Puncak Gunung Lumut dari Kampung Suku Muluy. Foto: Hendar
Gunung Lumut terletak di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Gunung
yang banyak memiliki cabang-cabang sungai ini, merupakan kawasan Hutan
Lindung atau sering di sebut Hutan Lindung Gunung Lumut. Hutan perawan
di kawasan gunung tersebut merupakan penyangga kehidupan 12 kampung
dikawasan hutan lindung. Salah satunya adalah Kampung Muluy, Desa Swan
Slotung Kabupaten Paser. dimana berdiam Suku Muluy, yakni salah satu
dari 14 suku dayak Paser.
Hutan Lindung Gunung Lumut itu memiliki luasan sekitar 42 ribu hektar
dan puncak tertingginya 1.210 meter di atas permukaan laut (dpl). Namun
dari ketinggian 500 dpl kita sudah dapat melihat lumut menyelimuti hulu
sungai yang keluar dari Gunung Lumut, salah satunya sungai Muluy.
Salah satu Suku Dayak Paser ini bernama Muluy, karena sejak jaman
dahulu berada di pinggiran sungai Muluy, yakni aliran sungai dari Gunung
Lumut. “Awalnya kami mau dipindah sangat jauh dari Gunung Lumut, namun
kami menolak, kami tetap bertahan untuk tetap berada di bawah kaki
Gunung Lumut, karena sejak nenek moyang, kami menjaga kelestarian di
Gunung Lumut,” ungkap Jidan.
Suku Muluy telah berada di kaki Gunung Lumut sejak ratusan tahun yang
lalu. Sebagai layaknya suku dayak, seharusnya Suku Muluy berada di
daerah aliran sungai Muluy. Namun entah kenapa pada tahun 2000, Suku
Muluy berada sekitar 700 meter dari pinggir sungai.
Kehidupan Suku Muluy di sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut sangat
sederhana. Bagi mereka, dengan menjaga kelangsungan alam sekitar maka
alam akan memberikan apa yang dibutuhkan. Suku Muluy sekaligus menjadi
penyangga terakhir Gunung Lumut yang telah ditetapkan sebagai hutan
lindung pada tahun 1996 lalu. Dan Kampung Muluy merupakan salah kampung
yang sangat dekat dengan Gunung Lumut tepatnya di bagian utara Gunung
Lumut.
Keanekaragaman hayati di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut yang
terletak 1200 meter di atas permukaan laut ini sangat luar biasa, belum
lagi mineral yang terkandung di dalamnya. Banyak perusahaan yang
berusaha untuk menaklukan kawasan Gunung Lumut, namun selalu kandas.
“Berapa banyak pengusaha yang masuk ke kampung Muluy untuk sekedar
melakukan lobby agar diperbolehkan untuk mengeksploitasi kawasan Gunung
Lumut, namun kami tidak sama sekali memperbolehkan, karena hutan dan
Gunung Lumut merupakan penghidupan kami,” ujar Bapak Jidan, Kepala Adat
Suku Muluy
Hingga pada tahun 2012 lalu, Bapak Jidan secara adat memutuskan untuk
menutup segala akses ke Gunung Lumut. Keputusan tersebut diambil
seorang kepala adapt, karena ia ingin alam Gunung Lumut tetap terjaga.
Suku Muluy hanya hidup dari hasil pertanian, berburu burung,
perkebunan dan hasil hutan sejak jaman nenek moyang mereka. Hingga kini
banyak nilai kearifan lokal yang masih merekat di Muluy untuk
pelestarian lingkungan.
Masyarakat Muluy masih melakukan ladang berpindah. Namun jangan salah
persepsi, karena berladang itu ada ketentuan, misal membuka ladang,
tidak sembarang buka, mendengar dan melihat ladang. ”Kalau mau membuka
ladang, semua harus melihat alam. Pertama melakukan pertemuan, lalu
ditunjukan tempatnya, sama-sama menentukan dan jangan sembarang buka.
Harus melihat alam, kesalahan manusia akan menhancurkan alam dan
menimbulkan bencana untuk masyarakat Muluy. Saat membuka ladang juga
menggunakan upacara adat.” ungkap Jidan
Ladang yang sudah dibuka dimanfaatkan selama dua tahun, setelah itu
berpindah lagi ketempat lain yang telah ditentukan. Namun ladang
sebelumnya nantinya akan di pergunakan lagi setelah lima tahun, setelah
humus terbentuk. Jadi tidak ada membuka lahan baru, yang ada hanya
memanfaatkan ladang yang terdahulu yang telah ditinggal selama lima
tahun untuk memenuhi humus tanah. Tanaman yang banyak terdapat di ladang
suku Muluy yakni padi, jagung, pisang, sayur.
Bagi suku Muluy, berburu burung untuk dijual merupakan pekerjaan yang
dilakukan suku Muluy, bahkan hingga berhari-hari mereka mencari burung
ke hutan. Burung yang menjadi buruan yakni murai batu. Namun tidak
setiap hari mereka melakukan penangkapan terhadap burung tersebut.
Mereka tetap melakukannya di bulan-bulan tertentu dan hari-hari
tertentu. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian hewan tersebut.
”Kami tidak tiap hari mencari burung, biasanya setelah kami mendapat
burung, pencarian selanjutnya dilakukan beberapa bulan, setelah burung
jenis yang kami tangkap beranak pinak,” ungkap Jidan.
Hasil hutan lain yang menghidupi suku ini adalah gaharu dan madu.
Saat ini suku Muluy telah melakukan pengembangbiakan pohon gaharu di
hutan sekitar kampung. Sementara untuk kayu lainnya, suku Muluy melarang
untuk mengambil, apapun bentuknya. ”Kami melakukan hukum adat untuk
siapapun yang mengambil kayu di hutan lindung dan hutan kawasan kampung
Muluy. Meskipun kayu tersebut digunakan untuk pembangunan desa.
Begitupula dengan pohon Bangris. Pohon ini sangat di jaga, karena di
pohon ini tempat menghasilkan madu, sehingga siapapun yang melakukan
penebangan pohon tersebut terkena hukum adat. Hukumannya harus menganti
sejumlah uang sesuai dengan nilai uang pohon yang di tebang,” ungkap
Jidan
Hingga kini masih banyak pembalakan liar di kawasan pinggiran kampung
Muluy diluar wilayah Muluy, dari hasil pengamatan ekspedisi lalu, kayu
blambangan masih menjadi primadona para pembalak di kawasan terdekat
kampung Muluy. Semua dapat terlihat di pinggir-pinggir jalan banyaknya
kayu blambangan, terutama di desa Swan Slotung. Tanpa penanganan lebih
lanjut dari aparat keamanan dan penegakan hukum yang tegas, kampung
Muluy dan segala kearifan mereka terhadap alam akan musnah tertelan
ekspansi uang yang menghantam
Source : link