Lahan Gambut terbakar di areal PT Ruas Utama Jaya, Rokan Hilir. Foto: Made Ali
Salah satu surga penyimpanan karbon dunia kini semakin menyusut seiring dengan hancurnya lahan gambut di kawasan tropis di Indonesia akibat konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan industri kertas. Hilangnya cadangan karbon, membuat lahan gambut Indonesia kini menjadi salah satu sumber utama emisi karbon dunia.
Salah satu bencana terbesar, kebakaran hutan tropis di Sumatera yang
terjadi bulan Juni 2013 silam menghanguskan tak kurang dari 140.000
hektar hutan hanya dalam waktu sepekan.
Sebagian besar titik api berasal dari lahan gambut, yang tengah
diubah menjadi perkebunan kelapa sawit atau perkebunan akasia untuk
industri kertas. Membakar hutan, masih menjadi pilihan termurah untuk
membuka lahan dalam jumlah yang masif.
Problema kebakaran hutan ini hingga kini masih menjadi masalah yang
belum terselesaikan dalam upaya perlindungan lahan dan hutan gambut di
Indonesia, dan pentingnya tindakan yang sesegera mungkin untuk mengatasi
racun akibat kebakaran, serta pemerintahan yang lemah yang
mengakibatkan habisnya salah satu surga karbon dunia.
Erik Olbrei, seorang pakar yang tengah mengambil Program Doktoral di
Australian National University membeberkan kondisi lahan gambut yang
kini bak bom waktu yang tinggal menunggu saat meledaknya dalam kolom
opini yang dimuat di situs theconversation.com.
Apa Itu Lahan Gambut?
Lahan gambut Indonesia adalah hutan kering dataran rendah yang dekat
dengan kawasan pesisir. Dibawah tanah hutan ini tersimpan jutaan ton
karbon akibat akumulasi pembusukan vegetasi selama ribuan tahun. Wilayah
dengan kondisi agak berawa ini akibat pembusukan yang tidak sempurna
bisa mencapai kedalaman hingga 10 meter atau lebih selama ribuan tahun
berlalu.
Lahan gambut bagi Indonesia memiliki nilai yang sangat penting karena
mampu menyimpan karbon 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan hutan
hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral, dan 90% diantaranya
disimpan di dalam tanah. Lahan gambut bisa melepaskan karbon selama
bertahun-tahun jika pepohonan di atasnya ditebang, dan mengakibatkan
perubahan tatanan tanah gambut atau jika dibakar.
Indonesia saat ini memiliki kawasan lahan gambut tropis terluas di
dunia dengan 22 juta hektar yang tersebar di Kalimantan, Papua -yang
memiliki sepertiga lahan gambut di Indonesia- dan Sumatera.
Nilai Penting Lahan Gambut Indonesia Bagi Dunia
Lahan gambut Indonesia memiliki nilai penting bagi dunia, karena
menyimpan setidaknya 57 miliar ton karbon, membuat kawasan ini sebagai
salah satu kawasan utama penyimpan karbon dunia. Surga karbon lahan
gambut Indonesia, hanya mampu ditandingi oleh hutan hujan di Amazon yang
menyimpan 86 miliar ton karbon.
Peran Penting Karbon Indonesia, salah satunya adalah mencegah emisi
lebih lanjut agar suhu Bumi tidak naik hingga 2 derajat Celcius. Untuk
mencegah kenaikan suhu ini, manusia di Bumi tidak bisa melepas emisi
lebih dari 600 miliar ton karbon dioksida antara saat ini hingga 2050
mendatang. Lahan gambut Indonesia sendiri, jika lepas secara keseluruhan
ke atmosfer, maka akan melepas sepertiga cadangan karbon yang ada.
Lahan Gambut Indonesia, Kini di Ujung Kemusnahan
Indonesia adalah salah satu produsen utama untuk komoditi kayu,
kertas dan industri kelapa sawit dunia sejak tahun 1970-an. Akibat
ekspansi sektor bisnis kehutanan ini, deforestasi secara masif terus
terjadi dan Indonesia kehilangan lebih dari setengah tutupan lahan
gambutnya. Hanya sekitar 10 juta hektar lahan gambut yang tersisa di
tahun 2010. Hanya di Papua yang masih tersisa lahan gambut yang
kondisinya masih cukup baik.
Kondisi ini masih terus berlangsung. Setiap tahun Sumatera kehilangan
5% hutan dataran rendahnya; hal serupa terjadi di Kalimantan. Papua
akan menjadi korban berikutnya. Dengan angka penabangan hutan yang
meningkat, pabrik pengolahan bubur kertas sudah direncanakan dan lahan
dalam jumlah yang masif yang masuk kawasan konsesi, kini tengah
dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan.
Kelanjutan dari degradasi hutan adalah pertanda lain munculnya
masalah di masa mendatang. Di lokasi-lokasi hutan gambut yang sudah
ditebang, terfragmentasi atau dikeringkan kini berubah dari sumberdaya
yang tidak mudah terbakar menjadi sumber titik api.
Sebuah kajian terhadap lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan di
lahan gambut seluas 10 juta hektar ditemukan bahwa sebagian besar lahan
gambut ini sudah terdegradasi. Kurang dari 4% yang masih tertutup hutan
rawa gambut dan hanya sekitar 11% yang tertutup hutan yang relatif baik.
Sisanya adalah sumber titik api dan sudah diubah menjadi perkebunan,
seperti yang sudah terjadi di Pulau Sumatera.
Perubahan iklim sendiri kini terjadi salah satunya akibat dampak dari
hilangnya hutan gambut. Perubahan iklim menyebabkan musim kering lebih
panjang di Indonesia, menyebabkan titik api yang lebih banyak dan
berbagai bencana alam lainnya. Sepanjang kemunculan El Nino tahun 2006
silam di Indonesia, tak kurang dari 40.000 titik api muncul di lahan
gambut Indonesia.
Lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan kini menuju kehancuran.
Sebuah tanda tanya besar masih tersisa bagi keberadaan lahan gambut di
Papua.
Apa Dampak Emisi Gas Rumah Kaca Bagi Indonesia?
Seiring dengan meningkatnya angka kehilangan karbon ke udara, emisi
gas rumah kaca kini berkisar di angka 1 Gigaton karbon dioksida per
tahun.
Jika lahan gambut Indonesia adalah sebuah negara, maka lahan gambut
Indonesia adalah emiter ketujuh atau kedelapan terbesar di duna. Dalam
beberapa dekade mendatang, hampir seluruh karbon dari lahan gambut di
Sumatera dan Kalimantan bisa menghilang.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, dengan hilangnya setengah lahan
gambut Indonesia, sekitar 100 Gigaton karbon dioksida atau 150 kali
emisi tahunan Australia bisa terlepas ke udara dalam beberapa dekade
mendatang.
Dengan situasi seperti ini, kecil harapan Indonesia untuk bisa menekan emisi sebesar 26% atau 41% di tahun 2020.
Apa yang bisa dilakukan telah bertarung dengan keras untuk mengatasi
masalah deforestasi dan hilangnya lahan gambut. Negeri ini telah
meluncurkan kampanye besar untuk menekan pembalakan liar. Juga telah
membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang sempat bersitegang dengan
Kepolisian Negara RI untuk menuntaskan berbagai kasus korupsi yang
melibatkan aparat kepolisian, dan dikenal dengan kasus Cicak Vs Buaya.
Indonesia telah mencoba untuk menegakkan hukum dengan melarang
pembukaan perkebunan di lahan gambut yang dalam, membatasi penerbitan
konsesi perkebunan dan mencegah kebakaran di lahan gambut. Indonesia
juga telah melakukan moratorium penebangan dengan dukungan kuat dari
Norwegia melalui proyek REDD (Reducing Emission from Deforestation and
Forest Degradation), serta menerbitkan peraturan untuk melindungi hutan
yang tersisa.
Namun dengan maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, upaya ini hanya menunjukan kemajuan yang sangat sedikit.
Solusi yang ditawarkan sudah diketahui dan sudah disebarkan secara
luas. Konversi lahan menjadi perkebunan harus dihentikan, namun hal ini
bukan berarti industri kelapa sawit harus diakhiri. Hal ini artinya
konsesi yang sudah ada di lahan gambut harus dipindahkan ke lahan yang
sudah terdegradasi di wilayah lainnya.
Penegakan hukum untuk melindungi lahan gambut dan pelarangan
pembakaran lahan gambut harus dilakukan secara tegas, termasuk
melindungi lahan gambut yang tersisa di Papua agar tidak menyusul
kondisi yang terjadi Kalimantan dan Sumatera. Namun tak satupun hal ini
terjadi, pemahaman yang lebih global tetag pentingnya lahan gambut
Indonesia diperlukan untuk memberikan tekanan kepada pembuat kebijakan
di level nasional dan internasional menjadi sebuah tindakan nyata.
Untuk menikmati tulisan asli Erik Olbrei tentang lahan gambut Indonesia, silakan klik di: http://theconversation.com/indonesia-sets-a-carbon-time-bomb-17216
Catatan editor:
beberapa detil dalam artikel ini telah diperbaiki dengan masukan dari
Erik Olbrei, pakar perubahan iklim dan deforestasi dari Australian
National University.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar