnya lahan basah membuat burung yang terkadang
melayang tinggi di angkasa ini resah. Alih fungsi lahan menjadi kawasan
pertanian, permukiman dan ditambah perburuan membuat jumlahnya
berkurang. Diperkirakan, populasi globalnya saat ini hanya sekitar 3.300
individu dewasa. Untuk Sumatera, ditaksir hanya sekitar 1.450 individu
sedangkan di Jawa diperkirakan hanya tersisa 400 ekor. Di Malaysia dan
Kamboja, secara berurutan jumlahnya hanya 10 ekor dan 20-30 ekor saja.
Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkannya dalam status Rentan (Vulnerable/VU) dan digolongkan terancam punah secara global. Statusnya juga tercantum dalam Appendiks I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora)
yang berarti secara internasional tidak boleh diperdagangkan. Dari sisi
Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa, jenis ini termasuk satwa yang dilindungi.
Bangau bluwok pantas gusar karena hidupnya tercekam di lahan basah.
Padahal, Indonesia memiliki luas lahan basah sekitar 40 juta hektar.
“Sepatutnya, pembangunan dan pengelolaan lingkungan tidak hanya
dipandang dari segi ekonomi tetapi juga dari kacamata kelestarian
lingkungan” pungkas Dwi.
Source : link