Peneliti Undip Semarang saat memeriksa reaktor biogas pertama di lahan
gambut di Desa Teluk Meranti, Pelalawan, Riau. Foto: Zamzami
Desmidarti (47) warga Teluk Meranti tersenyum sumringah ketika
pertama kali merasakan kerupuk yang digorengnya dengan menggunakan gas
dari kotoran sapi. Satu bulan terakhir, Ketua Kelompok Perempuan Suka
Maju Teluk Meranti ini disibukkan dengan kegiatan rapat, persiapan
membangun reaktor biogas dan tentu saja mengangkat kotoran sapi.
Akhirnya jerih payah Desmidarti bersama puluhan ibu anggota kelompok
perempuan ini terbayar sudah. Tanggal 30 Januari ini, biogas yang
diperkirakan pertama kali dibangun di atas lahan bergambut resmi
beroperasi. Api berwarna biru langsung tersulut dan siap digunakan untuk
kebutuhan rumah tangga.
“Ini semua untuk membantu ekonomi keluarga di sini. Biaya gas dan
minyak tanah yang biasanya kami keluarkan per bulan, kini sudah tak
lagi. Gas ini kami kelola secara berkelompok. Memang masih banyak yang
harus kami pelajari bagaimana reaktor ini terus berfungsi jika konsultan
itu tak lagi di sini,” ujar Desmidarti kepada Mongabay Indonesia akhir
pekan lalu.
Kelompok Perempuan Suka Maju ini sendiri adalah kaum ibu yang
diorganisir sejumlah LSM di Riau. Sebelumnya, mereka sudah memiliki
tanah kelompok yang ditanam berbagai tanaman dan sayuran organik seperti
cabe, sayuran dan jagung.”Reaktor ini makin membantu kami untuk lebih
mandiri,” katanya.
Reaktor Biogas Teluk Meranti ini sendiri dibangun masyarakat Teluk Meranti dan LSM Institute Social and Economic Change (ISEC) atas pendanaan EEP (Energy Environment Partnership – Indonesia)
dari kerjasama kemitraan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Finlandia. Sementara konsultan ahlinya adalah tim peneliti dari
Universitas Diponegoro, Semarang.
Direktur ISEC Riau, Rini Ramadhanti, mengatakan proyek energi
terbarukan ini akan dibangun sebanyak 4 unit di Teluk Meranti dan satu
unit di Kalimantan. Ia mengakui, pada awalnya tidaklah mudah
memperkenalkan biogas kepada masyarakat. Mereka masih menganggap jijik
karena ini adalah kotoran sapi dan takut ada ledakan dari reaktor. Tapi
setelah berdiskusi beberapa kali, mereka paham dan tahu manfaatnya.
“Ini adalah inisiatif energi yang ramah lingkungan. Dikelola sendiri
oleh masyarakat dan tentu mengurangi biaya rumah tangga mereka. Kita
hanya memberikan pendampingan. Bahkan mereka sudah punya aturan internal
bagaimana mengelolanya,” kata Rini.
Reaktor ini sendiri berkapasitas 8 meter kubik dan diklaim sebagai
yang pertama kali dibangun di lahan gambut. Menurut Dr M Djaeni,
konsultan ISEC dari UNDIP, membangun reaktor biogas di lahan gambut
merupakan tantangan tersendiri. Kondisi gambut yang padat air dan tidak
adanya tanah padat membuat peneliti memodifikasi bangunan reaktor.
Selain itu tantangan juga ada pada sumber air yang akan digunakan untuk
mengoptimalkan terciptanya gas. Karena tingkat keasaman air gambut
sangat tinggi.
“Untuk membangun pit dome, kita butuh pondisi yang kuat.
Setiap kita gali, air terus mengalir ke lubang. Sekarang di bawah itu
kita pakai cerocok, kayu yang ditanamkan dengan formasi yang kuat. Lalu
kita blok pakai kayu, baru dicor semen. Kalau di tanah biasa, paket
reaktor ini sebenarnya sudah banyak dijual di pasar. Tapi ini beda dan
biayanya dua kali lipat,” kata Djaeni akhir pekan lalu di Teluk Meranti.
Kapasitas 8 meter kubik reaktor itu menghasilkan 4 meter kubik gas
siap dipanen per hari yang mampu menghidupkan 400 watt lampu selama 4
jam dan kompor gas untuk 3 atau 4 rumah tangga kecil. Meski demikian,
idealnya keberlangsungan reaktor itu tergantung pada pasokan kotoran
sapi 8 ekor.
“Jika 1 ekor sapi per harinya menghasilkan 20-30 kilogram kotoran
basah atau 5 kg kotoran kering, maka gas yang dihasilkan sebanyak 0,5
meter kubik. Maka untuk menghasilkan 1 meter kubik gas, dibutuhkan 2
ekor sapi,” tambah Djaeni.
Ketersediaan kotoran sapi memang menjadi tantangan yang mungkin
muncul di masa mendatang. Sebab di Teluk Meranti sendiri meski banyak
sapi, namun kebiasaan peternak lebih banyak melepasliarkannya
dibandingkan mengkandangkannya. Sehingga sulit mengumpulkan kotoran.
“Jika pasokan kotoran sapi sudah stabil, nantinya bisa menggunakan
sampah-sampah organik sebagai solusi kurangnya pasokan kotoran sapi. Di
sini banyak sekali sampah organik yang bisa dimanfaatkan. Saya yakin
reaktor ini bisa terus beroperasi. Sementara ketahanannya pada bencana
bisa mencapai 20 tahun,” kata Muhammad Kismutono, anggota tim konsultan.
Source : link