Banda Aceh, - Laju kerusakan hutan di Aceh dalam sekitar empat tahun terakhir meningkat dibandingkan pada masa sebelumnya, yaitu dari 20.100 hektar menjadi 23.124,41 hektar per tahun. Peningkatan laju kerusakan ini umumnya disebabkan maraknya pemberian izin alih fungsi hutan untuk pertambangan dan perkebunan monokultur, terutama sawit.
Demikian temuan Wahana Lingkungan Hidup indonesia (Walhi Aceh) terkait deforestasi hutan Aceh 2006-2010 yang disampaikan pada Sabtu (31/12).
Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar mengungkapkan, alih fungsi lahan secara besar-besaran menjadi potret buram pengelolaan hutan di Aceh dalam empat tahun terakhir. Kondisi ini ironis dengan kebijakan moratorium pembalakan hutan Aceh yang dicanangkan sejak tahun 2007.
Hingga tahun 2002, izin pengelolaan hutan oleh swasta kurang dari 10 izin. Namun, empat tahun terakhir, untuk izin pertambangan saja ada 120 izin yang diberikan pemerintah daerah kepada pihak swasta dengan total luas alih fungsi 750.000 hektar. Belum lagi izin perkebunan yang jumlahnya mencapai 237 dengan luas mencapai 351.232,82 hektar dalam wujud hak guna usaha.
Kawasan yang seharusnya jadi penyangga kawasan sekitarnya, seperti lahan mangrove dan gambut, juga dialihfungsikan untuk perkebunan, terutama sawit. Akibatnya, kondisi beberapa rawa di Aceh kini kritis, seperti rawa gambut Tripa dan Singkil.
Zulfikar menilai penguasaan ruang di Aceh tidak proporsional. Dari luas Aceh yang mencapai 5.736.500 hektar, 2.525.366,82 hektar atau 44,12 persen dikuasai pemodal swasta. Dari luasan itu, 351.232,82 hektar (6,12 persen) berupa hak guna usaha, 750.000 hektar (13,07 persen) berupa izin usaha pertambangan, 520.184 hektar (9,07 persen) berupa hak pengelolaan hutan, 153.950 hektar (2,79 persen) berupa hutan tanaman industri, dan 750.000 hektar (13,07 persen) berupa konsesi karbon hutan.
Tidak sebanding
Ironisnya, penguasaan hutan yang begitu besar oleh swasta tak sebanding dengan manfaat yang diperoleh masyarakat dan daerah Aceh. Dari sekitar Rp 800 miliar pendapatan asli daerah Aceh, sektor pertambangan dan perkebunan hanya menyumbang kurang dari 20 persen, lebih kecil dibandingkan dengan sektor pertanian dan perkebunan rakyat, seperti kopi, yang lebih dari 25 persen.
Warga sekitar pertambangan dan perkebunan malah sering menderita karena berkonflik dengan perusahaan pemegang izin pemerintah. Contohnya, konflik warga dengan perusahaan perkebunan di Singkil, penembakan warga sekitar pertambangan di Manggamat, Aceh Selatan, oleh aparat keamanan, dan pemenjaraan sejumlah petani di sekitar Rawa Tripa, Nagan Raya. Kesenjangan ekonomi pun kian lebar antara warga sekitar pertambangan dan perkebunan dengan pemilik modal.
Belum lagi polusi yang dihasilkan perusahaan tambang, seperti kasus kebocoran amonia di pabrik pupuk Iskandar Muda dan merkuri dari pertambangan bijih besi PT Lhoong Setia Mining di Aceh Besar.
Pejabat pengawasan pada Dinas Pertambangan dan Energi Aceh Besar, Nasrullah, mengatakan, tidak mudah mencabut izin pertambangan yang sudah diberikan. Namun, perlu pengawasan ketat lewat pembentukan kelompok kerja pertambangan ramah lingkungan. (HAN)
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar