Penyandingan (coexisting) Berbagai Model Community Forestry
Untuk Kualitas Pengelolaan Hutan Terbaik
Proses desentralisasi pemerintahan di Indonesia tidak diikuti
kesiapan pemerintah pusat-daerah untuk melakukan desentralisasi
pengelolaan sumberdaya alam (devolusi). Sehingga, pemerintah daerah
(kabupaten) terlihat gagap, yang kemudian demi alasan peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) melakukan eksploitasi lebih luas dan dalam
atas sumberdaya alam setempat. Sementara itu pemerintah pusat pun
termakan rasa ketakutan yang besar saat desentralisasi berjalan,
kewenangan pemerintah pusat atas pengelolaan dan penataan manfaat
sumberdaya alam berkurang dibanding era sentralisasi.
Sejalan dengan itu di sektor kehutanan, devolusi sumberdaya hutan
walau tidak menjurus ke otonomi komunitas sudah menemukan beberapa
bentuk pengelolaannya seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm, ditengarai pada
2001 sudah terindentifikasi implementasi HKm seluas 252.410, 55 ha di
18 propinsi), Pembinaan Masyarakat Desa Hutan atu HPH Bina desa,
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM, oleh Perhutani), Hutan
Tanaman Industri Rakyat (HTR, yang ditengarai akan melibatkan sektor
swasta dalam pengembangan semisal pola Inti-Plasma di sektor perekebunan
atau kemitraan) dan baru-baru ini tentang Hutan Desa.
Berbagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan
kawasan hutan tersebut diakui atau tidak adalah pengaruh dorongan dari
gerakan sistem hutan kerakyatan (SHK, community forestry) di Indonesia
yang sedari 1992 mulai diperkenalkan di Asia Tenggara seperti Thailand,
Filipina, dan Indonesia. SHK sendiri yang memiliki bentuk beragam di
beberapa tempat masih melekat dengan aturan atau sistem adat istiadat
yang hingga kini tidak mendapatkan pengakuan hukum (unrecognized) dari
pemerintah dibanding bentuk-bentuk yang sudah disebutkan sebelumnya
(recognized, melalui intervensi kebijakan).
Bentuk-bentuk SHK adalah Repong Damar di Lampung, Tembawang di
Kalimantan Barat, Simpukqn di Kalimantan Timur, Parak di Sumatera Barat,
Pangale di Sulawesi Tengah, dan hutan adat di beberapa tempat dengan
sebutan yang brebeda-beda (Identifikasi melalui program Perluasan
Wilayah Kelola Rakyat, praktik SHK masih berlangsung di 1.800 desa di
sekitar 14 kawasan taman nasional dan konservasi di seluruh Indonesia
minus Papua, KpSHK 2005).
Kini, dengan melihat kondisi hutan dan kawasan hutan yang menuju
kerusakan yang lebih parah, perlu perbaikan-perbaikan yang menitik
beratkan kepada tatakelola kehutanan yang baik (good forest governance).
Berbagai inisiatif baik yang recognized community forestry maupun yang
unrecognized perlu didorong ke arah terjadinya good forest governance.
Untuk itu jalan penyandingan (co-existences) dari keduanya perlu
dilakukan, karena pada kenyataannya keduanya adalah praktik pengelolaan
hutan berbasis masyarakat yang masih berlangsung hingga kini, sekalipun
memiliki kekurangan-kekurangan.
Penyandingan (coexistences) tersebut merupakan cara untuk
mensinergiskan desentralisasi pemerintahan dengan devolusi
(desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan). Selain itu juga untuk
memicu berbagai pihak melakukan perbaikan-perbaikan demi terwujudnya
peningkatan kualitas pengelolaan hutan yang lebih baik. Karena selama
ini desentralisasi dan partsipasi (devolusi) menemui kendala-kendala
sebagai berikut:
- Desentralisasi oleh pemerintah daerah dianggap pelimpahan kewenangan penuh untuk mengeksploitasi sumberdaya alam (hutan) sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan kepentingan sosial dan ekologi.
- Masih melekatnya metal dan tindakan buruk aparat pemerintah daerah seperti korupsi, manipulasi dan nepotisme dalam implementasi berbagai inisiatif community forestry.
- Proses delegitimasi Pusat atas Daerah, tentang desntralisasi pengelolaan sumberdaya hutan.
- Peran sektor swasta kehutanan yang masih sebatas memberikan bantuan (imbal balik) kepada masyakarat sekitar yang tidak berhubungan dengan aktivitas ekonomi kehutanan di masyarakat melalui community development.
- Perbedaan persepsi tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan kawasan hutan antarpihak (swasta, pemerintah dan masyarakat).
- Belum adanya penyelesaian konflik kawasan hutan yang menyeluruh antar pemangku kepentingan kehutanan (swasta, pemerintah dan masyarakat).
- Penyandingan (coexistences) dari berbagai inisiatif community forestry baik yang dilakukan oleh swasta, badan usaha kehutanan negara, pemerintah dan masyarakat lokal atau adat juga bertujuan untuk menemukan bentuk padu-padan dan pengembangan yang mutakhir sehingga model best practice dari community forestry terwujud dan mampu direplikasikan di kemudian hari ke berbagai tempat.
Rencana Kegiatan
Koeksistensi berbagai model community forestry (komuniti forestri) akan meliputi berbagai kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
- Identifikasi model-model komuniti forestri. Kegiatan ini bertujuan untuk menemukan model-model komuniti forestri yang sedang atau yang sudah lama berjalan dari masing-masing pihak (masyarakat, program CSR perusahaan, program pemerintah pusat dan daerah).
- Perencanaan komunitas (kelompok). Kegiatan ini bertujuan untuk menyiapkan komunitas (kelompok) mulai dari indentifikasi potensi, pemilihan program komuniti forestri, hingga monitoring dan evaluasi atas pengelolaan kawasan komuniti forestri di beberapa wilayah yang ditunjuk dalam program coexisting semisal SHK (Hutan Adat), HKm, Hutan Desa, dan Program CSR (Corporate Social Responsibility), BUMN (Perhutani).
- Berbagi pengalaman antarpelaku komuniti forestri. Kegiatan ini bertujuan agar pelaku komuniti forestri (masyarakat, perusahaan, pemerintah) saling memberi dan menerima pengalaman-pengalaman terbaiknya untuk memberikan dampak kemajuan bagi masing-masing model yang dikembangkan para pihak.
- Peningkatan kapasitas para pelaku komuniti forestri. Kegiatan peningkatan kapasitas ini ditujukan kepada community leaders, ketua kelompok, atau manajer-manajer program CSR di lapangan atau pelaksana lapangan dan pemerintah (dinas kehutanan).
- Festival komuniti forestri. Kegiatan festival bertujuan untuk menemukan model terbaik dari berbagai inisiatif komuniti forestri yang berlandaskan sustainable forestry management (pembangunan kehutanan yang berkelanjutan). Dari model-model komuniti forestri 5 besar terbaik yang sudah ditunjuk menjadi bagian dari Program Koeksistensi Model-Model Komuniti Forestri, nantinya akan menjadi bahan (rekomendasi) replikasi untuk inisiatif-inisiatif yang sama di wilayah-wilayah lain.
- Pengembangan Sistem Informasi dan Dokumentasi. Untuk mengawal proses-proses koeksistensi model-model komuniti forestri perlu upaya pengembangan informasi dan dokumentasi. Kegiatan pengembangan sistem informasi dan dokumentasi dari Koeksistensi Model-Model Komuniti Forestri meliputi penguatan sistem database, publikasi regular untuk para pihak (masyarakat, perusahaan, dan pemerintah), dan penyadaran publik (promosi).
Parapihak yang terlibat
Koeksistensi Model-Model Komuniti Forestri akan melibatkan komunitas
adat atau lokal yang telah mengembangkan model-model SHK dan Hutan Adat,
perusahaan (HTI/HPH/Perkebunan) yang memiliki program CSR tentang
kehutanan masyarakat, Pemerintah Daerah atau Pusat dengan Program HKm
dan Hutan Desa, Badan usaha kehutanan pemerintah semisal Perhutani
(PHBM) dan Inhutani, serta LSM yang mendampingi komunitas yang
mengembangkan inisiatif komuniti forestri.
Source : link
Source : link