Pintu masuk ke Cagar Alam Tangkoko Batu Putih, sekaligus Posko Penanggulangan Kebakaran Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Foto: Sapariah Saturi
terletak di Kotamadya Bitung, Sulawesi Utara (Sulut). Jalan berliku. Menanjak. Ia harus melewati beberapa kawasan hutan. Udara masih sangat segar. Nama tempat ini adalah Cagar Alam Tangkoko.
Dari Kota Manado, berkendara mobil memerlukan sekitar satu jam untuk
sampai ke daerah ini. Cagar Alam Tangkoko ada di Dua Saudara dan Batu
Putih. Bersama beberapa rekan, awal Juli 2013, saya berkesempatan
mengunjungi Batu Putih.
Kawasan ini memiliki banyak keragaman hayati. Ada bermacam flora, seperti, beringin (Ficus spp), aras (Duabanga moluccana), nantu (Palaquium obtusifolium), edelweis (Anaphalis javanicum), kantong semar (Nephentes gynamphora). Ia juga ‘rumah’ monyet hitam Sulawesi atau yaki (Macaca nigra). Ada juga rusa (Cervus timorensis), musang coklat (Macrogalidia musschenbroeki), tarsius (Tarsius spectrum), maleo (Macrocephalon maleo), rangkong (Rhyticeros cassidix), kus-kus (Ailurops ursinus), dan elang laut (Haliaeetus leucogaster).
Bagi yang baru pertama kali datang di Kota Bitung dan ingin ke
Tangkoko, harus banyak bertanya kepada penduduk jika tak ingin tersesat.
Sebab, petunjuk kawasan cagar alam ini minim dan dalam perjalanan
banyak persimpangan bercabang.
Penunjuk jalan ke cagar alam ini hanya ditulis pada sebuah kertas
yang dipaku pada sebuah pohon. Kertas sudah luntur terkena air. Tak
heran, jika banyak tersesat menuju cagar alam ini.
Cagar Alam Batu Putih, banyak menghadapi masalah. Dengan luas 3.196
hektar, personil yang menjaga kawasan ini hanya tiga orang. Tak heran,
banyak perambahan dan perburuan liar di sini.
“Petugas hanya tiga orang. Meski patroli rutin dua kali dalam
sebulan, tetap kecolongan,” kata Richard Tinangor, petugas loket di
Cagar Alam Batu Putih, awal Juli 2013.
Menyiasati kekurangan orang ini, mereka meminta bantuan beberapa
orang warga desa. Warga ada yang ikut berjaga-jaga sekaligus menjadi guide jika ada pengunjung.
Cagar alam ini, tak hanya dikenal tarsius-nya, maskot andalan saat
ini yaki. Yaki memiliki keunikan khas. Kepala hitam berjambul, bulu di
sekujur tubuh hitam. Moncong lebih menonjol dan kulit di sekitar penis
berwarna merah. Untuk betina, sangat mencolok karena pantat berwarna
merah menyala.
Yaki banyak tersebar di hutan primer dan hutan lindung di Sulut.
Namun, paling banyak ditemui saat ini di Cagar Alam Tangkoko. Sayangnya,
populasi yaki makin menurun setiap tahunn. Ancaman utama perburuan
untuk dikonsumsi oleh sebagian masyarakat di Minahasa. “Warga desa
sekitar sini sudah tahu kalau yaki dilindungi. Jadi, kalau ada yaki
keluar kawasan mereka lapor. Lalu, kita datang menggiring kembali ke
cagar alam.”
Menurut dia, yaki relatif sering ke pemukiman warga. Dia menduga
untuk mencari makanan karena sumber makana di hutan berkurang. Karena
kehidupan sangat terancam, status yaki sangat kritis. Namun, yaki tak
menjadi prioritas konservasi.
Antje Engelheardt, peneliti dari Macaca Nigra Project yang berbasis
di Tangkoko, mengatakan, populasi macaca nigra di habitat asli hanya
5.000 ekor, tersebar di Sulut. Sekitar 2.000 di Cagar Alam Tangkoko.
Di seluruh dunia, macaca ada 23 spesies. Tujuh spesies berada di
Indonesia, yakni di Sulawesi. Khusus macaca nigra, hanya di Sulut.
Antje menjelaskan, habitat hidup yaki di hutan primer dan hutan
sekunder. Namun, ia lebih suka di hutan primer. Yaki memakan daun dan
ular, sebagian besar makanan mereka buah-buahan, erau dan tikus. “Yaki
spesies paling toleran dibandingkan macaca lain. Apalagi yaki menyukai
hubungan sosial.”
Pada musim reproduksi, kata Antje, betina lebih sering hamil pada
Juli-Desember dan musim melahirkan paling tinggi di Maret-April. Apabila
curah hujan tinggi, lebih sering melahirkan. Jika curah hujan kurang,
yaki sedikit melahirkan. Setelah diteliti karena banyak makanan pada
musim hujan.
Dari survei Macaca Nigra Project di Tangkoko, yaki paling banyak
ditemukan di dekat Puncak Tangkoko. Berdasarkan penelitian, faktor
sedikit banyak yaki di wilayah ini ternyata, banyak pohon tinggi.
Dari hasil laporan workshop konservasi Macaca Nigra di Manado April
2013, terungkap, ancaman Cagar Alam Tangkoko adalah pengambilan hasil
hutan berlebihan, penebangan, pertanian dan konservasi lahan. Juga
penegakan hukum kurang efektif, dan kurangnya kesadaran masyarakat.
Sedangkan ancaman yaki adalah penegakan hukum kurang efektif, minim
pengelolaan tanah, kurangnya pengembangan proyek yang peka terhadap
lingkungan dan berkelanjutan. Pengakuan nilai yaki secara lokal,
nasional, dan internasional, serta kurangnya kapasitas dan sumber daya
untuk implementasi.
0 komentar:
Posting Komentar