Saat yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba ketika kami mendapatkan
kepastian waktu bertemu dengan Presiden Republik Indonesia, Dr. H.
Susilo Bambang Yudhoyono. Selama hampir lima tahun ketika Greenpeace
memulai kampanye nasional dan global untuk menghentikan penghancuran
hutan di Indonesia dan menyelamatkan hutan alam –habitat satwa langka
yang nyaris punah dan sumber penghidupan jutaan orang yang
menggantungkan hidupnya pada hutan, kami terus berusaha meminta waktu
untuk dapat bertemu dengan pemimpin negara yang berperan sangat penting
tidak hanya dalam konteks politik-ekonomi global, namun juga merupakan
salah satu benteng pertahanan terakhir melawan pemburukan perubahan
iklim.
Perubahan iklim bukan lagi suatu hal yang diperdebatkan. Di Indonesia
sendiri dalam beberapa tahun terakhir kita mengalami berbagai gejala
yang menunjukkan bahwa perubahan iklim sedang terjadi – cuaca ekstrim,
pegeseran musim yang semakin tidak menentu adalah beberapa contoh gejala
yang menyebabkan jutaan warga petani dan nelayan kecil yang
menggantungkan mata pencahariannya pada musim menjadi terganggu
kehidupannya. Sangat jelas bagaimana dampak perubahan iklim yang paling
buruk akan diderita oleh kelompok-kelompok masyarakat yang paling
marjinal. Perubahan iklim akan membawa masyarakat miskin terperosok
semakin dalam.
Irosnisnya, Indonesia juga ikut menyumbang pada perubahan iklim
akibat masifnya deforestasi dan pembakaran hutan, terutama yang terjadi
di lahan gambut. Pemerintah Indonesia sendiri mengakui peran
deforestasi Indonesia ini dalam laporan yang resmi yang disampaikan
kepada PBB menjelang Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perubahan
Iklim di tahun 2007.
Ketika di akhir tahun 2007 Indonesia menjadi tuan rumah KTT PBB
tentang Perubahan Iklim, Konferensi ini berhasil melahirkan suatu peta
jalan yang disebut Bali Roadmap yang seharusnya bisa menjadi
panduan negara-negara dalam merumuskan tindakan dalam memerangi
perubahan iklim setelah periode Protokol Kyoto –yang mengatur tanggung
jawab negara-negara dalam penurunan emisi gas rumah kaca, berakhir di
tahun 2012 ini. Output yang cukup signifikan ini tentu saja tidak lepas
dari keterlibatan pemerintah Indonesia yang sebagai tuan rumah memegang
peranan penting dalam memfasilitasi proses negosiasi yang cukup alot,
terutama karena kekeraskepalaan negosiator negara-negara industri yang
tetap berusaha berkelit dari tanggung jawab penurunan emisinya.
Kepemimpinan Indonesia dalam upaya memerangi perubahan iklim kembali
ditunjukkan di tahun 2009 ketika Presiden SBY membuat komitmen penurunan
emisi gas rumah kaca sebesar 26% dari Business as Usual di
tahun 2020, atau sebesar 41% dengan bantuan internasional. Komitmen ini
adalah suatu langkah progresif dari pemimpin negara berkembang -- yang
sesungguhnya tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi berdasarkan rejim
Protokol Kyoto, namun tidak akan dapat menghindar dari dampak perubahan
iklim ketika tidak ada tindakan penurunan emisi yang dilakukan sama
sekali.
Komitmen tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan mengeluarkan
Peraturan Presiden di tahun 2011 tentang penghentian sementara
(moratorium) ijin-ijin konsesi baru dan pembukaan hutan alam dan
gambut. Walaupun moratorium yang ada pada saat ini masih lemah karena
hanya mensasar ijin-ijin baru dan tidak melakukan peninjauan ijin-ijin
lama yang bermasalah seperti yang direkomendasikan oleh Greenpeace,
namun ditetapkannya kebijakan moratorium sendiri merupakan suatu
terobosan luar biasa yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah sejak tahun 2007
menunjukkan jejak yang cukup positif yang perlu terus dikawal dan
diperkuat, jika memang pemerintahan Presiden SBY benar-benar
menginginkan adanya perubahan tata kelola sumber daya alam yang lebih
baik di Indonesia.
Kita berada di kapal yang sama
Ketika Presiden membuka pertemuan dengan pernyataan,”Pemerintah
Indonesia dan Greenpeace berada dalam satu kapal yang berlayar menuju
satu tujuan yang sama” delegasi Greenpeace yang terdiri dari Direktur
Eksekutif Greenpeace Internasional Kumi Naidoo, Direktur Eksekutif
Greenpeace Asia Tenggara Von Hernandez, Koordinator Kampanye Hutan
Global untuk Indonesia Bustar Maitar, serta saya sendiri, cukup
terhenyak karena Presiden membuka pertemuan dengan suatu ekspresi yang
positif.
Bukan menjadi rahasia bahwa Greenpeace kerap mengkritisi
kebijakan-kebijakan pemerintah, mendesak pemerintah untuk menindak
pelaku perusakan lingkungan, dan melakukan aksi-aksi yang mengekspose
pemerintah. Namun semua itu dilakukan Greenpeace agar pemerintah
benar-benar konsisten dengan janji-janji yang telah dinyatakannya, dan
demi penegakan hukum serta perbaikan tata kelola pemerintahan yang lebih
baik di Indonesia, yang kesemuanya ini menjadi prasyarat penting untuk
mewujudkan suatu masa depan yang lebih hijau dan damai di Indonesia.
Selama kurang lebih satu jam, Presiden SBY yang ditemani 4 orang
menterinya, berdiskusi dengan delegasi Greenpeace mengenai berbagai hal.
Dalam kesempatan ini Greenpeace kembali menyatakan dukungan penuh
kepada komitmen Presiden SBY untuk penurunan emisi, yang bukan hanya
penting bagi iklim global, tapi yang lebih utama adalah demi keselamatan
masyarakat Indonesia sendiri yang telah merasakan dampak langsung
perubahan iklim. Greenpeace mengusulkan perpanjangan waktu moratorium
–yang saat ini dibatasi hanya dua tahun, menjadi moratorium yang
berbasis capaian atau hasil.
Greenpeace juga menyampaikan rekomendasi di sektor energi yang disebut Revolusi Energi. Revolusi Energi adalah suatu roadmap yang
menunjukkan arah pengembangan energi yang didasarkan pada efisiensi
energi dan pengembangan energi terbarukan dengan sistem yang
terdesentralisasi. Ketika 35% populasi Indonesia belum terlayani listrik
–dimana sebagian besar tinggal di daerah-daerah terpencil atau di
pulau-pulau terdepan, maka Revolusi Energi adalah jawaban yang tepat,
cepat dan efektif untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Presiden
SBY menyambut baik gagasan dan rekomendasi Greenpeace dan membuka pintu
bagi kerjasama yang lebih erat diantara kedua institusi.
Dalam kesempatan ini Kumi Naidoo juga mengundang Presiden SBY untuk
mengunjungi Kapal Rainbow Warrior yang akan merapat di Rio de Janeiro
dalam Konferensi Bumi pertengahan Juni ini, yang juga akan dihadiri oleh
Presiden SBY. Presiden menyambut baik undangan tersebut dan berjanji
akan mencoba mencari waktu di antara agenda beliau di Rio.
Tak lupa kami juga menyampaikan keinginan kami untuk mendatangkan
kapal legendaris Greenpeace Rainbow Warrior ke Indonesia pada tahun
depan yang direspon oleh Presiden SBY sebagai suatu ide yang sangat baik
dan didukung penuh oleh beliau.
Tak lupa, kami juga meluruskan berbagai pandangan salah yang selama
ini beredar di publik bahwa Greenpeace adalah anti-pembangunan dan
anti-Indonesia. Kami mengkarifikasi hal ini kepada Presiden SBY, dan
menegaskan bahwa Greenpeace tidak lah anti-pembangunan, anti-Indonesia
atau anti-industri. Kami hanya anti pada industri yang dalam operasinya
melakukan tindakan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.
Dalam hal ini pun Presiden SBY sepakat dan menyatakan bahwa Greenpeace
memainkan peran yang sangat penting. Secara eksplisit beliau
menyampaikan bahwa industri juga berkewajiban untuk menjaga lingkungan
dan tidak hanya mencoba mengeruk keuntungan dari sumber daya alam
Indonesia. Presiden mendukung upaya Greenpeace untuk mendorong industri
ke arah produksi yang lebih baik.
Pertemuan kami dengan Presiden SBY merupakan hal yang sangat
positif dan sangat penting. Ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia
mendukung penuh keberadaan Greenpeace di Indonesia, bahkan menginginkan
Greenpeace untuk terus melakukan upaya-upaya yang selama ini telah
dilakukannya.
Source : link
Source : link