Sampah elektronik berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan dan
mengontaminasi lingkungan tanpa penanganan yang benar. Foto: David
Fedele
Asia Pasifik membuang lebih dari setengah sampah elektronik atau
e-waste dari total sampah elektronik dunia, namun hanya 10 persen yang
bisa didaur ulang. Kendati sudah saatnya regulasi soal sampah elektronik
yang lebih ketat diimplementasikan di kawasan ini, namun hal itu masih
terkendala banyak hal. Menurut utusan dari United Nations Environment
Programme (UNEP) Dr. Park Young Woo, sampah elektronik di dunia terus
bertambah sekitar 40% setiap tahun.
Jenis sampah ini meliputi 5% dari sampah solid di seluruh dunia. Jika
tidak dibuang dengan benar, sampah elektronik berpotensi membahayakan
lingkungan dan kesehatan manusia karena mengandung bahan-bahan beracun
seperti merkuri, kadmium dan bahan yang mudah terbakar, yang bisa
mengontaminasi lingkungan, terutama air. Selain itu, penanganan sampah
elektronik yang tidak benar akan berpotensi menimbulkan kanker bagi
manusia, dan berbagai masalah kesehatan lainnya. Utusan dari UNEP
lainnya, Mushtaq Memon, seperti dilansir oleh eco-business.com
menyatakan bahwa masih ada ketidaksinkronan antara regulasi di berbagai
negara dengan implementasi pembuangan sampah elektronik ini.
Menurutnya, tanpa riset dan pengembangan, pandanaan, pengembangan
kapasitas dan transfer ilmu pengetahuan, implementasi regulasi akan
terus terkendala. Sebaliknya, regulasi itu sendiri tidak akan
menyelesaikan masalah sampah elektronik ini.
Namun di satu sisi disepakati bahwa sebenarnya ini adalah salah satu
tanggung jawab utama produsen alat elektronik itu sendiri untuk mengurus
sampah elektronik produk mereka, karena hal ini adalah bagian dari
corporate social responsibility mereka. Terutama terkait dengan umur
pemakaian produk serta desain produk yang bisa diperbarui dan digunakan
ulang (renewable and re-usable).
Pakar dari Melbourne Institute of Applied Economic and Social
Research, Chris Ryan merekomendasikan agar setiap produsen alat
elektronik mengikuti panduan yang dibuat oleh UNEP tentang desain yang
ramah lingkungan. Produk yang berorientasi lingkungan akan menekan
dampak kerusakan lingkungan antara 60 hingga 80%. Terkait hal ini,
edukasi terhadap para pengguna produk elektronik untuk memakai produk
yang lebih ramah lingkungan menjadi sangat penting, dan akan membuat
orang menjadi lebih bertanggung jawab untuk mendaur ulang produk yang
mereka gunakan.
Chris Ryan menambahkan bahwa seiring dengan meningkatnya polusi dan
limbah beracun, fokus terpenting dalam dua dekade mendatang adalah
bagaimana upaya melakukan recovery material dan komponen. Selain untuk mencegah upaya greenwashing
yang masih dilakukan oleh produsen elektronik di berbagai belahan
dunia, pemerintah negara-negara di kawasan Asia Pasifik harus memberikan
akreditasi bagi pelaksanaan corporate social responsibility (CSR)
setiap produsen alat elektronik terkait penanganan limbah atau sampah
eletronik produk mereka. “Menggunakan kembali komponen metal yang sudah
bekas tidak hanya akan menekan kerusakan lingkungan, namun juga
memberikan keuntungan ekonomi dan kesehatan. Ini sebabnya kita harus
serius menangani isu sampah elektronik,” ungkap Dr Park lebih lanjut
kepada eco-business.com.
Source : link