Di Kabupaten Aceh Utara hanya ada empat pemegang izin industri kayu yang legal (sah). Sebagian di antaranya sedang mengurus izin Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI).
Namun demikian, mereka belum memiliki izin bahan baku. Selama ini, para pemilik kilang kayu itu memperoleh bahan baku dari kayu rakyat, yang rata-rata berjenis sengon.
Empat pemegang izin indutri itu: CV Wadah Jaya milik Zanzibar di Blang Panyang, UD Wahyu milik H Waled di Kecamatan Syamtalira Bayu, Tiga Lapan milik Saifullah dan UD Mitra Tani di Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara.
Sementara bahan baku itu diperoleh dari hutan rakyat di Kecamatan Sawang, Nisam, Tanah Luas, Cot Girek, Nibong, Murah Mulia, Nisam, Nisam Antara, sebagian Kecamatan Matangkuli, Paya Bakong, Langkahan, dan Tanah Jambo Aye bagian selatan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 170 tahun 2000 tentang aturan fungsi hutan dan perairan di Provinsi Aceh, secara keseluruhan, luas hutan di Kabupaten Aceh Utara mencapai 44.128 hektare yang tersebar di tujuh kecamatan.
Rinciannya, hutan lindung seluas 7.783 ha, hutan produksi 36.232 ha, dan hutan konservasi 112 Ha. Khusus untuk hutan konservasi, saat ini telah dikuasai dan dirambah masyarakat.
Pun demikian, hutan itu masih milik Negara. Tadinya hutan itu merupakan lokasi Pusat Pelatihan Gajah (PPG) yang berada di kawasan Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara.
Menurut Kepala Bidang Kehutanan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Utara, M Ichwan, di Aceh Utara tak seorang pun yang mengantongi izin pemilik bahan baku.
“Pemilik izin industri yang sah hanya empat, sedangkan pemilik izin bahan baku belum ada. Hal itu karena hingga kini belum ada yang memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK),” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (13/12/11) lalu.
Selain itu, hingga kini tak ada izin penebangan kayu di hutan, sehingga para pemilik izin industri yang sah hanya bisa terikat kontrak dengan hutan milik rakyat atau yang lebih dikenal dengan hutan hak.
Terkait sosialisasi Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK), Ichwan menyebutkan, “Kami sudah beberapa kali mencoba mengusulkan sosialisasi SVLK melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Utara, namun sejauh ini belum ada dana.”
Pengolahan kayu menjadi bahan jadi di UD Tanah Merah, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara
Untuk izin pengelolaan sumber daya alam, di Aceh Utara juga tidak ada. “Pada era tahun 1980-an, di Kecamatan Cot Girek, Aceh Utara terdapat PT Aceh Swakawana Prima, yang memiliki izin HTI (Hutan Taman Industri). Namun belakangan, izin HTI itu dicabut oleh Menteri Kehutanan RI karena tidak beroperasi (vakum) saat konflik dulu. Setelah itu, hingga kini tidak ada lagi pemilik Izn HTI di Aceh Utara,” ungkap Ichwan.
Mengenai masih maraknya pembalakan liar, meski moratorium logging telah diberlakukan, Ichwan mengatakan, selama kebutuhan kayu masih ada, maka aksi pembalakan liar pun akan selalu ada.
“Moratorium logging atau jeda tebang yang diberlakukan itu memang memperkecil angka pembalakan liar, namun bukan berarti hilang,” katanya.
Disinggung tentang tugas Polisi Hutan (Polhut), Ichwan menjelaskan, Polhut bertugas melindungi dan mengawasi kawasan hutan dari aksi penjarahan illegal. Namun demikian, di Aceh Utara, hutan itu merupakan kawasan yang rawan.
Pada Selasa 9 Maret 2010 lalu, Komandan Pos Polhut Paya Bakong dan sembilan anggotanya disekap sekelompok orang di Simpang Baki, Desa Peuereupok, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara.
Ketika itu, diduga kuat para pelaku berkaitan dengan kepemilikan kayu hasil illegal logging yang ditahan pihak Polhut, mengingat para korban baru dilepaskan setelah pelaku mengambil kembali kayu sitaan tersebut.
“Masih banyak aksi lainnya yang dilakukan oknum pelaku penjarahan hutan terhadap petugas Polhut. Maka dari itu, kita tetap melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Namun lebih berhati-hati,” tandas Ichwan.[]
Hak Guna Usaha (HGU) di Aceh Utara
Untuk suksesnya pembangunan dalam menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pememrintah Aceh Utara memberikan Hak Guna Usaha kepada perusahaan/pemilik usaha.
Selama ini ada beberapa perusahaan yang melakukan aktivitasnya di berbagai kecamatan di Aceh Utara dengan luas lahan yang telah diberikan Hak guna Usaha 554.537.132 ha.
Beriku daftar perusahaan perkebunan di Kabupaten Aceh Utara menurut data dari Walhi Aceh:
1.PT Perkebunan Nusantara I Cot Girek (7.506,3576) yang ditanami kelapa sawit dan kakao.
2.PT Satya Agung di Murah Mulia (11.831,8763) ditanami kelapa sawit, karet, kakao, dengan luas ± 8.000 ha.
3.PT Narata Indah (1.637,6000) ditanami kelapa sawit.
4.PT Bapco di Matang Kuli (1.124,7000) ditanami kelapa sawit.
5.PT Blang Kolam AP di Kuta Makmur (652.6700) ditanami kelapa sawit.
6.PT Blang Ara Company ((5.151,5093) belum ada tanaman.
7.PT Dunia Perdana (5.000,000) dalam proses tanam kelapa sawit.
8.PT Mandum Payah Tamita (10.000,000) belum ada tanaman.
9.PT Molimas (400,000) belum ada tanaman.
10.PT Matang Kuli (200,000) belum ada tanaman.
11.PT Bukit Nibong Palm (200,000) belum ada tanaman.
12.PT Marindo (200,000) belum ada tanaman.
13.PT Swindo Seminou (1.700,000) dan PT Swindo Seminou/Plasma (700,000) belum ada tanaman.
14. PT Gunci Geubrina (100,000) belum ada tanaman.
15. KUD Pirak Jaya (200,000) belum ada tanaman.
16. PT Isna Praja Buana (3.000,000) belum ada tanaman.
17. Yayasan Raudatul Ullumuddin (200,000) belum ada tanaman.
18. KSU Kawah Sejati (650,000) belum ada tanaman.
19. PT Persada Indah Makmur (174,000) belum ada tanaman.
20. Yayasan Daruna Dakwah (200,000) belum ada tanaman.
21. Yayasan Karya Santri Malikussaleh (200,000) belum ada tanaman.
22. PT Tegu Bersama Persama (3.260,000) belum ada tanaman.
23. Kopkar Irham (600,000).
24. KPN Bina Atakana (200,000) ditanami kelapa sawit.
25. Kopetren Radyah (165,000) ditanami kelapa sawit.
26. Koperasi Industri Bungong Kumbang (200,000) belum ada tanaman
Lawan Pasar Gelap, Terapkan Permenhut
Pembalakan liar berdampak menghacurkan hutan-hutan yang masih tersisa di Aceh. Untuk memerangi hal itu, diperlukan satu upaya sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pihak stakeholder untuk merumuskan kembali satu aturan baku terkait standardisasi tentang kayu ilegal dan legal.
Status kayu dari hutan Aceh yang selama ini kerap ditebang dan diperjual-belikan di pasaran masih menuai polemik dan masalah secara hukum. Hal itu disebabkan, hingga kini Pemerintah belum memiliki satu standardisasi maupun aturan hukum yang jelas mengenai pemisahan antara kayu yang berstatus ilegal dengan legal, terutama kayu-kayu yang berasal dari tanah milik masyarakat dan hutan alam.
Itu juga berkaitan erat dengan kebijakan moratorium logging (jeda tebang) yang dicanangkan Pemerintah Aceh sejak 2007 yang mencakup semua kayu yang berasal dari hutan alam dilarang tebang. Dan jika ada yang menebang secara liar, akan mendapat sanksi hukum. Sementara itu, kayu yang berasal dari hutan rakyat masih sah untuk diperjual-belikan.
Maka dari itu, sangat diperlukan pelaksanaan Peraturan Kementerian Kehutanan (Permenhut) Nomor P38/Menhut-II/2009 tentang standard dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin dan hutan hak. Sehingga Indonesia, khususnya Aceh, terbebas dari citra illegal logging.
Namun fakta di lapangan berpaling dari teori. Buktinya masih sering aparat penegak hukum penemuan kayu rakyat yang seharusnya telah legal (sah), meski ujung-unjungnya dilepas kembali. Bahkan di lapangan juga terlihat oknum aparat penegak hukum yang terlibat dalam pembalakan liar tersebut.
Di sisi lain, masyarakat sekitar hutan juga ikut membantu dan ‘tutup mata’, dengan dalih untuk mengasapi dapur keluarga, tentunya dari upah mengangkut kayu hasil jarahan itu.
Sementara itu, dalam sebuah pertemuan di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh, Wakil Gubernur Muhammmad Nazar pernah menyatakan, selama pasar gelap (black market) masih ada, akan sulit memberantas illegal logging di Aceh. Maka dari itu, Pemerintah Aceh mengeluarkan kebijakan moratorium logging selama 10 tahun.
Bahkan, sedikitnya 11 izin hak penguasaan hutan (HPH) milik pengusaha nasional juga dinonaktifkan. Sekitar dua ribu penjaga hutan—disebut jagawana—direkrut untuk mengisi pos-pos pengamanan hutan.
Tapi karena terbatasnya ketersediaan anggaran, pelaksanaan pengawasan ini kerap tersedat. Diperparah lagi dengan masih adanya pasar gelap yang siap menampung kayu hasil jarahan.
Untuk meminimalisir illegal logging dan mengurangi terjadinya pasar gelap, perlu diterapkan sertifikasi hijau. Mekanisme itu lebih dikenal dengan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK). Serifikasi hijau perlu diterapkan di Aceh, khususnya Aceh Utara.
SVLK merupakan upaya melakukan verifikasi kembali segala bentuk administrasi yang diberikan pemerintah mulai dari pemberian izin pengelolaan hutan, baik izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Kemasyarakatn (HKm) hingga Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang diperoleh dari perusahaan pengelola hutan di Indonesia.
Selain itu, perusahaan industri primer dan skunder juga harus mendapat perlakuan yang sama, serta harus memiliki syarat lengkap, sehingga tidak akan ada lagi penebangan hutan secara ilegal, maupun ekspor hasil hutan ilegal ke negara lain.
Dengan adanya penerapan SVLK yang benar, maka dapat dipastikan segala bentuk illegal logging dan penjualan kayu secara liar akan terminimalisir dan secara perlahan akan hilang. Para cukong dan penampung kayu juga akan berfikir berulangkali menerima kayu liar, yang nantinya akan menjadi masalah bagi mereka sendiri.
Di sisi lain, harga jual kayu ke luar daerah juga akan semakin tinggi karena telah legal (sah). Tidak seperti saat ini, kayu illegal itu kebanyakan dijual dengan harga relatif murah karena resiko tertangkap pihak berwajib.
Dengan demikian, penebangan hutan juga akan terkendali. Itu artinya, hutan tidak akan gundul dan sejumlah bencana alam juga akan teratasi, seperti banjir, erosi, dan serangan gajah liar yang turun mengusik perkebunan warga karena habitatnya telah dihancurkan tangan-tangan jahil.[]
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar