Kami sudah tiba di Kalimantan Tengah, Berkali-kali saya mengerjapkan
mata untuk mengusir perih di mata akibat asap yang pekat di atas udara
akibat kebakaran di lahan gambut. Masker sudah bertengger manis di
hidung untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang terjadi. Ya di
Pulang Pisau, kabut asap dan bau yang sangat khas dari lahan gambut yang
terbakar menjadi teman setia kami dalam mengawali perjalanan etape
kedua ini (Kalimantan Tengah). Sepanjang perjalanan, termasuk ketika tim
melewati jembatan Gohong, terdapat titik api tersebar di kiri dan kanan
jalan.
Enggang Borneo dan Harimau tetap gagah melintasi kabut asap, meskipun
mata sedikit nanar menahan perih, namun semangat kami tak pernah surut
demi terciptanya keadilan bagi alam dan lingkungan. Kebakaran yang
terjadi di lahan gambut akan sangat sulit dipadamkan, karena sifatnya
yang asam dan bara api yang berada di dasar gambut. Tingkat keasamannya
yang tinggi juga membuat asap yang timbul akibat kebakaran berbau cukup
menyengat. Tak heran jika menengok saat terjadi kebakaran besar-besaran
di era ‘98-‘99, kabut asap menyelimuti hingga negara tetangga Malaysia
dan Singapura. Tak ada lagi kenyamanan yang ditawarkan jika asap sedang
menyelimuti bumi Kalimantan. Masker adalah andalan utama bagi masyarakat
termasuk anak sekolah agar bisa melanjutkan aktivitas.
Beranjak dari Pulang Pisau, Enggang dan Harimau semakin melaju ke
dalam menuju perbatasan Taman Nasional Sebangau. Hal pertama yang
terlintas dalam benak saya ketika mendengar kata taman nasional, adalah
hamparan hutan yang hijau nan indah. Namun, harapan itu pupus, karena
yang terlihat justru malah sebaliknya. Ada pengerukan kanal seluas 9 KM
dengan kedalaman 7 m di lahan gambut Desa Sampangen, Katingan. Kanal
yang dikeruk itu tepat melubangi batas wilayah Taman Nasional Sebangau
yang masuk ke dalam peta indikatif moratorium.
Belum lagi selamat dari ancaman kebakaran hutan dan pengerukan kanal
di lahan gambut, hutan Kalimantan seperti tak ada habisnya kedatangan
mimpi buruk. Seolah-olah hutan dan lahan gambut tak berarti apa-apa
dibandingkan dengan investasi yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat.
Konversi hutan menjadi perkebunan sawit skala besar, menjadi ancaman
yang tak kalah mengerikan bagi hutan serta masyarakat yang tinggal di
sekitarnya.
Desa Bangkal adalah satu di antara desa yang saat ini berada dalam
keterancaman karena dikelilingi sembilan perusahaan sawit. Tidak
berhenti sampai disitu, konsesi sawit yang telah merenggut hutan dari
masyarakat desa, juga turut berkontribusi pada pencemaran Danau Sembuluh
yang merupakan sumber utama mata pencaharian perekonomian dan
ketersediaan air bagi warga.
Danau Sembuluh merupakan populasi ikan air tawar terbesar di
Kalimantan tengah yang saat ini sudah terancam akibat operasi perusahaan
sawit yang tidak berkelanjutan. Setidaknya ada tujuh desa yang
menggantungkan kehidupan mereka pada ekosistem Danau Sembuluh.
Source : link
Source : link