Indonesia memiliki dua
ratus juta penduduk dari berbagai kelompok etnis tersebar di ribuan
pulau sehingga muncul aneka ragam pilihan sistem usaha tani. Selain itu,
hubungan penduduk dengan dunia luar, diwakili oleh para pedagang Cina,
Arab dan Eropa, telah berkembang sejak lama (Dunn, 1975) sehingga
permintaan pasarpun juga beraneka ragam. Semua unsur ini menjadi
pendorong proses pembangunan bermacam-macam agroforest.
Sekarang ini sistem
agroforest sepertinya hanya diterapkan oleh petani-petani kecil.
Usaha-usaha agroforest kebanyakan bisa ditemukan di sekitar pemukiman
penduduk. Sekeliling rumah merupakan tempat yang cocok untuk melindungi
dan membudidayakan tumbuhan hutan, karena memudahkan pengawasannya.
Kebun-kebun pekarangan (home-garden) memadukan berbagai sumber
daya tanaman asal hutan dengan jenis-jenis tanaman eksotik yang
bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, sayuran dan
tanaman untuk penyedia bumbu dapur (Bhs. Jawa: empon-empon),
tanaman obat, serta jenis tanaman yang diyakini memiliki kegunaan gaib.
Contohnya, menurut kepercayaan di Jawa ranting pohon kelor (Moringa pterygosperma Gaerttn.)
dapat digunakan untuk menghilangkan kekebalan seorang yang ber’ilmu’.
Ranting bambu kuning dapat digunakan untuk mengusir ular dan
sebagainya.
Seperti telah
disebutkan di atas, kebun pekarangan di Jawa memadukan tanaman
bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian. Semakin banyak
campur tangan manusia membuat kebun itu menjadi semakin artifisial
(sistem buatan yang tidak alami). Kekhasan vegetasi hutan seringkali
masih bisa ditemukan, misalnya dapat dijumpai berbagai jenis tumbuhan
bawah seperti berbagai macam pakis (fern), atau epifit (misalnya anggrek
liar). Kekayaan jenisnya bervariasi, beberapa pekarangan yang tidak
terlalu banyak campur tangan pemiliknya memiliki keanekaragaman yang
cukup tinggi, yang dapat mencapai lebih dari 50 jenis tanaman pada lahan
seluas 400 m2 (Karyono,1979; Michon, 1985). Bila diperhatikan dari
struktur kanopi tajuknya, kebun- kebun itu memiliki lapisan/strata tajuk
bertingkat (multi-strata) mirip dengan yang dijumpai di hutan. Kemiripan kanopi hutan dengan agroforest sulit dibedakan melalui teknik foto udara.
Tingkat lapisan tajuk
vegetasi agroforest dapat dibedakan menjadi 3 sampai 5 tingkat, mulai
dari lapisan semak (sayuran, cabai, umbi-umbian), perdu(pisang, pepaya,
tanaman hias) hingga lapisan pohon tinggi (sampai lebih 35 m,misalnya
damar, durian, duku). Proses reproduksi sistem yang menyerupai hutan ini
lebih banyak mengikuti kaidah alam daripada teknik-teknik budidaya
perkebunan. Sebagai contoh, kasus terbentuknya damar agroforest di Krui.
Gambar 7. Tahapan terbentuknya Kebun Pekarangan di Jawa (De Foresta et al., 2000)
Mengapa agroforest perlu mendapat perhatian?
Kebun-kebun agroforest
asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi perhatian
dalam rangka pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk
daerah-daerah rawan secara ekologis (kurang subur, terlalu curam,
terlalu berbatu). Lahan tersebut tidak cocok untuk pertanian dan
seharusnya tertutup rapat seperti hutan. Di daerah-daerah tersebut hanya
tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan,
sedangkan untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain hanya
dimungkinkan dengan investasi yang sangat besar (penyediaan pupuk dan
pembangunan fisik pengendali erosi). Manfaat penerapan sistem agroforest
ditinjau dari beberapa pihak atau sudut pandang: (1) pertanian, (2)
petani, (3) peladang, (4) kehutanan.
1. Sudut pandang pertanian
Agroforest merupakan
salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat- guna, sesuai dengan
keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman
semusim, menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total
menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja
dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani.
Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan
produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar
yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak
mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada
tingkat petani.
Agroforest mempunyai
fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest
bukan sebagai penghasil bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil
pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan
kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal di Sumatera. Bahkan,
agroforest seringkali menjadi satu-satunya sumber uang tunai bagi
keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50% hingga 80% pemasukan
dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsung maupun tidak
langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran
hasilnya.
Di lain pihak
sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu
dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan
sendiri saja (subsisten). Oleh karena itu, bentuk dukungan
terhadap pertanian komersial petani kecil biasanya diarahkan kepada
upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan. Pendekatan
terpadu untuk mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada masih sangat
kurang, karena umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak
lebih dari sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana
produksinya hanya dikhususkan untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan
hasil-hasil sampingan seperti kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini
kurang mendapat perhatian.
2. Sudut pandang petani
Keunikan konsep
pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada
keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu
spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan
dengan produksi dan fungsi lain yang lebih luas. Hal ini menimbulkan
beberapa konsekuensi menarik bagi petani.
Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang
sebenarnya. Pendapatan dari agroforest umumnya dapat menutupi kebutuhan
sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara
teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain.
Selain itu, agroforest juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan
dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan,
cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas- komoditas lain seperti kayu
bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun
tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk
kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia menabung uang tunai
masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang
sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di daerah-daerah di
mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali.
Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah
tropis.
Struktur yang tetap
dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan kelenturan
pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya
akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera
diuangkan. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan
panen salah satu jenis tanaman atau risiko perkembangan pasar yang sulit
diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, spesies
ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja, hingga suatu saat
pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menimbulkan
gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan
produktif dan spesies yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur
kebun, dan selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara
itu spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem
produksi yang ada.
Ciri keluwesan yang
lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami beberapa
spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat
tiba-tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau
pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan baru. Hal seperti
ini telah terjadi pada buah durian, duku, dan cengkeh serta terakhir
kayu ketika kayu dari hutan alam menjadi langka.
Melalui diversifikasi
hasil-hasil sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan sehari-hari
petani. Agroforest juga berperan sebagai "kebun dapur" yang
memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu). Melalui
keanekaragaman tumbuhan, agroforest dapat menggantikan peran
hutan alam dalam
menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan mahal
seperti kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan
binatang buruan.
3. Sudut pandang peladang
Kebutuhan tenaga kerja rendah
Agroforest merupakan
model peralihan dari perladangan berpindah ke pertanian menetap yang
berhasil, murah, menguntungkan dan lestari. Meskipun menurut standar
konvensional produktivitasnya dianggap rendah, bila ditinjau dari sisi alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan ,
agroforest lebih menguntungkan dibandingkan sistem pertanian
monokultur. Penilaian bahwa produktivitas agroforest rendah, disebabkan
kesalahpahaman terhadap sistem yang dikembangkan petani. Hal ini karena
umumnya hanya tanaman utama yang diperhitungkan sementara hasil-hasil
dan fungsi ekonomi lain diabaikan. Pembuatan dan pengelolaan agroforest
hanya membutuhkan nilai investasi dan alokasi tenaga kerja yang kecil.
Hal ini sangat penting terutama untuk daerah- daerah yang ketersediaan
tenaga kerja dan uang tunai jauh lebih terbatas daripada ketersediaan
lahan, seperti yang umum terjadi di wilayah-wilayah perladangan
berpindah di daerah beriklim tropis basah.
Tidak memerlukan teknik canggih
Selain manfaat ekonomi,
perlu juga dijelaskan beberapa ciri penting lain yang membantu
pemahaman terhadap hubungan positif antara peladang berpindah dan
agroforest. Pembentukan agroforest berhubungan langsung dengan kegiatan
perladangan berpindah. Bentuk ladang berpindah mengalami perkembangan
dengan adanya penanaman pohon yang oleh penduduk setempat dikenal
bernilai ekonomi tinggi. Tindakan yang sangat sederhana ini dapat
dilakukan oleh peladang berpindah di semua daerah tropis basah.
Agroforest ini dapat dikelola tanpa teknologi yang canggih, tetapi
bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan tradisional peladang mengenai
lingkungan hutan mereka. Hasilnya, terdapat perbedaan yang sangat
nyata antara sistem agroforest yang lebih menetap dengan sistem
peladangan berpindah yang biasanya melibatkan pemberaan dan membuka
lahan pertanian baru di tempat lain. Ladang-ladang yang diberakan untuk
sementara waktu, selanjutnya ditanami kembali dengan pepohonan untuk
diwariskan pada generasi berikutnya. Kedudukan komersil tanaman pohon
dan nilai ekonomisnya sebagai modal dan harta warisan dapat mencegah
terjadinya pembukaan ladang-ladang baru, dengan demikian lahan tersebut
menjadi terbebas dari ancaman perladangan berpindah lainnya.
4. Sudut pandang kehutanan
Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman
Seperti halnya pada
semua lahan pertanian, sebagian terbesar agroforest tercipta melalui
tindakan penebangan dan pembakaran hutan. Perbedaan agroforest dengan
budidaya pertanian pada umumnya terletak pada tindakan yang dilakukan
pada tumbuhan perintis yang berasal dari hutan. Pada budidaya
pertanian, keberadaan tumbuhan perintis alami dianggap sebagai gulma
yang mengancam produksi tanaman pokok. Pada sistem agroforest, petani
tidak melakukan pembabatan hutan kembali, karena mereka menggunakan
ladang sebagai lingkungan pendukung proses pertumbuhan pepohonan. Proses
pembentukan agroforest seperti ini masih dapat dijumpai di Sumatera,
antara lain di Pesisir Krui (Propinsi Lampung) untuk agroforest damar,
di Jambi untuk agroforest karet. Oleh karena pada sistem agroforest
tidak melibatkan penyiangan intensif, maka kembalinya spesies-spesies
perintis dapat mempertahankan sebagian spesies-spesies asli hutan.
Pengembangan hasil hutan non-kayu
Sejak tahun 1960-an
bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku pada produksi kayu
gelondongan. Kayu gelondongan merupakan unsur dominan hutan yang relatif
sulit dan memerlukan waktu lama untuk diperbaharui. Eksploitasinya yang
berbasis tegakan bukan individu pohon, mengakibatkan degradasi drastis
seluruh ekosistem hutan. Hal ini memunculkan suatu usulan agar
pihak-pihak kehutanan dalam arti luas lebih mengalihkan perhatiannya
pada hasil hutan non-kayu (disebut juga hasil hutan minor) misalnya
damar, karet remah dan lateks, buah-buahan, biji-bijian, kayu- kayu
harum, zat pewarna, pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat.
Ilustrasi yang disajikan pada Gambar 8, menunjukkan adanya pemanenan
hasil hutan non-kayu berupa getah karet yang siap untuk dipasarkan,
selain produksi kayu yang cukup menarik bagi petani di daerah Jambi.
Pemanenan hasil hutan non-kayu merupakan pengembangan sumber daya yang
dapat mendukung konservasi hutan karena mengakibatkan kerusakan yang
lebih kecil dibandingkan dengan pemanenan kayu.
Gambar 8. Karet siap untuk dipasarkan (de Foresta et al., 2000).
Agroforest di
Indonesia, yang bertumpu pada hasil hutan non-kayu, merupakan salah satu
alternatif menarik terhadap domestikasi monokultur yang lazim
dikerjakan. Pengelolaan agroforest tidak ekslusif pada satu sumber daya
yang terpilih saja, tetapi memungkinkan kehadiran sumber daya lain
yang mungkin tidak bermanfaat langsung bagi masyarakat. Selain itu
membangun agroforest merupakan strategi masyarakat sekitar hutan untuk
memiliki kembali sumber daya hutan yang pernah hilang atau terlarang
bagi mereka. Agroforest memungkinkan adanya pelestarian wewenang dan
tanggung jawab masyarakat setempat atas seluruh sumber daya hutan. Hal
ini merupakan sifat utama agroforest yang bisa menjadi peluang utama
bagi pengembangan sistem agroforest oleh badan-badan pembangunan resmi
terutama kalangan kehutanan yang selama ini masih tetap khawatir akan
kehilangan kewenangan menguasai sumber daya yang selama ini dianggap
sebagai domain ekslusif mereka.
Model alternatif produksi kayu
Agroforest berbasis
pepohonan khusus penghasil kayu di Indonesia masih belum ada. Namun
karena berciri pembangunan kembali hutan alam, agroforest merupakan
sumber pasokan kayu berharga yang sangat potensial yang dapat
dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Sejauh ini kayu-kayu yang
dihasilkan dalam agroforest masih diabaikan dalam perdagangan nasional
(de Foresta, 1990). Pohon yang ditanam di agroforest (buah-buahan, karet
dll) sering pula memasok kayu bermutu tinggi dalam jumlah besar,
sehingga ada pasokan kayu gergajian dan kayu kupas yang selalu siap
digunakan (Martawijaya, 1986 dan 1989). Di daerah Krui (Lampung), pohon
damar yang termasuk golongan meranti sangat mendominasi kebun damar,
dengan kepadatan yang beragam. Dalam setiap hektar agroforest terdapat
antara 150 sampai 250 pohon yang dapat dimanfaatkan (Torquebiau 1984;
Michon, 1985). Kayu-kayu itu biasanya dianggap sebagai produk sampingan
yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bukan karena teknologi yang rendah,
tetapi karena belum dikenali pasar.
Pengguna kayu
mengelompokkan kayu berdasarkan kelas keawetan dan kekuatan.
Klasifikasi asli tersebut banyak mengalami revisi, karena semakin
langkanya hutan yang mengandung jenis pohon yang menguntungkan.
Karena kelas I sudah
dieksploitasi berlebihan dan menjadi langka, maka kelas II menjadi kelas
I dan seterusnya (Kostermans, 1984). Pohon meranti misalnya,
belakangan ini merupakan jenis kayu kelas utama di Asia Tenggara,
padahal pada tahun 1930-an hampir tidak memiliki nilai komersil. Contoh
yang lebih mutakhir adalah kayu karet, hingga tahun 1970-an masih
dianggap tidak berharga, tetapi dewasa ini menduduki tempat penting
dalam pasar kayu Asia. Sejalan dengan perkembangan teknologi
transformasi dan pemanfaatan kayu, ciri-ciri kayu bahan baku semakin
tidak penting (Kostermans, 1984).
Untuk memenuhi
permintaan besar di tingkat regional, beberapa tahun belakangan ini
berkembang budidaya pohon kayu, terutama surian, bayur, dan musang dalam
agroforest di sekeliling danau Maninjau, Sumatera Barat (Michon, 1985;
Michon, 1986). Di daerah Krui, Lampung, terjadi pemaduan sungkai di
kebun damar. Jenis pohon perintis ini yang sebelumnya tidak bernilai,
baru sejak 1990-an mulai ditanam di kebun. Dengan meningkatnya
permintaan kayu sungkai untuk bangunan pada tingkat nasional, pohon
sungkai kini ditanam dan dirawat dengan baik oleh petani (de Foresta,
1990).
Kajian-kajian
kuantitatif lebih lanjut tentu saja masih dibutuhkan untuk menentukan
potensi pepohonan dan pengelolaan yang optimal dalam agroforest, dengan
tetap memperhitungkan hasil-hasil lain. Dampak sampingan penjualan kayu
perlu juga dikaji dari segi sosial, ekonomi dan ekologi. Dengan
memenuhi persyaratan ketersediaan pasokan yang besar dan lestari,
agroforest merupakan salah satu sumber daya kayu tropis di masa depan.
Dengan mudah sumber daya ini dapat diperkaya dengan jenis-jenis pohon
bernilai tinggi, sebab kantung-kantung ekologi agroforest yang beragam
merupakan lingkungan ideal bagi pohon berharga yang membutuhkan kondisi
yang mirip dengan hutan alam. Selain itu tidak seperti dugaan umum,
sasaran utama agroforest di Indonesia bukan cuma untuk pemenuhan
kebutuhan sendiri tetapi untuk menghasilkan uang. Bagi petani
agroforest, menanam kayu dan memelihara ternak adalah semacam life insurance yang
siap di’likuidasi’ sewaktu-waktu bila diperlukan. Dengan orientasi
pasar, agroforest akan mampu dengan cepat memadukan pola budidaya baru,
asalkan hasilnya menguntungkan pemiliknya.
5. Mungkinkah agroforest sebagai penghasil kayu dikembangkan?
Pengembangan
agroforestri komplek sebagai sumber kayu tropis bernilai tinggi
tampaknya tidak akan memenuhi hambatan yang berarti, jika dilakukan
reorientasi pasar yang memberikan peluang bagi kayu asal agroforest
untuk memasuki pasar nasional. Keputusan reorientasi terkait erat
dengan kondisi nyata pemanfaatan hutan alam di tiap negara tropis, dan
karenanya tergantung pada tujuan/kemauan politik. Perwujudan kemauan
politik semacam ini diharapkan terjadi secepatnya, karena sangat
dibutuhkan dalam rangka menghadapi (a) produksi kayu tropis (kayu
pertukangan dan kayu bulat) pada masa transisi dari sistem penebangan
hutan alam menuju sistem budidaya menetap untuk wilayah pedesaan, (b)
pelestarian alam yang akan muncul akibat masuknya kayu hasil agroforest
ke pasar.
Menyertai usaha
pencegahan perusakan hutan dalam jangka panjang, integrasi pengelolaan
pepohonan penghasil kayu ke dalam agroforest akan mengurangi tekanan
terhadap hilangnya/perusakan hutan alam yang masih tersisa. Selain
meringankan kesulitan dalam mendapatkan kayu bangunan akibat penurunan
sumber kayu dari hutan alam, perluasan pangsa pasar ke jenis kayu asal
agroforest tersebut akan memacu terjadinya peningkatan pembangunan
masyarakat pedesaan. Peningkatan nilai ekonomi agroforest dan adanya
integrasi pengelolaan kayu komersil diharapkan dapat merangsang
perluasan areal agroforest, yang akan mendorong pelestarian lahan dan
keanekaragaman hayati di luar hutan alam.
6. Struktur agroforest dan pelestarian sumber daya hutan: konservasi in-situ dan eks-situ
Agroforest memainkan
peran penting dalam pelestarian sumber daya hutan baik nabati maupun
hewani karena struktur dan sifatnya yang khas. Agroforest menciptakan
kembali arsitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro, dan di
dalam habitat mikro ini sejumlah tanaman hutan alam mampu bertahan hidup
dan berkembang biak. Kekayaan flora semakin besar, jika di dekat kebun
terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber (bibit) tanaman. Bahkan
ketika hutan alam sudah hampir lenyap sekalipun, warisan hutan masih
mampu terus berkembang dalam kelompok besar: misalnya kebun campuran di
Maninjau melindungi berbagai tanaman khas hutan lama di dataran rendah,
padahal hutan lindung yang terletak di dataran lebih tinggi tidak mampu
menyelamatkan tanaman-tanaman tersebut.
Di pihak lain,
agroforest merupakan struktur pertanian yang dibentuk dan dirawat.
Tanaman bermanfaat yang umum dijumpai di hutan alam menghadapi ancaman
langsung karena daya tarik manfaatnya. Dewasa ini sumber daya hutan
dikuras tanpa kendali. Hal ini tidak terjadi dengan agroforest. Bagi petani, agroforest merupakan kebun bukan
hutan. Agroforest merupakan warisan sekaligus modal produksi. Sumber
dayanya, baik yang tidak maupun yang sengaja ditanam, dimanfaatkan
dengan selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun. Pohon di
hutan dianggap tidak ada yang memiliki. Sebaliknya, pohon di kebun ada
pemiliknya, sehingga pohon tersebut mendapat perlindungan yang lebih
efektif daripada yang terdapat di hutan negara. Sumber daya (komponen
pohon) hutan di dalam agroforest dengan demikian turut berperan dalam
mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam. Secara tidak langsung
agroforest turut melindungi hutan alam.
Aneka kebun campuran di
pedesaan di Jawa mempunyai peranan penting bagi pelestarian kultivar
pohon (tradisional) buah-buahan dan tanaman pangan. Karena kendala
ekonomi dan keterbatasan ketersediaan lahan, maka kebun tersebut tidak
dapat berfungsi sebagai tempat berlindung jenis tanaman yang tidak
bernilai ekonomi bagi petani. Di Sumatera dan Kalimantan, agroforest
masih mampu menawarkan pemecahan masalah pelestarian tanaman hutan alam
dan sekaligus dapat diterima pula dari sudut ekonomi (Michon dan de
Foresta (1995). Adanya perubahan sosial ekonomi dapat mempengaruhi sifat
dan susunan kebun, sehingga dikhawatirkan banyak spesies yang terancam
kepunahan. Pada gilirannya sumber daya tersebut akan punah dan usaha
penyelamatannya belum terbayangkan. Apakah seluruh sumber daya genetik
yang ada dalam agroforest dapat disimpan dalam lahan-lahan khusus atau
bank benih?
7. Upaya-upaya keberhasilan perlindungan alam
Untuk meningkatkan
keberhasilan perlindungan terhadap sumber daya alam, maka petani harus
dilibatkan pada setiap usaha pelestarian alam, misalnya dengan
memberikan pengakuan terhadap agroforest yang sudah ada dan melaksanakan
budidaya agroforest di pinggiran kawasan taman-taman nasional. Upaya
melestarikan alam harus sekaligus dapat memenuhi kebutuhan penduduk
setempat. Gagasan ini bukan khayalan, karena secara tradisional telah
dirintis oleh petani agroforest. Pada akhirnya agroforest di daerah
tropis merupakan lahan berharga bagi eksplorasi genetik dan etnobotani.
Pengetahuan petani pengelola agroforest seyogyanya tidak lagi diremehkan
oleh para pengelola hutan.
Kelemahan dan Tantangan Agroforest
1. Kelemahan
Kesulitan visual
Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing)
menjadikan bentang lahan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan
agroforest dalam peta-peta resmi diklasifikasikan sebagai hutan
sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena itu biasanya disatukan
ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan
hutan.
Dalam kenyataannya di
lapangan, seringkali agroforest sukar dibedakan dari “hutan rakyat”,
walaupun intensitas pemeliharaan yang dilakukan pada agroforest
nampaknya lebih nyata daripada pemeliharaan hutan rakyat.
Kesulitan mengukur produktivitas
Ahli ekonomi pertanian
terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman
yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap
nilai pepohonan dan tanaman non-komersial (apalagi nilai yang sifatnya
sulit terukur/intangible, seperti konservasi dan jasa
lingkungan lainnya). Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang
yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan
herbal/semak.
Rimbawan terbiasa
dengan memperlakukan pohon dalam satuan tegakan sedangkan dalam
agroforestri diperlukan penanganan pohon secara individual. Keahlian
memperlakukan pohon secara indivual adalah kelebihan seorang
agroforester yang tidak dimiliki oleh rimbawan. Sebagai contoh keahlian
menebang sebuah pohon di antara pohon-pohon lainnya tanpa banyak
merusak tetangganya adalah salah satu ciri dari sistem silvikultur
agroforestri yang berbeda dengan sistem silvikultur kehutanan
tradisional.
Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian Adanya
penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan masalah
yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan
adanya interaksi antar tanaman (lihat Bahan Ajaran 4 oleh Suprayogo
dkk). Tidak sedikit petani yang masih beranggapan, bahwa menanam pohon
pada lahan usaha mereka akan mengurangi produktivitas panen
pertaniannya. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pemahaman para
penyuluh lapangan pertanian akan fungsi pohon dalam agroforestri, baik
yang berkaitan dengan total dan keberlanjutan produksi lahan.
2. Ancaman Keberlanjutan (dikutip dari de Foresta et al., 2000)
Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan
Besarnya jenis dan
ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya cenderung
diabaikan. Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah sangat
terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana
menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda
kemalasan petani. Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab
dengan pola pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit
untuk mengakui bahwa agroforest adalah sistem usaha tani yang produktif.
Salah satu kesulitan
bagi seorang rimbawan dalam mengelola sistem agroforest di lahan hutan
adalah lebih rumitnya metode yang dipakai dalam penaksiran hasil
daripada pekerjaan rutinnya yang relatif lebih sederhana. Di samping
itu, rimbawan tidak terbiasa untuk bekerja /berinteraksi langsung dengan
masyarakat dalam semangat kemitraan, partisipatif, dan paradigma yang
berbeda.
Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)
Banyak kalangan
memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan pertanian
primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal,
agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi
yang terus menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan
sosial ekonomi, dan perkembangan pasar. Sistem agroforest yang ada saat
ini merupakan karya modern dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi,
uji coba berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan strategi agroforestri
baru.
Orang sering
membenturkan antara teori “ilmiah” modern dengan pengetahuan tradisional
yang sudah teruji secara lokal yang dianggap kuno. Bekerja dalam
agroforestri orang akan mendapat kesempatan yang tanpa batas untuk
melakukan pendalaman ulang (refining) teori umumnya, yang pada
hakekatnya merupakan hasil generalisasi ilmiah dengan pengetahuan
tradisional yang dijumpainya di lapangan. Bila sampai pada kesimpulan,
mereka masih membenturkan kedua pengetahuan itu berarti mereka sendiri
belum arif dan sebagai ilmuwan boleh dikatakan “masih mentah”.
Kepadatan penduduk
Pengembangan agroforest
membutuhkan ketersediaan luasan lahan, karenanya agroforest sulit
berkembang di daerah-daerah yang sangat padat penduduknya. Ada
kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan konversi lahan
agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dalam
jangka pendek.
Penguasaan lahan
Luas agroforest di
Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi termasuk ke
dalam salah satu kategori penggunaan lahan. Hampir semua petani
agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan
mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan
hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan
proyek pembangunan besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini
berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistem pengelolaan yang
sekarang sudah mereka bangun.
Ketiadaan data akurat
Kecuali untuk
agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya serius
untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest
yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Akibatnya, belum
ada upaya untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest
tersebut, seperti yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur
(cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan Tanaman Industri
(HTI).
Egosektoral
Pengembangan
agroforestri menuntut adanya kerjasama yang baik antara kehutanan dan
pertanian (dalam arti luas). Akan tetapi, khususnya di Indonesia,
terjadi pembagian administrasi yang sangat jelas antara sektor pertanian
dan kehutanan. Meskipun dari sisi pengetahuan dan semangat untuk
mengembangkan agroforestri di masing-masing sektor sangat besar,
kesulitan sering terjadi pada taraf implementasinya (mulai dari
perencanaan hingga pelaksanaannya di lapangan). Hal tersebut karena
kesulitan melaksanakan koordinasi antar berbagai pihak yang mempunyai
kepentingan yang berbeda, yang terkait dengan kebijakan pembagian
kewenangan dan tanggung jawab teknis dan finansial. Padahal di sisi
lain, untuk membentuk agroforestri menjadi sektor dan memiliki
departemen sendiri sangat tidak dimungkinkan. Kondisi ini mengakibatkan
pengembangan agroforestri hingga saat ini lebih banyak berhasil dalam
konteks penelitian dan uji-coba pada skala yang terbatas. Keberhasilan
itupun juga belum optimal, karena tidak adanya dukungan kebijakan yang
diperlukan, tidak terkecuali pada fase pasca panen dan pemasaran dari
keseluruhan produk yang dihasilkan.
source : link