skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Kamis, 14 Februari 2013

Pembalakan Liar, Memperburuk Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, News
 
 Pembalakan liar di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. 
Foto: Rhett A, Butler

Indeks Kualitas Lingkungan Hidup di Indonesia yang tak pernah beranjak ke level yang lebih baik sangat terkait dengan berbagai kasus pelanggaran hukum yang terjadi di tanah air. Bahkan dalam tiga tahun terakhir, Indonesia tidak hanya mengalami kualitas lingkungan hidup yang tidak berkembang, namun bahkan menurun.
Hal ini pernah disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya awal Noember 2012 silam. Balthazar menjelaskan bahwa pada tahun 2009 silam indeks lingkungan hidup berada di angka 50%, angka ini sempat mengalami peningkatan cukup baik hingga 60,69%. Namun sayang, kualitas lingkungan hisup kembali anjlok di tahun 2011 menjadi 60%.
Hal ini disampaikan lagi oleh Menteri Lingkungan Hidup hari Senin 11 Feruari 2013 silam saat membuka Rapat Koordinasi Regional Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Ekoregion Sulawesi-Maluku di Ambon seperti dilansir oleh kantor berita Xinhua, Cina. “Selama ini Indonesia belum pernah bisa mencapai angka 70 atau 80 untuk indeks kualitas lingkungan hidup. Kendati demikian kawasan Sulawesi dan Maluku indeksnya di atas rata-rata nasional,” ungkap Menteri Balthasar.
Seperti dilansir oleh Tribunnews November silam, menurutnya hal ini terkait erat dengan maraknya aktivitas pembalakan liar dengan menerbitkan surat-surat palsu di lapangan. Dia menekankan, pentingnya koordinasi dengan pihak penegak hukum untuk meningkatkan indeks kualitas lingkungan hidup tersebut. Berkurangnya tutupan hutan, lepasnya karbon ke udara, meningkatnya emisi industri dan kendaraan bermotor serta hancurnya hutan mangrove menjadi penyebab utama kualitas udara yang buruk di Indonesia.

Source : link

WWF Desak APRIL Hentikan Penghancuran Hutan Alam

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, News
 
 Deforestasi di kawasan gambut dalam di hutan Kerumutan ini. Hutan gambut yang dilindungi ini telah dikonversi menjadi perkebunan untuk pulpwood oleh perusahaan yang berafiliasi dengan APRIL, PT Sumatera Riang Lestari, Blok Indragiri. Foto: Eyes On The Forest

Pada Selasa(5/2/13) Asia Pulp & Paper (APP) mengumumkan komitmen menghentikan aktivitas pembukaan lahan di hutan  alam dan lahan gambut Indonesia. WWF mendesak, APRIL, induk perusahaan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), memiliki komitmen serupa.
Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia  mengatakan, saat ini,  APRIL merupakan pelaku pembukaan hutan alam terbesar diantara produsen pulp lain di Indonesia. “Kami mendesak perusahaan itu segera mengubah model bisnis mereka yang tidak lestari dan berhenti kegiatan pengeringan lahan gambut dan membuka hutan alam,” katanya dalam pernyataan kepada media, di Jakarta, Rabu(13/2/13).
Dalam laporan Eyes on the Forest, menyebutkan, APRIL merupakan pelaku terbesar untuk perusakan hutan di Riau. Perusahaan ini menebang sedikitnya 140.000 hektar hutan tropis, sebagian besar terletak di lahan gambut pada 2008 dan 2011. Dalam periode itu,  APRIL bertanggung jawab atas hilangnya hampir sepertiga hutan alam di Riau.
Meskipun telah beroperasi selama 17 tahun dan memiliki konsesi atas  10 persen wilayah daratan Riau, perusahaan ini masih bergantung pada hutan tropis. “Setelah penghancuran hutan di Riau, kini APRIL memperluas operasi di Borneo,” ujar dia.
Setelah 2009, komitmen-komitmen publik yang dibuat APRIL dalam mempertahankan hutan dan tidak menggunakan kayu alam hanya sebatas pencitraan atau greenwash. Di Riau, APRIL mengambil kayu alam dari konsesi, yang menurut kriteria  UU Tata Ruang sebagai kawasan hutan lindung.
Sistem kerja perusahaan ini,  menyebabkan konflik serius dengan masyarakat lokal, terutama hilangnya kepemilikan hutan dan lahan adat masyarakat, dan degradasi sumber daya alam.“Dua pertiga area konsesi yang memasok perusahaan ini di Riau terletak di lahan gambut, lalu menjadi terdegadrasi, kering dan terdekomposisi. Ini menghasilkan emisi gas rumah kaca secara konstan.”
Untuk itu, WWF menyerukan APRIL berhenti merusak hutan tropis, menyelesaikan konflik-konflik sosial. “Lalu memulihkan hutan dan lahan gambut yang telah mereka rusak”, kata Aditya Bayunanda, Manajer GFTN dan kertas & pulp WWF-Indonesia. WWF juga mendesak perusahaan-perusahaan menghindari hubungan dengan praktik bisnis APRIL dan perusahaan-perusahaan terkait.

Source : link

Data Deforestasi RI Meragukan, Metodologi Dipertanyakan

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, News
 
 Kondisi hutan gambut yang dihancurkan untuk perkebunan sawit. Dalam perhitungan Kemenhut pohon-pohon hutan yang ditebang dan menjadi hutan tanaman lagi tidak masuk deforestasi. “Kalo dihitung deforestasi ga fair dong, kan ada pohon. Nanti ga tepat hitung karbonnya,” kata Dr Yetti Rusli, Staf Ahli bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kemenhut. Nah, bagaimana jika hutan dibabat dan ditanam pohon sawit? Apakah bukan deforestasi juga? Foto: Zamzami

Data terakhir deforestasi Indonesia, 2009-2011 yang dirilis Kementerian Kehutanan (Kemenhut), cukup rendah, 450 ribu hektar per tahun. Angka ini termasuk hasil memasukkan hutan tanaman ke dalam perhitungan deforestasi. Namun, angka ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan. Benarkah sebesar itu? Bagaimana metodologi perhitungannya?
Untuk itu, pada 7-8 Februari 2013, Satgas REDD dan Kemenhut pun bertemu dengan sekitar 50 an pakar dan pemerhati kehutanan di Jakarta. Pertemuan ini, membahas dan memberikan masukan mengenai metodologi perhitungan deforestasi Indonesia, yang masuk akal dan kuat.
Para pakar dari berbagai negara, seperti Brazil, Inggris dan Amerika Serikat, hadir. Mereka sangat antusias berbagi pengalaman dalam berbagai pendekatan dan metodologi untuk perhitungan deforestasi.
“Ada perbedaan perhitungkan deforestasi antara Brazil dan Indonesia. Kalau kami, deforestasi itu semua hutan alam yang hilang dan ditebang, termasuk untuk perkebunan dihitung deforestasi. Di Indonesia, hutan alam ditebang jadi kebun kayu bukan masuk deforestasi,” kata  Tasso Azevedo, mantan Kepala Badan Kehutanan Brazil, usai diskusi Menuju Metodologi Perhitungan Deforestasi yang Kuat, di Jakarta, Jumat (8/2/13)
Azevedo mengatakan, dengan metodologi seperti itu, data deforestasi bisa berubah-ubah dengan cepat. Dia mencontohkan, jika awal tahun satu kawasan hutan ditebang untuk kebun, lalu ditanami, akhir tahun saat pohon tumbuh, bukan deforestasi. Dia tak ingin mengatakan, metode ini salah atau benar. Dia hanya bilang, defenisi deforestasi Brazil dan Indonesia, berbeda.
Namun, saat diskusi, dia mengingatkan, Indonesia, harus hati-hati dalam menentukan data deforestasi.  “Bagai saya, perlu tentukan angka yang persis, angka deforestasi riil. Menurut saya, prioritas bikin akurasi. Ini penting untuk tahu deforestasi dan prosesnya.” Untuk itu, perlu strategi lebih jelas agar mendapatkan data lebih baik dalam setiap tahun.
Menurut Azevedo, di Brazil, mereka membangun sistem pengawasan dan perhitungan tingkat deforestasi dalam sembilan tahun. “Kuncinya adalah transparansi dan konsistensi.” Bagi dia, terpenting membuat proses di mana data tersedia bagi pembuat keputusan agar bisa bertindak cepat dan publik untuk analisis maupun hanya buat dilihat.
Tanggapan dari para peserta lain rata-rata meminta kejelasan tentang perhitungan klasifikasi lahan untuk menghindari interpretasi mendua dari data Kemenhut. Para peserta juga mengusulkan perlu mempertimbangkan bentuk data lain dan pengembangan metode perhitungan untuk meningkatkan keakuratan.
Yuyu Rahayu, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi,  Kemenhut, berusaha menjelaskan. Menurut dia, membuat data itu tidak mudah. Meskipun begitu, Kemenhut akan berusaha menyajikan data lebih kredibel ke depan. “Perbedaan bukan masalah, ada alasan untuk itu. Ini bagus untuk didiskusikan dan buat menyusun rencana ke depan,” katanya.
Dia setuju sistem yang digunakan Kemenhut perlu dikembangkan. “Itu tak masalah.” Namun, metode, dan data sudah benar. “Saya tidak mau orang luar bilang data kami salah karena pakai metode lain.”
Menurut Yuyu, Kemenhut telah membuat peta dan memasang di dalam website resmi kementerian. Namun, jika dicek ke website mereka sampai Rabu(13/2/13) data terakhir hanya dua halaman penjelasan tanpa data deforestasi dan perhitungannya. Link website Kemenhut bisa di lihat di sini.
Dalam wawancara Mongabay, pada pertengahan 2012, Yuyu mengatakan hal serupa. Proses penyajikan data deforestasi sampai menjadi “Indonesia Bersih” (data dari satelit sudah bagus dan terbaca) tidak mudah, memerlukan waktu sekitar dua tahun.  Di Indonesia,  ada daerah-daerah tertentu yang berawan hingga kadang tak diperoleh data. “Kita pantau pakai satelit, jika tak terpantau karena awan, sampai setahun tak dapat juga maka akan dipakai data tahun sebelumnya.”
Coverage citra satelit di Indonesia, untuk mencari deforestasi sekitar 240 an titik dengan resolusi 30 meter. Liputan satelit (scenes) itu sekitar pukul 9-10 pagi.
Untuk satu liputan, kadang sampai lima scenes baru relatif bersih.  Lima scenes ini dipilih dalam satu sampai dua tahun. “Mulai pemantauan biasa Januari sampai Desember.” Dia mencontohkan, data deforestasi 2009-2011 sebesar 450 ribu hektar. Dari pemantauan itu, hasilnya sekitar 890 ribu hektar, lalu dibagi dua 445 ribu hektar, menjadilah rata-rata sekitar 450 ribu hektar per tahun.
Angka ini, kata Yuyu, memang hanya perkiraan berdasarkan pantauan satelit. “Jadi jika dilakukan pemantauan ulang, bisa saja berubah atau berbeda.” Namun, dia yakin, perbedaan tidak akan jauh berbeda. Meskipun Yuyu memberikan penjelasan panjang lebar, tetapi belum mau memberikan data bagaimana memperoleh angka 2009-2011 sebesar 890 ribu hektar.  Angka ini dibagi dua menjadi angka rata-rata deforestasi tiga tahun itu.
Kepala Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto dalam pembukaan diskusi itu mengingatkan, proses transparansi dan metodologi perhitungan deforestasi yang kuat dan tepat sangat penting dalam membangun kepercayaan publik akan data yang disajikan. Bagaimanapun, kata Kuntoro,  tujuan paling utama adalah mendapatkan kepercayaan publik.
REDD, katanya, dalam ruang lingkup luas lebih dari sekadar menjaga pohon di hutan berdiri utuh. Namun, kesejahteraan mereka yang bergantung mata pencaharian dari hutan. “Menjaga kesejahteraan mereka adalah kunci keberhasilan dalam menjaga hutan.”
 

Source : link

Pemerintah Propinsi Aceh Ajukan Pembukaan 50.000 Hektar Hutan Untuk Konsesi Penebangan Sumber

Diposting oleh Maysatria
 
 Peta wilayah Aceh. Peta didapat dari SumatramForest dan Google Earth

Gubernur Propinsi Aceh barau saja mengajukan pembukaan kawasan lindung seluas 50.000 hektar untuk dialihfungsikan menjadi perkebunan. Hal ini terungkap dari sebuah analisis yang dilakukan oleh Greenomics, berbasis analisis data spasial yang diajukan oleh pemerintah lokal di Aceh. perencanaan spasial ini harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat untuk diimplementasikan lebih lanjut.
Dalam analisisnya, Greenomics menemukan bahwa dalam perencanaan spasial yang diajukan telah mengubah beberapa blok besar hutan atau kawasan lindung ini menjadi hutan produksi. Langkah ini secara otomatis akan mengubah zonasi area konservasi menjadi area penebangan. Dalam laporan ini tidak mengevaluasi dampak peribahan terhadap wilayah yang diusulkan di kawasan kurang dari 1.400 hektar, namun dari laporan media mengindikasikan bahwa area di wilayah yang lain dapat dibuka sebagai kawasan pertambangan.
Laporan yang diterbitkan Greenomics ini juga mendesak Gubernur Aceh Zaini Abdullah untuk menarik rencana dan menyerukan kepada Departemen Kehutanan untuk menolak perubahan zonasi yang diusulkan. “Jika gubernur serius tentang melindungi hutan provinsi, maka ia akan menarik proposal yang berpotensi merusak ini sesegera mungkin,” ungkap Direktur Eksekutif Greenomics, Elfian Effendi kepada Mongabay.com.
Propinsi Aceh adalah propinsi yang memiliki luasan tutupan hutan yang tertinggi dibanding propinsi lain di Sumatera. Kendati demikian, luasan hutan di Aceh memang terus mengalami penurunan jumlah yang signifikan. Menurut catatan dari Walhi Aceh yang dihimpun dari Tim Penyusun strategis Kawasan Hutan Aceh (Tipereska), dalam kurun waktu 28 tahun yaitu antara 1980 hingga 2008, luasan hutan di Aceh menyusut sekitar 914.442 hektar atau sekitar 32.657 hektar setiap tahun.

CITATION: Greenomics-Indonesia (2013).Aceh Governor’s move threatens destruction of province’s protection forest.

Source : link

Perambahan TN Tesso Nilo: Ruwet Tata Ruang dan Mandul Hukum Terus Undang Pendatang Gelap

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, News
 
 Hutan bekas dibakar di sempadan PT RAPP di Estate Baserah, Desa Gondai, Langgam, Pelalawan, Riau. Foto: Made Ali
 
Ban mobil melumat jalan koridor PT RAPP di Gunung Sahilan. Sopir sesuka hati memacu bak melintasi jalan tol di jalan yang berwajah buruk ini. Dari kawasan Gunung Sari, Kabupaten Kampar, Mongabay Indonesia bersama lima wartawan lain tengah menuju ke Kabupaten Kuantan Singingi perbatasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan untuk melihat langsung deforestasi akibat perambahan yang terjadi di dalam Taman Nasional Tesso Nilo tanggal 22-23 Januari 2013 silam.
TNTN awalnya kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) PT Dwi Marta, PT Inhutani dan PT Nanjak Makmur . Perusahaan tersebut diberi izin pemerintah untuk pemanfaatan hasil hutan kayu pada  hutan alam melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam/Hak Pengusahaan Hutan (IUPHHK-HA/HPH) guna mensuplai kebutuhan bahan baku plywood industri sawmill. Total luasan ketiga perusahaan tersebut 120.000 hektar. Tercatat PT Dwi Marta sudah ada sejak 1974.
Kondisi TNTN di Bukit Kesuma, Pelalawan, Riau. Foto: Made Ali
Di sekitar TNTN saat ini masih terdapat perizinan HPH yang masih aktif yaitu HPH PT. Siak Raya Timber seluas 38. 650 hektar, HPH PT. Hutani Sola Lestari seluas 45.990 hektar, HPHTI PT RAPP (Riau Andalan Pulp And Paper), PT Rimba Lazuardi, PT Rimba Peranap Indah, PT. Putri Lindung Bulan dan perkebunan kelapa sawit yaitu PT Inti Indosawit Subur, PT Peputra Supra Jaya, PT Mitra Unggul Perkasa dan beberapa perusahaan lainnya.
Tesso Nilo ditetapkan sebagai taman nasional melalui perubahan fungsi dari Hutan Produksi Terbatas seluas  83.068 hektar oleh Kementerian Kehutanan. Tahap pertama berdasarkan SK  Menteri Kehutanan Nomor: SK.255/Menhut-II/2004 tanggal 19 Juli 2004  seluas  38.576 ha. Tahap berikutnya berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 seluas + 44.492 hektar.  Sebagian besar kawasan TNTN berada di Kabupaten Pelalawan dan sebagian kecil di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
Kawasan ini memiliki tingkat keragaman hayati sangat tinggi. Ada sekitar 360 jenis flora tergolong dalam 165 marga dan 57 suku untuk setiap hektarnya. Tesso Nilo juga dikenal sebagai habitat bagi beraneka ragam jenis satwa liar langka, seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), berbagai jenis Primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang.
Setelah dua jam perjalanan, di kiri-kanan jalan koridor berdiri kokoh pohon-pohon akasia milik PT RAPP. Jalan koridor dan pohon-pohon akasia ini adalah bekas hutan alam yang dibabat PT RAPP untuk sumber produksi pabrik pulp and paper. Sekitar pukul 14.30, kami tiba  di sebuah simpang di Desa Situgal, Kecamatan Logas Tanah Darat, Kuansing. Di sebuah warung berdinding kayu berlantai tanah, saya bertemu M. Hadta, yang sudah 12 tahun menjaga hutan TNTN. Dia kemudian menjadi pemandu perjalanan kami.
Bersama Hadta mobil meluncur lewati jalan koridor menuju perbatasan Kuansing-Pelalawan. Memasuki jalan setapak hanya bisa dilewati motor, samping kiri pohon akasia. “Jalan ini dibangun PT RAPP. Jalan ini juga jadi akses perambah untuk masuk dalam kawasan TNTN,” kata Hadta.
Melewati batas PT RAPP, kami memasuki TNTN wilayah Desa Bukit Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan. Hujan turun deras. Jalanan mulai becek. Rencana hendak menginap di sebuah rumah di atas bukit, urung kami lakukan. Arah jalan pulang ke Situgal, memasuki jalan koridor PT RAPP, mobil kami tak bisa menanjak karena jalanan licin. Untung ada Lubis seorang perambah membantu menarik mobil kami.
Pagi hari, perjalanan lanjut ke perbatasan akasia PT RAPP wilayah Desa Gondai, Kecamatan Langgam. Kami juga melewati jalan samping kiri pohon akasia.
Mobil pun kami parkir, karena mobil tak bisa melintas. Kiri-kanan jalan setapak masih ada hutan tersisa. Setelah berjalan empat kilometer, ada sebuah rumah dari papan di tengah hutan TNTN.
Ada bibit sawit dan lahan karet di depan rumah ini. “Lahan Ini lahan milik bathin untuk sengaja ditanami sawit dan karet,” kata Konimin Pitung, 60 tahun, asli Jawa, besar di Kisaran, Sumatera Utara. Ada 36 KK mengelola lahan Ninik Mamak dalam kelompok Konimin. Hanya delapan orang yang tinggal di rumah tersebut.
“Lahan di depan itu baru ditanami karet milik Ninik Mamak. Luasnya 4 hekatre. Punya saya 2 hektare. Sisanya Ninik Mamak. Di sini saya kelola baru setahun. Saya tidak tahu ini TNTN, tahunya ini punya ninik mamak,” kata Ramli kelahiran tahun 1967 yang karet, rekan Konimin.
Hutan yang ditebang di samping pondokan Konimin untuk ditanami sawit. Foto: Made Ali
Menurut hasil investigasi Balai TNTN dan WWF Riau, sekitar 2.279 Kepala Keluarga telah menetap dalam kawasan TNTN: 2.176 (95 persen) KK merupakan pendatang dari luar desa  sekitar TNTN  dan hanya 666 KK (5%) masyarakat sekitar kawasan TNTN. Perambahan bertambah marak, hingga tahun 2009 terdapat 14 lokus perambahan, menyebar di sepanjang jalan-koridor dan pusat-pusat perkampungan. Luasnya mencapai  28.606,08, atau 34,5% dari luas TNTN. Empat lokus terluas adalah Koridor  PT RAPP Ukui–Gondai (8.242,34 ha), Kuala Onangan Toro Jaya (7.769,27 ha), Bagan Limau (3.852,21 ha), dan Toro Makmur (2.440 ha).
Perambahan ini telah terjadi sejak tahun 1992, jauh sebelum menjadi TNTN atau masih kawasan pemegang ijin HPH. “Tahun 2002 puncaknya hingga kini perambahan masih berlangsung,” kata Hadta. “Sekarang perambah sudah ribuan, luas TN 83.068 ha, sepuluh tahun terakhir hampir 28.000 ha terjadi perambahan,” kata Kupin Simbolon, Kepala Balai TNTN yang bermarkas di Pelalawan. Perambahan ini terjadia menurut Kupin, karena “Perambahan terjadi sebelum TN TN ditunjuk, areal TNTN umunya bekas konsesi, perambah umunya pendatang dari provinsi lain dan perambah umunya tidak tinggal di kawasan.”
Dari hasil investigasi WWF bersama Balai Taman Nasional Tesso Nilo hingga 2011 luas perambahan mencapai 52.266,50 hektar telah menjadi kebun kelapa sawit sekitar 36.353,50 hektar, tanaman karet capai 993.000 hektar.  “Tim juga menemukan areal yang baru ditebang sekitra 6.212,00 dan sudah menjadi belukar sekitar 8.6009,00 hektar.”
Namun berdasarkan Citra Satelit Landsat 2002-April 2011 dan Citra Satelit SPOT 2009, luas perambahan mencapai 86.238,39 hektar dari total luas Kawasan Tesso Nilo 167.618,00 hektar atau sekitar 51,45 persen kawasan Tesso Nilo telah dirambah. “Dari data analisa Citra Satelit Landsat 2002-April 2011 menunjukkan pertambahan perambahan selalu meningkat setiap tahunnya,” tulis WWF Program Riau dalam rilis yang saya terima.
Bibit sawit di samping rumah Konimin. Foto: Made Ali
WWF merinci, puncak perambahan mulai meningkat tajam pada 2006 sekitar 14.164,85 hektar. Pada 2008 mencapai 14.704,06 hektar, paling luas pada tahun 2009 mencapai 16.305,06 hektar.
Dari tiga konsesi tersebut, perambahan paling besar terjadi pada konsesi HPH PT Siak Raya Timber mencapai 83,80% atau sekitar 32.310,85 hektar dari 38.560,00 total ijin konsesinya. Taman Nasional Tesso Nilo mencapai 42,64% atau sebesar 35.416,43 hektar dari 83.068,00 hektar dari total luas Taman Nasional Tesso Nilo. Terakhir konsesi HPH PT. Hutani Sola Lestari mencapai 40,22% dari total luas konsesi 45.990,00 hektar atau sebesar 18.497,68 hektar.
“Pemerintah tidak tegas menyelesaikan masalah perambah ini,” kata Hadta. Selain ketidak tegasan pemerintah, masalah lainnya menurut data WWF, kurangnya perlindungan hutan oleh pemegang izin pemanfaatan kawasan (HPHTI PT. Inhutani IV eks HPH PT. Dwi Marta dan PT. Nanjak Makmur) sebelum ditunjuk menjadi TNTN, adanya koridor HTI PT RAPP ditengah kawasan  Tesso Nilo yang dibuat pada tahun 2001 (koridor Baserah) dan koridor sektor Ukui-Gondai sebelah utara kawasan Tesso Nilo yang dibuat PT RAPP tahun 2004, adanya oknum tokoh adat maupun oknum pemerintahan desa yang memperjualbelikan lahan dan memberi kemudahan dalam menguasai dan memanfaatkan lahan dikawasan Tesso Nilo.
“Ingat, awalnya TNTN dikawal BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Riau. Saya nilai BKSDA tak bekerja waktu itu melawan perambah, bahkan membiarkan perambah. Lalu, Balai TNTN ditunjuk mengelola TNTN tahun 2006-2067, waktu itu perambah marak terjadi di TNTN. Sejak 2007 hingga kini kita hanya punya penyidik satu orang. Salah satu kelemahan TNTN, personil kurang,” kata Kupin.
“Menhut sudah memberi arahan pada Balai TNTN untuk menata ulang siapa dan di mana perambah serta berapa jumlah perambah. Ini akan kita lakukan dalam waktu dekat. Menurut data Bupati Pelalawan total ada 2.400 perambah. nah, data itu akan kita rapikan dahulu,” katanya. Tugas menjaga hutan, menurut Kupin, juga tugas Dinas Kehutanan dan Bupati.” Pemerintah harus perketat menjaga TNTN. Orang kehutanan harus berbenah di sini. Ingat TNTN adalah kawasan gajah dan harimau, jangan salahi komitmen tersebut.”
Lubis dan Konimin yang sudah terlanjur punya lahan sawit bersedia berunding dengan pemerintah. Mereka menawarkan solusi. “Kalau hutan yang belum terbuka, masyarakat bersama pemerintah membuat tapal batas, sehingga jelas mana lahan masyarakat dan mana yang masih berhutan di dalam TNTN,” kata Lubis. Lantas, lahan yang sudah ditanam sawit dibikin penanaman 30 pokok ada satu hektar untuk durian, rambutan dan mangga. Lahan yang sudah terbuka dan masih kosong ditanami karet. “Kita sudah ribuan orang di dalam, pemerintah tak mungkin lagi mengusir.”

Source : link

Primata dari Inggris Latihan Penyesuaian Sebelum Dilepasliarkan

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News
 
 Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) yang baru datang dari Inggris kini menjalani pelatihan guna persiapan pelepasliaran. Foto: Indra Nugraha

Sejak 2 Februari lalu, pusat rehabilitasi primata The Aspinall Foundation, Ciwidey-Bandung, mempunyai penghuni baru. Ada satu owa betina, satu lutung Jawa jantan dan lima lutung betina dari kebun binatang Howletts  dan Port Lympe Animal Park-Inggris, untuk dilepasliarkan di Indonesia.
Ketujuh primata ini hasil breeding kedua kebun binatang di bawah pengelolaan The Aspinall Foundation bermarkas di Kent, Inggris. “Ketujuh primata itu hasil proses breeding di kedua kebun binatang itu,” kata koordinator animal keeper, Sigit Ibrahim di Bandung.
Kedua kebun binatang milik The Aspinall Foundation memiliki populasi lutung Jawa terbanyak di Eropa. Ada lebih 50 lutung. “Sekarang sedang pelatihan agar bisa menyesuaikan dengan pakan alami di Indonesia.”
Sigit mengatakan, di kebun binatang tempat mereka berasal, pakan lebih banyak umbi-umbian dan buah karena di Inggris susah mencari daun. “Beberapa hari ini kita coba berikan pakan seperti kaliandra, bobontengan dan daun-daunan lain. Ini untuk melatih mereka siap dilepasliarkan ke alam.”
Menurut dia,  lutung-lutung Jawa itu akan menghuni pusat rehabilitasi Ciwidey sekitar dua bulan. Setelah bisa beradaptasi, akan dikirim ke Javan Langur Centre (JLC). JLC merupakan pusat rehabilitasi khusus lutung Jawa, di bawah naungan  The Aspinall Foundation Indonesia berada di Coban Talun, Batu-Jawa Timur. Sebenarnya, JLC ada sejak 2003, baru dikelola TAF sejak 2012.
“Secara umum proses pengiriman bisa dibilang cepat tanpa kesulitan berarti. Hewan juga sehat dan terbebas dari penyakit. Tinggal dilatih beradaptasi dengan iklim Indonesia agar siap dilepasliarkan ke alam,” kata dokter hewan yang mengurus primata mereka, Zulfi.
Zulfi mengatakan, sebelum proses pengiriman terlebih dahulu pemeriksaan guna memastikan primata tidak mengidap penyakit. Depertment of Environment Food and Rural Affair, Pemerintah Inggris, terlebih dahulu memeriksa kesehatan primata-primata itu hingga nanti Defra mengeluarkan sertifikat yang menyatakan primata benar-benar terbebas penyakit.
Sertifikat pemasukan hewan memberikan syarat  yang mengharuskan bebas dari berbagai penyakit seperti hepatitis, saimian retro virus (SRV), bahkan cacing.
Rencana awal, primata dari Inggris ini ada sembilan, delapan lutung dan satu owa. Namun, hasil pemeriksaan kesehatan dua lutung  mengidap  parasit cacing hingga batal dikirim. “Pengiriman ini langkah awal. Jika primata ini sukses dilepasliarkan ke alam, akan ada kiriman lanjutan lagi,” ucap Zulfi.
Sebelum dilepasliarkan,  lutung Jawa akan dibentuk menjadi satu keluarga. Sebab, lutung mempunyai sifat hidup berkelompok, dengan jumlah individu antara 7-18 ekor. Lutung Jawa penganut komposisi one male multi female. Artinya, cukup satu jantan dewasa didampingi betina minimal empat ekor, selebihnya anak-anak dari keturunan mereka.
Saat ini, ada enam lutung Jawa direhabiltasi. Demi kelancaran proses rehabilitasi, JLC menyediakan kandang karantina, kandang sosialisasi, klinik dan pondokan.“Jika tidak ada halangan akhir tahun ini mereka akan dilepasliarkan di hutan lindung Gunung Pusungrawung-Batu,” ucap Iwan Kurniawan, Manager Project JLC.
Menurut Iwan, sebelum dilepasliarkan harus dipastikan sudah mampu bersikap seperti primata liar, antara lain, sosial, memakan makanan alami. Hampir 70 persen makanan mereka di alam dedaunan terutama pucuk atau daun muda. Lalu, produktif (mampu berkembangbiak secara alami), arboreal (mengahabiskan sebagian besar waktu untuk beraktivitas di atas pohon), protektif dan kepekaan terhadap ancaman di sekitar.
“Proses pelatihan ini memakan waktu paling cepat enam bulan tetapi bisa juga mencapai satu tahun lebih. Semua tergantung kondisi perilaku dan psikologi individu lutung. Biasa kondisi ini sangat dipengaruhi pola perlakuan dan perawatan sebelumnya.”
Saat ini, JLC menyelesaikan pembangunan kandang sosialisasi yang menjadi tempat tinggal sementara bagi keenam lutung kiriman sebelum dilepasliarkan ke alam. Proses pembuatan kandang diperkirakan memakan waktu dua sampai tiga bulan .
Lutung Jawa menanti pelepasliaran. Foto: Indra Nugraha

Source : link

Minggu, 10 Februari 2013

Kearifan Alam Dayak Paser dan Misteri Keragaman Hayati Gunung Lumut

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, News
 
Puncak Gunung Lumut dari Kampung Suku Muluy. Foto: Hendar

Gunung Lumut terletak di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Gunung yang banyak memiliki cabang-cabang sungai ini, merupakan kawasan Hutan Lindung atau sering di sebut Hutan Lindung Gunung Lumut. Hutan perawan di kawasan gunung tersebut merupakan penyangga kehidupan 12 kampung dikawasan hutan lindung. Salah satunya adalah Kampung Muluy, Desa Swan Slotung Kabupaten Paser. dimana berdiam Suku Muluy, yakni salah satu dari 14 suku dayak Paser.
Hutan Lindung Gunung Lumut itu memiliki luasan sekitar 42 ribu hektar dan puncak tertingginya 1.210 meter di atas permukaan laut (dpl). Namun dari ketinggian 500 dpl kita sudah dapat melihat lumut menyelimuti hulu sungai yang keluar dari Gunung Lumut, salah satunya sungai Muluy.
Salah satu Suku Dayak Paser ini bernama Muluy, karena sejak jaman dahulu berada di pinggiran sungai Muluy, yakni aliran sungai dari Gunung Lumut. “Awalnya kami mau dipindah sangat jauh dari Gunung Lumut, namun kami menolak, kami tetap bertahan untuk tetap berada di bawah kaki Gunung Lumut, karena sejak nenek moyang, kami menjaga kelestarian di Gunung Lumut,” ungkap Jidan.
Kelebatan hutan hujan tropis di Gunung Lumut. Foto: Hendar
Suku Muluy telah berada di kaki Gunung Lumut sejak ratusan tahun yang lalu. Sebagai layaknya suku dayak, seharusnya Suku Muluy berada di daerah aliran sungai Muluy. Namun entah kenapa pada tahun 2000, Suku Muluy berada sekitar 700 meter dari pinggir sungai.
Kehidupan Suku Muluy di sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut sangat sederhana. Bagi mereka, dengan menjaga kelangsungan alam sekitar maka alam akan memberikan apa yang dibutuhkan. Suku Muluy sekaligus menjadi penyangga terakhir Gunung Lumut yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung pada tahun 1996 lalu. Dan Kampung Muluy merupakan salah kampung yang sangat dekat dengan Gunung Lumut tepatnya di bagian utara Gunung Lumut.
Keanekaragaman hayati di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut yang terletak 1200 meter di atas permukaan laut ini sangat luar biasa, belum lagi mineral yang terkandung di dalamnya. Banyak perusahaan yang berusaha untuk menaklukan kawasan Gunung Lumut, namun selalu kandas.
“Berapa banyak pengusaha yang masuk ke kampung Muluy untuk sekedar melakukan lobby agar diperbolehkan untuk mengeksploitasi kawasan Gunung Lumut, namun kami tidak sama sekali memperbolehkan, karena hutan dan Gunung Lumut merupakan penghidupan kami,” ujar Bapak Jidan, Kepala Adat Suku Muluy
Hingga pada tahun 2012 lalu, Bapak Jidan secara adat memutuskan untuk menutup segala akses ke Gunung Lumut. Keputusan tersebut diambil seorang kepala adapt, karena ia ingin alam Gunung Lumut tetap terjaga.
Seorang bocah Suku Muluy. Foto: Hendar
Suku Muluy hanya hidup dari hasil pertanian, berburu burung, perkebunan dan hasil hutan sejak jaman nenek moyang mereka. Hingga kini banyak nilai kearifan lokal yang masih merekat di Muluy untuk pelestarian lingkungan.
Masyarakat Muluy masih melakukan ladang berpindah. Namun jangan salah persepsi, karena berladang itu ada ketentuan, misal membuka ladang, tidak sembarang buka, mendengar dan melihat ladang. ”Kalau mau membuka ladang, semua harus melihat alam. Pertama melakukan pertemuan, lalu ditunjukan tempatnya, sama-sama menentukan dan jangan sembarang buka. Harus melihat alam, kesalahan manusia akan menhancurkan alam dan menimbulkan bencana untuk masyarakat Muluy. Saat membuka ladang juga menggunakan upacara adat.” ungkap Jidan
Lintasa logging yang digunakan penduduk untuk menuju ke Kampung Muluy. Foto: Hendar
Ladang yang sudah dibuka dimanfaatkan selama dua tahun, setelah itu berpindah lagi ketempat lain yang telah ditentukan. Namun ladang sebelumnya nantinya akan di pergunakan lagi setelah lima tahun, setelah humus terbentuk. Jadi tidak ada membuka lahan baru, yang ada hanya memanfaatkan ladang yang terdahulu yang telah ditinggal selama lima tahun untuk memenuhi humus tanah. Tanaman yang banyak terdapat di ladang suku Muluy yakni padi, jagung, pisang, sayur.
Bagi suku Muluy, berburu burung untuk dijual merupakan pekerjaan yang dilakukan suku Muluy, bahkan hingga berhari-hari mereka mencari burung ke hutan. Burung yang menjadi buruan yakni murai batu. Namun tidak setiap hari mereka melakukan penangkapan terhadap burung tersebut. Mereka tetap melakukannya di bulan-bulan tertentu dan hari-hari tertentu. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian hewan tersebut. ”Kami tidak tiap hari mencari burung, biasanya setelah kami mendapat burung, pencarian selanjutnya dilakukan beberapa bulan, setelah burung jenis yang kami tangkap beranak pinak,” ungkap Jidan.
Hasil hutan lain yang menghidupi suku ini adalah gaharu dan madu. Saat ini suku Muluy telah melakukan pengembangbiakan pohon gaharu di hutan sekitar kampung. Sementara untuk kayu lainnya, suku Muluy melarang untuk mengambil, apapun bentuknya. ”Kami melakukan hukum adat untuk siapapun yang mengambil kayu di hutan lindung dan hutan kawasan kampung Muluy. Meskipun kayu tersebut digunakan untuk pembangunan desa. Begitupula dengan pohon Bangris. Pohon ini sangat di jaga, karena di pohon ini tempat menghasilkan madu, sehingga siapapun yang melakukan penebangan pohon tersebut terkena hukum adat. Hukumannya harus menganti sejumlah uang sesuai dengan nilai uang pohon yang di tebang,” ungkap Jidan
Penebangan yang terjadi di sekitar Gunung Lumut. Foto: Hendar
Hingga kini masih banyak pembalakan liar di kawasan pinggiran kampung Muluy diluar wilayah Muluy, dari hasil pengamatan ekspedisi lalu, kayu blambangan masih menjadi primadona para pembalak di kawasan terdekat kampung Muluy. Semua dapat terlihat di pinggir-pinggir jalan banyaknya kayu blambangan, terutama di desa Swan Slotung. Tanpa penanganan lebih lanjut dari aparat keamanan dan penegakan hukum yang tegas, kampung Muluy dan segala kearifan mereka terhadap alam akan musnah tertelan ekspansi uang yang menghantam

Source : link

Terlambat Penanganan, Si Pongo Masuk Pusaran Perdagangan Ilegal

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News
KASUS perdagangan orangutan kembali mencuat. Di Desa Kuala Labai, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, satu dari dua orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) peliharaan warga, dilaporkan dijual pemilik lantaran telat dievakuasi pihak berwenang.
Padahal, kasus ini sudah dilaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar dan BKSDA Ketapang akhir Oktober 2012. “Saya sudah melaporkan ke pihak berwenang. Di sana saya diterima Bu Niken. Lalu diarahkan ke Pak Junaidi di Kantor BKSDA Ketapang. Tapi belum ada tindak lanjut sampai sekarang,” kata Ali Barata di Pontianak, Senin (4/2/13). Ali pemilik orangutan jantan bernama Amin. Si pongo ditebus dengan uang Rp1,5 juta dari seorang pedagang di Desa Kuala Labai bernama Asep pada 2010.
Saat itu, Asep memelihara dua orangutan sejenis dengan usia relatif sama, sekitar delapan bulanan. Keduanya dibeli dari warga kampung Kuala Labai. Di desa itu, masih banyak warga berburu satwa untuk berbagai keperluan ekonomi dan konsumsi keluarga.
Selama dua tahun dalam masa pemeliharaan Ali, orangutan jantan itu kini tumbuh laiknya manusia. Amin pernah jatuh sakit saat baru dipelihara Ali. “Sakit demam saat baru empat bulan sama saya. Amin tak mau makan, apalagi menyusu. Akhirnya saya beri obat demam melalui klinik tempat saya kerja.”
Sehari-hari, ayah tiga anak ini bekerja sebagai Manajer Pelayanan Umum di PT Karya Utama Tambang Jaya (PT KUTJ), Site Kuala Labai. Selama enam tahun mengabdi di perusahaan tambang milik Harita Group itu, dia mengaku sering menemukan satwa-satwa dilindungi seperti orangutan, trenggiling, burung enggang gading, dan rusa.
Ali baru menyadari ketika salah seorang petugas Dinas Kehutanan Ketapang yang bekerja di perusahaan itu memberitahu bahwa orangutan tidak boleh dipelihara. “Sebagai penyayang satwa, saya tidak tahu mau berbuat apa lkecuali melaporkan ke pihak berwenang. Dalam hal ini BKSDA.”
Dia pun langsung menghubungi Junaidi, Kepala Seksi I BKSDA Ketapang melalui telepon selular. Junaidi merespon dan berjanji akan menindaklanjuti. “Januari lalu, saya dihubungi Pak Junaidi dan meminta saya mengantar orangutan ini pada acara pelepasan orangutan di Siduk, Kabupaten Kayong Utara.”
Namun jarak tempuh terlalu jauh, berkisar enam jam dari Kamp PT KUTJ. Ali tidak dapat mengantar orangutan itu. Akhirnya Junaidi memutuskan jika tak sempat nanti dimasukkan dalam program tahun ini. “Sampai sekarang saya belum dihubungi lagi. Amin tetap saya pelihara di Mess PT KUTJ. Kondisinya sehat,” ucap Ali.
Berbeda dengan Rosi, orangutan milik Asep yang sudah telanjur dijual ke warga Desa Teraju, Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau. “Saya sempat tanyakan ke Asep waktu mau ke Pontianak berlibur. Ternyata orangutan itu sudah dijual Rp2 juta pada Desember 2012.”
Kepala Seksi I BKSDA Ketapang, Junaidi mengakui ada hambatan proses evakuasi orangutan ini. Salah satu lokasi rehabilitasi. “Kita tidak punya kandang sendiri. Jadi sepenuhnya masih bertumpu pada mitra kerja kita seperti Yayasan International Animal Rescue Ketapang,” katanya di Ketapang ketika dihubungi, Senin (4/2/13).
Saat ini, pusat rehabilitasi orangutan Yayasan IARI-Indonesa di Ketapang baru pindah. Kandang transit belum siap. Hal ini berdampak pada proses evakuasi orangutan di Kuala Labai itu. “Saya minta bersabar dan menunggu sampai kandang siap. Mungkin selasai pada 14 Februari.”
Manajer Administrasi Yayasan IAR Indonesia Ketapang, Adi Irawan membenarkan perpindahan lokasi kandang transit milik lembaganya. “Benar, sebagian orangutan di IAR kita pindahkan ke fasilitas yang baru di Sei Awan.”
Direktur Lapangan Yayasan Palung, Tito P Indrawan menilai kasus perdagangan orangutan di Ketapang bukan hal baru. “Di Kuala Labai, kita sudah identifikasi penampung satwa-satwa dilindungi itu. Dia punya warung di tepi jalan. Kita bahkan sudah capek melaporkan kasus seperti ini sampai sekarang belum ada tindakan tegas yang bikin orang jera.”
Amin, menanti diserahkan ke BKSDA tapi belum kunjung datang. Foto: Ali Barata
Ali Barata, pemelihara Amin, masih bersabar menanti BKSDA, tetapi banyak ‘pemilik’ orangutan tak sabar, dan menjual orangutan karena pihak berwenang terlambat datang. Foto: Ali Barata

Source : link

Upaya Penyelamatan Hutan Kota Babakan Siliwangi

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry, News
 
 Aksi penolakan alih fungsi kawasan hutan kota Babakan Siliwangi di Bandung. Foto: Indra Nugraha

“Hutan kota.. hutan kota.. hutan kota…” Yel-yel itu diteriakkan para demonstran dari beberapa elemen masyarakat, Minggu (3/2/12) di Dago Car Free Day, Bandung. Mahasiswa, aktivis lingkungan, seniman, buruh tumpah ruah meramaikan kawasan itu dengan satu niat: menolak alihfungsi hutan kota di Babakan Siliwangi.
Sekitar pukul delapan pagi mereka berkumpul di kawasan Cikapayang, Dago. Semua memakai kaos berwarna putih. Sebelum aksi, kaos putih mereka disemprot cat pilox dan menulis kata-kata dukungan seperti,”Save Babakan Siliwangi”, “Hutan Kota Bukan Hutan Beton” dan lain-lain. Semua tampak begitu antusias mengantri giliran mendapat jatah semprotan cat di kaos oblong mereka.“Hutan kota yang kami minta, bukan hutan beton!” kata Edhu, salah satu peserta aksi, mahasiswa Biologi Unpad.
Sebelum longmarch menuju kawasan hutan kota Babakan Siliwangi, beberapa peserta orasi menyatakan penolakan alihfungsi hutan kawasa . Beberapa peserta lain juga membaca puisi bersuara lantang. Tepuk tangan dan yel-yel terus menggema. Spanduk penolakan dibentangkan. beberapa peserta ada yang membawa bibit pohon.
Pemerintah Kota Bandung berencana mengalihfungsikan hutan kota Babakan Siliwangi. Di akhir masa jabatan, Walikota Bandung justru mengeluarkan izin buat PT Esa Gemilang Indah (EGI) mengelola kawasan menjadi sentra komersil seperti apartemen, mal dan restoran.
Wacana pengalihfungsian kawasan yang memiliki luas 3,1 hektar ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak 2000-an wacana ini sudah sering digulirkan. Namun, mendapat penolakan keras dari warga. Alasannya, karena kawasan hutan kota ini daerah resapan air yang memiliki fungsi ekologis, sosial dan budaya tergolong cukup besar di Bandung.
Kawasan ini termasuk salah satu wilayah di Bandung Utara dengan kondisi lingkungan makin kritis. Keadaan diperparah dengan izin alihfungsi kawasan ini.
“Tahun 2003, konflik soal rencana alihfungsi kawasan Babakan Siliwangi muncul. Saat itu, pemkot baru (Dada Rosada-red) mewacanakan alihfungsi kawasan menjadi apartemen, mal dan restoran. Ini ditentang masyarakat dan aktivis lingkungan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jawa bBarat (Jabar), Dadan Ramdhan.
Pada tahun itu, sempat terjadi pembakaran rumah-rumah warga di sekitar kawasan Babakan Siliwangi. Lalu, perjanjian kerja sama antara pemkot Bandung dengan PT EGI sejak 2007. “Awal 2013, izin sudah keluar.” Padahal 27 September 2007, kawasan itu  dideklarasikan oleh Pemkot Bandung, peserta konferensi Tunza Internasional, publik dan UNEP (salah satu badan PBB fokus isu lingkungan) sebagai kawasan “hutan kota dunia”.
Sejak zaman Belanda, kawasan ini  sudah sebagai green belt Kota Bandung. Dahulu,  Babakan Siliwangi, merupakan kawasan pesawahan dikenal dengan sebutan kawasan Lebak Siliwangi. Di era Jepang, kawasan itu sempat untuk dibangun museum namun tidak sempat terealisasi. Dilihat dari sisi sejarah, dapat dikatakan bahwa kawasan ini sejak dahulu sudah menarik banyak pengembang karena lokasi sangat strategis.
Kota Bandung memiliki luas 16.000 hektar, baru memenuhi enam persen ruang terbuka hijau (RTH) publik dari minimal 30 persen. Jika merujuk pada UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang kota dan PP no 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang, pemerintah Kota Bandung harus menyediakan setidaknya 10 persen ruang terbuka hijau privat dan 20 persen publik.
Jika merujuk pada Perda No 18 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bandung, kata Dadan, sudah ditegaskan pasal 46 bahwa Babakan Siliwangi adalah RTH hutan kota. Pada pasal 60 dan 71 menyatakan, Babakan Siliwangi salah satu kawasan strategis kota (KSK) dari sudut pandang daya dukung lingkungan hidup.
Sekitar tahun 1980-an, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung membangun Sanggar Olah Seni dan Sanggar Mitra Seni. Hingga kini, kedua bangunan itu masih berdiri dan sering digunakan masyarakat sekitar untuk kegiatan.
Dulu, katanya, kawasan Lebak Siliwangi ini juga lahan percobaan bagi pertanian.  Tercatat pada kawasan ini ditanam padi (Mina Padi) dahulu salah padi unggulan Indonesia. Dari sejarahnya, kawasan ini cukup memiliki nilai budaya dan ilmiah penting di Kota Bandung.
Kawasan Babakan Siliwangi, dengan luas hampir 9 hektar, hanya tersisa 3,1 hektar. Perubahan terbesar terjadi saat saat ITB membangun sarana olahraga di kawasan ini. Meskipun mendapat tentangan, namun kesepatakan diambil antara ITB dan Pemkot Kota Bandung, sudah berjalan. ITB berjanji tidak akan merusak ekosistem Lebak Siliwangi.
“Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah kota Bandung. Karena pemerintah kota memang tidak mempunyai wawasan budaya dan kecintaan terhadap lingkungan,” ujar musisi senior Acil Bimbo, pesrta aksi.
Acil mengatakan, Babakan Siliwangi memiliki kesan khusus yang membawa harmoni tetapi akan hilang oleh kepentingan segelintir orang. Pembangunan apartemen di lokasi itu jelas sangat ditentang.
“Sekarang Bandung lebih terkenal sebagai kota kuliner dan factory outlet. Bukan berarti kedua hal itu tak boleh ada, boleh saja ada tetapi jangan sampai merusak atau menggusur lahan terbuka hijau seperti Babakan Siliwangi. PBB Sudah mengakui Babakan Siliwangi sebagai hutan kota dunia. Seharusnya tak boleh diganggu gugat,” ucap Acil.
Ridwan Kamil, aktivis lingkungan juga ikut. Ridwan mengatakan, aksi ini upaya pemenuhan hak warga mempertahankan ruang terbuka hijau. Izin pengelolaan kawasan itu juga mengalami banyak perubahan, sempat akan dibangun apartemen, mal. “Sekarang digulirkan akan dibangun restoran.”
Dia meminta, perjanjian hukum antara Pemkot Bandung dan PT EGI dicabut. Pengelolaan kawasan hutan Babakan Siliwangi tidak usah melibatkan pihak ketiga. “Cukup dikelola masyarakat sekitar seperti sekarang ini,” ucap Ridwan.
Bertentangan dengan RTRW
Dadan mengatakan, rencana pembangunan apartemen di kawasan itu berdampak perubahan pemanfaatan lahan. Rencana ini bertentangan dengan peruntukan lahan berdasarkan RTRW Kota Bandung.
“Jika mengacu pada RTRW 2002 Kota Bandung, Kawasan Babakan Siliwangi sebagai RTH. Berdasarkan RDTRWP Cibeunying, ini kawasan konservasi dan lapangan olahraga atau taman.”
Rencana pembangunan ini juga berdampak pada makin semerawutnya kemacetan di Bandung. Jika dibangun apartemen, setidaknya akan ada 2000 kendaraan memadati jalan Siliwangi. Sementara kondisi jalan sudah tidak memungkinkan mendapat tambahan beban.
Petisi dan Koin
“Saat ini koin yang terkumpul dari warga sebagai sumbangan untuk menyelamatkan kawasan Babakan Siliwangi sudah mencapai 500 ribu lebih,” kata Dadan.
Dadan bersama Walhi dan beberapa komunitas peduli lingkungan menggalang dana dan petisi menyelamatkan kawasan ini. Uang yang terkumpul akan disumbangkan untuk biaya perawatan hutan kota sekaligus buat Pemkot Bandung untuk menambah biaya kompensasi atas pembatalan izin.
Kronologis Konflik
Berbagai penelitian mengenai hutan kota Babakan Siliwangi pernah dilakukan. Peneliti dari ITB, Laksmi T. Darmoyono dalam jurnal berjudul “Kasus Babakan Siliwangi, Suatu Proses Pembelajaran Masyarakat” disampaikan dalam 1st International Seminar National Managing Conflict in Public Spaces Through Urban Design,  tahun 2004.
Laksmi terperinci menulis kronologis konflik Babakan Siliwangi dimulai Juni 2001. Wacana alihfungsi kawasan menjadi sentra komersil dilakukan karena selama ini pemda menganggap kawasan itu sebagai beban yang tidak menghasilkan income bagi pemerintah kota. Hingga dirancang berbagai wacana agar bernilai ekonomi dan menghasilkan.
Dalam catatan itu, Laksmi menulis, menurut pemda, kawasan itu sudah tidak mungkin masuk peruntukan RTH karena sudah ada bangunan-bangunan termasuk milik ITB. Hingga pemda memutuskan lahan itu boleh dibangun dengan KDB 20 persen. Berdasarkan tanggapan dari Pemda Bandung ini, konsultan melakukan studi kelayakan tanpa menebang pohon-pohon yang ada. Usulan desain dari investor adalah apartemen empat blok masing-masing terdiri dari 15 lantai.
Dari hasil studi konsultan, ternyata menunjukkan pembangunan apartemen sesuai usulan investor tidak memungkinkan pada kawasan ini. Desain optimal konsultan adalah empat hotel masing-masing terdiri dari lima lantai. Usulan konsultan dinilai tidak dapat memberikan keuntungan ekonomi, hingga investor mundur.
Kasus ini muncul kembali saat DPRD Pansus II membahas lembar rencana no 17 tahun 2002 pada awal Oktober. Saat itu Bappeda tidak mempunyai konsep pengembangan kawasan Babakan Siliwangi. Bappeda mengajukan usulan rencana dari investor tentang pembangunan apartemen. Rencana ini dipresentasikan oleh investor kepada DPRD pada 12 November 2002.
Tahun 2003 mencuat lagi ketika Dada Rosada menjadi walikota. Sampai terjadi pembakaran rumah-rumah dengan alasan harus ditertibkan. Karena dulu di tempat itu banyak gelandangan dan prostitusi.
Sempat meredup, wacana pengalihfungsian kawasan Babakan Siliwangi kembali mencuat di penghujung masa jabatan Walikota Bandung. Pemkot Bandung beberapa waktu yang lalu baru mengeluarkan izin pemanfaatan kawasan kepada PT EGI.

Source : link

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ►  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ▼  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ▼  Februari (19)
      • Pembalakan Liar, Memperburuk Indeks Kualitas Lingk...
      • WWF Desak APRIL Hentikan Penghancuran Hutan Alam
      • Data Deforestasi RI Meragukan, Metodologi Dipertan...
      • Pemerintah Propinsi Aceh Ajukan Pembukaan 50.000 H...
      • Perambahan TN Tesso Nilo: Ruwet Tata Ruang dan Man...
      • Primata dari Inggris Latihan Penyesuaian Sebelum D...
      • Kearifan Alam Dayak Paser dan Misteri Keragaman Ha...
      • Terlambat Penanganan, Si Pongo Masuk Pusaran Perda...
      • Upaya Penyelamatan Hutan Kota Babakan Siliwangi
      • Kaltim Rencanakan Moratorium Penebangan Hutan Untu...
      • World Wetlands Day: Habitat Satwa Yang Terus Menyu...
      • Sampah Elektronik Bertambah 40% Setiap Tahun di Dunia
      • Sumber Energi Biogas Pertama di Lahan Gambut Berha...
      • Penelitian: Pemusnahan Gambut Demi Sawit Sumbang E...
      • Kemenhut Janji Berikan HTR, Petani Jambi Akhiri “T...
      • Adakah yang tersisa dari cerita hutan Kalimantan?
      • Ketika “Harimau” Pesan KFC Tanpa Kemasan Perusak H...
      • Kita Berada di Kapal yang Sama: Presiden SBY Dukun...
      • Artie: “Kolonel, sekarang saatnya jadi jagoan peny...
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |