Catatan Akhir Tahun Kondisi Lingkungan Hidup Dan Sumbera Daya Alam di Kalimantan Tengah Tahun 2011 WALHI Kalimantan Tengah
Kekuasaan Modal Menghancurkan Ekologi, Melanggar Hukum dan Merampas Hak Hidup Rakyat.
Jual murah sumberdaya alam untuk kepentingan politik lokal
Jual murah sumberdaya alam untuk kepentingan politik lokal
Kalimantan Tengah yang memiliki wilayah yang luas dan bentang alam dan tipologi yang khas menjadikana wilayah ini kaya akan keanekaragaman hayati dan flora faunan sebagai wilayah eco-region yang memiliki karekteristik keberagaman ekosistem namun memiliki ketergantungan satu sama lain serta menyatukan ekosistem alam dengan masyarakat sehingga dapat menjamin integritas, resiliensi, dan produktivitas sumber daya alamnya. Kalimantan tengah memiliki 13 DAS yang besar yang merupakan sumber ekologi yang terintergrasi satu dengan yang lainnya, namun akibat aktivitas investasi di wilayah ini telah merubah bentang alam dengan merusak kawasan hutan, danau dan wilayah resapan air digantikan lubang-lubang tambang dan tumbuhan monokultur yang dipraktekan oleh industri yang dektruktif dan massif tersebut.
Kekayaan alam dikalimantan tengah ini justru menjadi bumerang karena wilayah ini dijadikan sumber bahan baku berbasis komoditas untuk di eksploitasi sumberdaya alamnya sejak jaman kolonial belanda. Pengerukan sumberdaya lam semakin massif sejak pemerintahan Suharto dima pada era tahun 70-an pulau kalimantan kalimantan telah di keruk habis terutama kayu log yang berasal dari wilayah hutan dataran rendah hingga hutan hujan tropis di kawansa hulu di pedalaman Kalimantan tengah telah di ekploitasi oleh puluhan perusahaan konglomersai kroni Suharto untuk di ekport keluar negeri namun tidak menghasilkan apapun bagi masyarakat di Kalimantan tengah.
Pergeseran pegerukan sumberdaya alam mulai terjadi pada era tahun 80-an dimulai dengan menipisnya bahan kayu log di kalimantan tengah yang menyisakan hutan sekunder yang terdegradasi yang menjadi surga bagi para spekulan dengan menggunakan izin perkebunan sawit untuk mengambil kayu dengan dalih IPK tanpa membangun kebun dengan serius. Selanjutnya izin Kuasa Pertambangan khusunya batu bara bermunculan di berbagai wilyah terutama di bagian utara kalteng yang di dukung oleh kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewengan kepada pejabat daerah untuk mengobral habis sumberdaya alamnya melaui izin konsensi untuk kepentingan politik dan menbangun kerajaan bersama kroni dan keluarganya. Otonomi daerah yang di harapkan mapu untuk mendistribusika pembangunan justru tidak menghasilkan perubahan apapun bahkan menambah penderitaan bagi masyarakat di kalimantan tengah. Jumlah izin dan luasan meloncak tajam sejak tahun 2004 hingg tahun 2010 dimana penerbitan izin konsensi dan izin rekomendasi ini berkaitan erat dengan momentum pilkada baik di daerah maupun di provinsi Kalimantan tengah, Bahkan akibat kerakusan tersebut terdapat dua wilayah yaitu Kabupaten Barito utara dan kabupaten Kapuas telah mengeluarkan izin melebihi dari luasan wilayah kabupaten tersebut. Lain lagi di Kabupaten Seruyan untuk kepentingan politik dan menumpuk kekayaannya dan keluarganya telah menerbitkan izin untuk kroni-kroninya yang kemudian menjual ke salah satu holding perusahan Malaysia yang kemudain di take offer oleh pihak perusahaan wilmar grup yang merupakan salah satu pemain utama dalam bisnis industri sawait di dunia. Hal ini sudah dilaporkan ke KPK karena unsur-unsur korupsi sudah melekat dalam modus pemberian izin ini dimana dengan kewenagannya sebagai Bupati Seruyan tersebut telah menerbitkan izin untuk kepentingan keluarganya yang tidak memiliki kapasitas untuk berbisnis dan proses perizinan yang di keluarkan tidak prosedural mengakibatkan kerugian Negara yang merupakan unsur utama dalam delik korupsi di sector kehutanan.
Kebijakan mereduksi emisi yang salah sasaran dan moratorium izin yang tidak menghentikan deforestasi
Di tengah kondisi kerusakan lingkungan hidup dan tingkat deforestasi yang tinggi akibat konversi hutan untuk pertambangan dan perkebunan sawit, kalimantan tengah di tujuk oleh presiden SBY pada akhir tahun 2010 sebagai provinsi percontohan yang merupakan bagian dari perjanjian letter of intent (LOI) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah kerajaan Norwegia terkait dengan upaya penurunan gas ruma kaca dari sector deforestasi dan degradasi hutan.
Situasi ini seolah menjadi angin segar untuk menyelamatkan hutan di Indonesia karena pemerintah norwegia akan memberikan dana sebesar 10 miliyar US dan diikuti janji presiden SBY untuk menurunkan angka emis sebesar 26 persen dengan upaya sendiri dan 46 persen dengan bisnis us usual (BAU) bantuan dari pihak lain. Namun sangat di sayangkan upaya hanya menjadi angin segar yang pergi dan hilang begitu saja karena tidak ada langkah kongkrit dari pemerintah Indonesia termasuk di kalimantan tengah untuk menghentikan sumber utama deforestasi yaitu konversi hutan alam dan gambut yang berasal dari aktivitas perkebunan kelapa sawit dan pertambangan serta konsensi HPH/HTI. Secara global mekanisme yang di dorong lebih mengarah pada upaya pengalihan tanggung jawab negara maju yang tergolong pada Negara Annex 1 serta pada prakteknya didominasi upaya makelar karbon untuk memperdagangkan carbon yang berasal dari hutan yang ada di kalimantan tengah dengan mekanisme pasar yang di balut dengan bisnis konservasi yang di jalankan oleh lembaga konservasi international dan para konsultan lintas negara.
Upaya lainnya adalah terbitnya Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang juga merupakan salah satu langkah dalam upaya menurunkan deforestasi dan degadasi hutan. Pada kenyataannnya Inpres ini hanya merupakan “lips service” karena banyak sekali kelemahan yang menyertai kebijakan moratorium ini. Inpres ini dari status hukumnya sangat lemah karena hanya merupakan instruksi presiden yang tidak masuk dalam struktur perundang-undangan di Indonesia sehingga tidak memiliki konswekensi hokum yang tegas dan mengikat. Disisi lain istilah hutan alam primer tidak ada dalam istilah hukum di Indonesai termasuk norwegia sehingga Inpres ini cacat hukum dan juga mengaburkan objek moratorium tersebut. Sedangkan objek moratorium yang ada justru statusnya merupakan hutan lindung dan tamana nasional yang sudah dilindungi melalui kebijakan yang lebih tinggi dari pada Inpres moratorium ini.
Yang paling mengkwatirkan adalah pengecualian dalam Inpres ini dimana perizinan yang sudah di terbitkan dan mendapat persetujuan prinsip dari menteri kehutanan dan onjek vital nasional tidak termasuk dalam kebijakan inpres penundaan ijin sehingga bisa dimanfaatkan untuk mempercepat pengahcuran hutan yang ada luar objek tersebut karena perijinan di Kalimantan tengah pada tahun 2010 sudah mencapai 12, 8 juta hektar yang akan sangat besar berpotensi melakukan konversi hutan yang akan mengakibatkan pelepasan emisi yang lebih besar daripada wilayah-wilayah yang masuk dalam objek moratorium tersebut, sementara didalam objek moratorium yang merupakan hutan primer dan kawasa gambut tersebut sudah terdapat 118 izin perkebunan sawit seluas 1,4 juta hektar dan 28 izin pertambangan seluas 205, 854 hektar dan sisanya merupaka kawasan hutan lindung dan Taman Nansioanal Sebangau dan TN. Tanjung Putting menujukan wilyah yang kan di lindnagi meluai kebijakn ipres di Kalimantan tengah cakupannya sangat kecil.
Kebijakan REDD di Kalteng juga sudah banyak menimbulkan penolakan dari masyarakat adat dan menimbulkan konflik baru. Hal ini disebabkan banyak proyek demonstrasi REDD tanpa melibatkan masyarakat dan partsipasi yang aktif dari masayrakt di sekitarnya. Salah satunya adalah proyek Kalimantan Forest Climate Patnership (KFCP) yang merupakan bentuk kerja sama antara pemerintah Australia dan indonesia dengan komitmen awal sebasar AUD 40 Juta dan aka di tambah AUD 30 Juta sehingga total dana yang di janjikan sebesar AUD 70 Juta. Namun dalam pelaksanaan dilapangan merke hanya bisa melakukan penanaman pengayaan tanaman seluas 50 hektar di desa Mentangai Hulu dan Desa Katunjung. Kawasan yang menjadi proyek KFCP merupakan wilayah eks PLG yang merupakan dosa kebijakan orde baru dan menyisakan konflik dan kerusakan lingkungan dimana KFCP mencoba menjadikan wilayah seluas 120.000 Ha di wilayah Blok E eks PLG sebagai demontrasi activity untuk REDD. Pada kenyataanya wilayah ini tanpa proyek tersebut tidak akan rusak karena banyak inisiatif masyrakat di sekitar kawasan tersebut masih memiliki kearifan tradisional dalam mengelola wilayah tersebut. Yang mengancam justru izin 23 buah perkebunan sawit seluas 360.000 ha yang akan merusak wilayah gambut di kawasa eks PLG tersebut. Proyek justru dikwatirkan menjadi wilayah yang akan menutup akses dan meminggirkan masyarakat dari hutan dan gambut yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Selain itu proyek ini tidak dilakukan melalui prinsip FPIC (free, prior, inform, consent) yang merupakan standar utama untuk melindungi masyarakat dan melakukan konsultasi dan persetujuan tanpa paksaan terhadap proyek tersebut. Akibatnya konflik di tingkat masyarakat mulai muncul karena pendekatan ekonomi dan janji akan mendapatkan keuntungan finansial merupakan metode penaklukan yang dilakukan oleh pelaksana proyek yang d sponsori oleh lembaga konservasi international yang memiliki jejak buruk di kawasan ini. Disisi lain kebijakan volunteri market sudah bermunculan di kalimantan tengah dengan bentuk izin IUPHK- Restorasi Ekosistem yang di motori oleh perusahaan PT. Rimba Makmur Utama di Katingan dan PT. Rimba Raya Conservation di Seruyan yang di sponsori oleh Gazprom Rusia (Shell rusia)[1] yang merupakan perusahaan multi nasioanal yang bergerak di bidang energy yang merupakan salah satu biang perusak lingkungan akibat eksploitasi energy yang mereka lakukan diberbagai belahan dunia mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pelangggan HAM akan menguasai wilayah gambut dan hutan yang masih tersisa di Kalimantan Tengah.
Okupasi kawasan hutan secara ilegal yang merugikan negara namun tidak pernah tersentuh hukum
Masalah utama yang sudah menjadi rahasia umum adalah prilaku korupsi dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pejabat daerah tanpa ada upaya penegakan hokum oleh aparatur hukum. Carut marutnya RTRWP kalteng adalah salah satu upaya pelemahan instrumen hukum yang coba di terapkan oleh pegusaha dan pejabat daerah dalam memanfaatkan dualisme pengunaan kawasan di kalimantan tengah melalui perdebatan dasar hukum antara Perda RTRWP Nomor 8 Tahun 2003 dengan TGHK tahun 1982. Pelanggaran hukum yang dilakukan seolah-olah menjadi sebuah keterlanjuran dan hanya kesalahan administrasi yang dilakukan oleh pejabat daerah. Padahal itu merupakan metode untuk melemahkan instrumen hukum dimana perusahaan mendapatkan keuntungan dengan terus mengkonversi hutan dan menduduki kawasan hutan secara illegal tanpa izin pelapasan kawasan hutan untuk perkebunan dan pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan. Selain itu pelanggaran yang dilakukan yang merugikan negara adalah tidak membayar pajak atas penggunaan tanah (HGU) dan menghilangakan potensi pendapatan Negara dari tegakan kayu, dan pajak PSDH/ DR yang sangat besar, belum lagi nilai kerugian ekologis dan biaya upaya pemulihan lingkungan akibat dari prilaku kotor perusahaan tersebut.
Dari seluruh proses perizinan dikalimatan tengah banyak sekali pelanggaran terhadap UU Kehutanan No 41 Tentang Kehutanan Tahun 1999 dimana perizinan tersebut banyak berada di kawasan hutan secara illegal karena belum memenuhi prosedural perizinan yang berlaku. Pelanggaran perizinan untuk perkebunan besar sawit (PBS) dari 352 izin hanya terdapat 68 Izin PBS yang sudah memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari mentri kehutanan. Sementara untuk pertambangan dari 630 izin KP, 15 izin PKP2B dan 5 izin KK hanya 178 izin yang di nyatakan clear and clean oleh kementrian ESDM[2]. Sementara perizinan dalam kawasan hutan terdapat 35 perusahaan yang sudah secara legal dimana status perizinannya terdiri dari 11 unit izin yang sudah mendapatkan surat persetujuan pengunaan kawasan hutan dari Dirjen Badan Planologi Kehutanan dan 14 Unit surat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan dari kementrian kehutanan dan 14 unit yang sudah mendapatkan surat keputusan pinjam pakai kawasan hutan dari mentri kehutanan.[3]
Temuan Pokja dari kementrian kehutanan dan satgas mafia hukum terdapat 9 perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan lindung di kalimantan tengah dan 54 kasus untuk perusahaan perkebunan seluas 623.001 hektar yang telah aktif membuka kebun di kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan yang tersebar di 10 kabupaten di kalimanta tengah.
Namun disayangkan temuan ini tidak pernah ditindaklanjuti dengan upaya penyidikan dan menyeret para pejabat daerah serta perusahaan ke pengadilan. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum sebagai pelaksana dan penjaga undang-undang sudah tidak mampu lagi menjalankan mandatnya untuk menertibkan pelaggaran oleh para investor justru terindikasi hanya dijadikan alat negosiasi politik untuk mendapatkan keuntungan dari situasi yang terjadi.
Dari segi kerugian negara akibat dari pelanggaran kawasan hutan yang tidak procedural tersebut terdapat beberapa temuan yang sudah diungkapkan ke publik antara lain adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap tujuh perusahaan swasta nasional di Kalimantan Tengah diduga telah merugikan negara sebesar Rp 111,3 miliar dan US$ 453 ribu. Kerugian ini ditimbulkan dari dana reboisasi dan iuran hasil hutan[4]. Sementara temuan Kementrian Kehutanan menyebutkan terdapat 282 perusahaan kebun dengan luas 3,8 juta hektare dan 629 perusahaan tambang dengan luas 3,5 juta hektar dengan kerugian Negara sebesar Rp. 158,5 Triliun [5].
Kerusakan lingkungan dan bencana ekologi semakin terpuruk atas praktek kotor korporasi dan lemahnya penegakan hokum.
Prilaku investasi yang tidak memiliki sensifitas atas keberlangsungan lingkungan mengakibatkan ancaman serius bagi wilayah ekologi genting yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan, merupakan wilayah resapan air yang berfungsi hidrologis, penahan air, penyedia unsur hara, rumah bagi keragaman hayati, dan keseimbangan suhu juga merupakan penjamin sumber pangan, air bersih, maupun energi bagi masyarakat secara berkelanjutan.
Setelah tahun 2010 dimana kawasan ekologi penting yang terancam oleh eksploitasi sumberdaya alam seperti kawasan danau sembuluh yang merupakan wilayah tata air di kawasan DAS Seruyan dan sekitarnya dan tempat bermukim ribuan penduduk dari 7 desa yang mengandalkan penghidupan dari danau tersebut yang telah dikelilingi oleh sawit hingga ke pinggir-pinggir danau dan terancam limbah pabrik akibat pembangunan pabrik di dekat danau. Sementara di kawasan eks PLG yang merupakan wilayah koservasi dan rehabilitasi gambut yang hancur oleh pembukaan proyek PLG saat ini terancam oleh 23 izin perkebunan sawit dan 10 izin konsensi pertambangan. Di wilayah kotawaringin timur kawasan perlindungan seperti bukit santuai, santiung dan santilik telah di gunduli untuk perkebunan sawit, sementara sebagian wilayah timur Taman Nasional Tanjung Putting sudah dicaplok dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit milik PT.KUCC. Di Barito Selatan wilayah pemukiman dan pemakaman suku Dayak Bawo yang memiliki karakteristik budaya yang unik saat ini sudah terancam oleh pertambangan dan HPH yang mengusur ruang-ruang kelola dan wilayah sakral suku Dayak Bawo. Di wilayah Murung Raya yang merupakan kawasan resapan air bagi jutaan penduduk yang hidup di sepanjang DAS Barito telah di berikan izin konsensi ke perusaahan multi nasional asal Australia yaitu BHP. Biliton yang memiliki catatan sejarah kelam pengelolaan lingkungan di wilayah pertambangnya di seluruh dunia.
Sepanjang tahun 2010 hingga tahun 2011 banyak pengelolaan pabrik yang tidak sesuai dengan UKL / UPL juga menjadi bencana bagi ekosistem air dan masyarakat seperti pencemaran PT. Agro Indomas yang di temukan langsung membuang IPAL nya ke sungai Rungau dan Rambania, PT. Bumi Hutan Lestari yang mencemari sungai Bumban, PT. Mustika Sembuluh yang masih memiliki persoalaan pencemaran di sungai sampit yang masih ditemukan kebocoran pada pengeloalaan IPAL nya yang meluber kembali dan mencamari suengai sampit di pengujungtahun 2011. Di kabupaten Kotawaringin timur PT. Swadaya Sapta Putra yang mengancam penduduk Desa Padas dan Desa Bajarau di wilayah kecamatan Parenggean, meluapnya kolam limbah penampungan milik perusahaan Indo Muro Kencana pada akhir bulan desember 2010 yang mencemari sungai Barito mengakibatkan banyak ikan yang mati merupakan contoh pengelolaan lingkungan dan manajemen pematauaan yang tidak berkelanjutan. Pada bulan november 2011 PT. Kalimantan Sawit Kusuma (KSK) mengakui adanya pencemaran limbah dari pabrik yang membuat ribuan ikan mati di daerah bantaran Sungai Mapam seperti, Desa Balai Riam, Jihing, dan Air Dua Di Kabupeten Sukamara. Di desa buhut jaya kecamatan kapus tengah terjadi pencemara limbah batu bara oleh perusahaan tambang PT . Talen Orbit Prima (TOP).
Dalam penilaian program pengeloalan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kementrian lingkungan hidup di kalimantan tengah terdapat 8 perusahaan yang bermasalah dari 23 perusahaan yang di nilai. Ada 7 perusahaan yang terancam dicabut izinnya atau Drop Out (DO) lantaran mendapat rapor merah yaitu PT. Katingan Indah Utama, PT. Sinar Alam Permai, PT. Sarana Prima Multiniaga, PT. Tunas Agro Subur Kencana, PT Sapta Karya Damai (Asam Jawa Group), PT. Indomuro Kencana dan PT. Marunda Graha Mineral. Dan satu perusahaan mendapatkan raport hitam, yakni PT Bangkit Giat Usaha Mandiri menujukan bahwa mekanisme pengeloalan lingkungan yang sangat jelek di kalimantan tengah.
Selain itu banyaknya pencemran yang dilakukan oleh jutaan hektar tambang yang tidak melakukan reklamasi dan revegetasi bekas lubang tambang telah menyisakan ribuan kubik air yang terendam bercampur limbah kimia yang sewaktu-waktu mengancam sumber air bersih dan penduduk di sepanjang DAS Barito yang mengandalkan sungai sebagai urat nadi kehidupanya.
Akibat dari pengelolaan lingkungan hidup yang tidak berkelanjutan tersebut kalimantan tengah menjadi wilayah rentan bencana ekologi seperti banjir dan kebakaran hutan akibat deforestasi hutan dan degradasi fungsi lingkungan. Di tahun 2010 bencana banjir merendam hampir di semua wilayah di Kalimantan tengah dan merendam rumah ribuan penduduk terutama wilayah potensi banjir seperti di Sungai Barito, di mana wilayah-wilayah yang menjadi lokasi yang parah adalah kota Muara Teweh, Malungai, Buntok, Mengakatip, bahkan kota Puruk Cahu yang merupakan wilayah hulu dan bertipologi dataran tinggi tidak terlepas dari terjangan banjir.
Di sungai Kapuas wilayah yang terkena banjir meliputi wilayah kecamatan Kapuas hulu dan Kapuas tengah. Di sungai Kahayan wilayah yang menjadi wilayah banjir adalah Bahaur, Pulang pisau, Palangkaraya khusunya wilayah Mendawai, Bereng bengkel dan Tundai. Kota Kuala Kurun ibukota Kabupaten Gunung Mas yang sebelumnya jarang terendam banjir tidak terlepas dari bencana banjir terutama di dua Kecamatan yaitu Tewah dan Kecamatan Kurun merupakan wilayah terparah terendam banjir. Wilayah sungai Mentaya yang paling parah mengalami kebanjiran seperti wilayah Kecamatan Perenggean, Cempaga hulu, Kuala Kuayan hingga ke Antang Kalang dan sekitarnya yang merupakan wilayah hulu sungai Mentaya. Lokasi yang terparah adalah desa Rubung Buyung, Desa Pundu, Kuala Kuayan. DAS Katingan seperti Tumbang Samba, Kasongan dan Mendawai. Di DAS Seruyan sedikitnya 4 desa terendam banjir termasuk di Kuala Pembuang ibukota Kabupaten Seruyan tidak terlepas dari rendaman banjir.
Apabila melihat ekskalasi dan lamanya bencana banjir yang terjadi di berbagai lokasi di kalimantan tengah sepanjang tahun 2010 ini menunjukan korelasi yang sangat erat dengan wilayah tekananan eksploitasi sumber daya alamnya yang sangat tinggi terutama DAS Barito karena banyaknya eksploitasi tambang, HPH dan konversi hutan untuk perkebunan sawit. DAS Kahayan akibat penambangan emas di wilayah hulu, konversi hutan untuk sawit dan HTI, DAS Katingan, DAS Mentaya dan DAS Seruyan merupakan wilayah yang menjadi wilayah kosentrasi perizinan perkebunan sawit dan tambang.
Seluruh tekanan eksploitasi yang menghancurkan hutan, fungsi hidrologi dan pengelolaan lingkungan yang menggunakan bahan kimia ini akan berpengaruh pada wilayah resapan air dan kualitas air yang mengairi seluruh DAS di kalimantan tengah. Selain bencana banjir hal ini mengancam penduduk kalimantan tengah untuk memperoleh kualitas air bersih karena tingkat kekeruhan dan kualitasa air yang terpangararuh oleh rusaknya hidrologi akibat deforestasi hutan serta limbah domestik dan kimia dari pabrik pengolahan CPO, jutaan kubik racun pestisida dan pupuk, mercuri (HG) dan limbah ikutan yang kesemuanya akhirnya akan berunjung dan mengairi sungai di kalimantan tengah dan mengancam jutaan penduduk yang bermukim di sepanjang DAS dan mengandalkan sungai sebagai sumber penghidupan mereka.
Pada sepanjang tahun 2011 kebakaran hutan menjadi salah satu santapan bencana ekologi yang terjadi di kalimantan tengah dimana titik api mencapai hingga 589 titik api pada periode juni-september 2011 yang tersebar di wilayah kalimantan tengah terutama kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, Kota Palangkaraya, Kotawaringin timur dan Seruyan yang merupakan wilayah gambut yang terdegadasi dan kantong-kantong sebaran izin perkebunan sawit. Dari pemantauan melalui stasiun BMG kalteng, Tingkat Indeks standar pencemaran udara (ISPU) sudah tidak sehat dengan batas ISPU antara 101-199 terjadi di bulan September 2011. Hal ini juga meningkatkan kasus penderita penyakit Infeksi Saluaran Pernapasan Akut (ISPA) di kalteng terutama di 3 Kabupaten Kotim, Kobar dan Kapuas. Selain itu akibat kebakaran hutan ini juga mengakibatkan kabut asap yang sempat menggangu penerbangan terutama jadwal penerbangan pada pagi hari di bandara Tjilik Riwut Palangkaraya.
Rakyat kecil menjadi korban kriminalisasi untuk memperjuangkan hak kontitusi atas tanah yang di rampas oleh perusahaan
Ditengah ketidakadilan distribusi sumberdaya alam dan agraria yang terjadi di kalimantan tengah, pihak yang paling di rugikan dan menjadi korban adalah masyarakat yang mencoba memperjuangkan hak-hak kontitusinya untuk mempertahan hak tanah yang di rampas oleh investasi. Masyarakat yang berjuang dan melakukan upaya perlawanan justru di jadikan korban dan di kriminalisasi oleh aparat kepolisian diman sepanjang tahun 2011 ada 8 orang masyarakat yang di vonis bersalah oleh pengadilan padahal mereka sedang memperjuangkan hak atas tanahnya.
Hal ini menunjukan bahwa aparat penegak hukum di mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sudah menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan (setali tiga uang ) dalam menjerat masyarakat yang sedang melakukan perjuangannya. Pasca di cabutnya pasal 21 dan 47 UU Perkebunan oleh mahkamah konstitusi pada bulan september tahun 2011 bukan berarti bahwa masyarakat langsung bisa terhindar dari upaya kriminalisasi. Aparat kepolisian dengan cerdiknya masih menggunakan pasal KUHP untuk menjerat masyarakat. Salah satunya adalah kasus kriminalisasi aparat desa biru maju yang sedang memperjuangkan tanah transmigrasi yang di rampas oleh PT. Buana Artha Sejahtera ( Sinarmas Grup ) yang justru belum memiliki legalitas secara hokum atas perizinannya karena belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan dan belum ada izin HGU. Setelah kepala desa Purnomo dijebloskan kepenjara dan di vonis 8 bulan penjara, giliran sekertaris desanya Bapak Mulyani Handoyo di tangkap secara tidak prosedural. Pada awalnya Bapak Mulyani Handoyo langsung ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal 47 ayat (1) Jo pasal 21 UU Perkebunan tanpa ada bukti pendukung yang kuat oleh pihak polres kotawaringin timur. Dalam perkembangannya pasca di cabutnya pasal tersebut dengan mudahnya pihak kepolisian mangganti pasal yang bekerja sama dengan pihak kejaksaan dengan pasal 362 KUHP tentang pidana pencurian tana melui proses penyidkan yang bru namun memaksakan mengunakan satu berita acara pemeriksaan (BAP) yang sama. Hal ini menunjukan bahwa kasus kriminalisasi ini merupakan pesanan dari pihak perusahaan dalam rangka menundukan perlawanan masyarakat biru maju yang sedang meperjungkan hak atas tanahnya. Padahal sebelumnya masyarakat Biru Maju sudah melaporkan perampasan tanah yang di lakukan oleh perusahaan PT. BAS kepada pihak kepolisan namun tidak ada tindakan hukum yang dilakukan oleh parat kepolisian.
Melihat kondisi ini perjuangan atas tanah masih akan mejadi jalan terjal untuk meperoleh keadilan diaman buruh konsolidasi yang kuat dan terus menerus oleh masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan bebas dari ancaman perampasan tanah di Kalimantan tengah. Sementara kebijakan Pergub 13 Tahun 2009 tentang tanah adat masih jauh dari harapan untuk melindungi tanah-tanah adat dari ancaman perampasan tanah oleh invetasi sawit dan pertambangan karena struktur adat yang ada sudah sangat rapuh dan dihancurkan oleh kekuasaan sejak jaman orde baru dan penetrasi modal yang mengajarkan tentang pragmatisme dan individualistik di tingkat masyarakat adat. Solidaritas dan kolektvitas yang merupakan roh komunal masyarakat adat sudah sulit di konsolidasikan karena kepentingan politik dan elit masyarakat yang telah mencerai beraikan persatuan budaya dan hukum adat. Hal yang paling hakiki bagi masyarakat adat tentang wilayah dan tanah adatnya yang sudah di kaburkan dan di kangkangi oleh struktur organisasi dan kewilayahan adminstrasi negara sehingga kedaulatan atas tanah tidak akan pernah terwujud tanpa ada perjuangan yang datang dari masyarakat adat untuk memastikan pengakuan yang tulus atas wilayah adat sebagai sumber penghidupannnya.
Prediksi kerusakan lingkungan tinggi dan konflik yang tinggi atas praktek “keruk habis” dan konversi hutan serta kebijakan PP Nomor 32 tahun 2011 tentang MP3EI.
Kerusakan lingkungan dan bencana ekologi akan masih terus mengancam dikalimantan tengah karena izin konsensi yang ada telah mengusai 78 % dari total wilyah kalteng diluar taman nasioanal dan hutan linduang yang tidak bisa di akses oleh masayarakat. Izin konsesni tersebut merupakan ancaman seriuas bagi kebrlajutan lingkungan dikalimanta tengah karena model keruk habis sumberdaya alam meluai metode konversi hutan seperti perkebunan sawit yang monokultur dan membutuhkan lahan yang luas akan menghancurkan bentang alam dan kubah gambut di kalimantan tengah begitu pun juga praktek pertambangan dengan metode tambang terbuka (open pit ) yang terkosentarsi di wilayah tagkapan air di daerah hulu pulau Kalimantan yang merupakan kawasan ekologi penting dan sumber penghidupan dan mata air bagi beberap DAS di Kalimantan tengah. Prediksi kedepan bencana ekoalogi dan keruskan lingkunagn seperati kebakaran hutan dan gambut, bencana banjir dan pencemaran lingkungan oleh limbah-limbah pabrik terutama wilayah danau dan sungai-sungai dikalimantan tengah.
Sementara konflik social akan terus menerus terjadi karena pengusaan lahan yang di berikan izin oleh pejabat daerah yang sudah menguasai hampir setiap wilayah kelola masyarakat di kalimantan tengah. Konfik lahan akan meningkat seiring dengan pembukaan lahan oleh perkebunan dan pertambangan yang merampas tanah-tanah masyarakat lokal / adat. Perda tentang masyarakat adat belum bisa menjamin atas perlindungan hak-hak adat karena lemanhnya infrastuktur organisasi dan kapsiats pengurus adat dan semakin tergerusnya budaya komunal akaibat penetrasi modal yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat adat di kalimantan tengah. Disisi lain UU pengadaan tanah yang merupakan pesanan investasi dan pihak asing menjadi ancaman serius karena tanah adat dan wilayah kelola masyarakat akan terancam digusur dan di rampas atas nama investasi dan kepentingan umum.
Salah satu kebijakan yang paling berbahaya adalah kebijakan Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembagunan Ekonomi Indonesai (MP3EI) dimana Kalimantan di jadikan koridor ekonomi sebagia pusat Produksi dan pengembangan hasil tambang dan lumbung energi nasional menjadinacaman serius bagi keberlajutan lingkungan dan keruskan ekologi serta permepasan tanah bagi masayrakat di kalimant tenrmasuk di kalimanta tengah. Dalam kebijakan tersebut kalimantan di gelontorkan dana yang sangat besar senilai 128 triliun untuk membangun infrastuktur jalan, pelabuhan dan rel kereta api yang semuanya bertujuan untuk mempermudah arus angkutan sumberadaya alam dan mempercepat ekploitasi dan pengerukan kekayan alam di Kalimantan. Trend kedepan dimana prediksi cadangan batu bara di kaltim dan kalsel yang akan habis 20-30 tahun tahun kedepan, sehingga pengerukan akan di arahkan ke kalimantan tengah dan Kalimantan barat dimana cekungan melawi yang kaya akan sumberdaya alam dan mineral akan di persiapkan untuk di eksploitasi.
Kondisi ini sudah di persiapkan oleh perusahaan multi nasioanal seperti BHP Biliton yang mengusai 7 konsensi seluas 362.733 ha (PKP2B) di Kabupaten Murung Raya dan PT. Kalimantan Surya Kencana seluas 120.900 ha (Kontrak Karya) di kabupaten gunung mas, katingan dan murung raya yang merupakan anak perusahaan Kalimantan Gold Corporation. Ltd sudah sudah melakukan kongsi dengan Freeeport Mc Moran-Exploration. Ltd yang akan mengusai 75 % saham setelah menginvestasikan US$7 juta.[6] Selain dua raksasa tersebut juga di kabupaten Lamandau ada izin miliki PT. Kalimantan Mineral Eskpolration seluas 290.100 ha yang merupakan anak perusahaan Rio Tinto.Ltd.
Di wilayah Kabupaten kapuas di bekas kawasan eks PLG terdapat persahaan asing yang siap mengeksploitasi wilayah ini untuk energi gas metana batubara (CBM) oleh 3 perusahaan dibawah bendera perushaan muti nasional British Proteleum dari inggris. Perusahaan tersebut antar lain Konsorsium PT Transasia CBB-BP Kapuas I Limited, Konsorsium PT Kapuas CBM Indonesia-BP Kapuas II Limited dan Konsorsium PT Gas Methan Utama-BP Kapuas III Limited. Ketiga konsoroium perushaan ini adalah bagian dari 14 kontrak kerja sama (KKS) baru yang di tandatangai oleh pemerintah Indonesia melalui kementrian ESDM dengan komitmen investasi mencapai US$ 68,95 juta dan bonus tanda tangan USD 16,9 juta. KKS baru itu terdiri dari 9 KKS gas metana batu bara (CBM) dan 5 KKS WK migas[7].
Sebagai upaya kamuflase di sekitar wilayah konsensi tersebut telah di jadikan jualan bisnis konservasi yang dikuasi oleh NGO International yang juga bertujun untuk mangamankan cadangan energi kedepan dengan dalih perlindungan lingkungan dan kawasan lindung yang di bungkus dengan kebijakan green ekonomi.
Kenyataan tersebut mengambarkan bahwa pengerukan sumberdaya alam dan pengusuran ruang sebagai sumber penghidupan rakyat akan semakin massif terjadi kedepan di kalimanta tengah. Kepentingan investasi asing yang didukung oleh kebijakan pemerintah yang sudah terbeli oleh kekuatan modal sehingga tidak bisa lagi dijadikan harapan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dalam pencapaian kesejahteraan sebagai mana mandat undang-undang dasar pasal 33 dimana bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh Negara di dipergunkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat..
Tidak ada cara selain terus bersuara dan melakukan perlawanan atas kebijakan yang tidak ramah lingkungan dan mengancam ruang hidup rakyat dengan terus menerus mengkonslidasikan diri bersama masyarakat adat/ lokal, buruh tani dan kaum miskin kota lainya sebagai bagian terbesar dari populasi di indonesia untuk melawan segelintir orang yang rakus yang telah menguasai dan menghisap tenaga produksi dan merampas tanah-tanah yang ada di kalimantan tengah.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar