PENEBANGAN hutan merupakan salah satu masalah utama lingkungan yang kita hadapi dewasa ini. Hamparan hutan luas yang berisi beragam hewan liar dan tumbuhan serta kebudayaan manusa dengan cepat berubah menjadi lahan kritis yang luas. Masalah ini menjadi persoalan yang berkepanjangan antara para pembela pelestarian hutan dan mereka yang melakukan eksploitasi hutan.
Hutan selalu bermanfaat buat kelangsungan hidup manusia. Keberadaannya memberikan manfaat ekonomi, sosial, lingkungan, dan ekowisata. Namun, kerusakannya akan mendatangkan berbagai macam malapetaka, seperti erosi, longsor, banjir, polusi udara, kekeringan, pemanasan global, wabah penyakit, dan kelaparan, yang semua itu dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan ancaman bagi kelangsungan hidup seluruh umat manusia di dunia.
Hutan adalah ciptaan Allah SWT yang harus disyukuri. Cara menyukurinya bukan hanya dengan mengucapkan "Alhamdulillah", tapi juga dengan cara memanfaatkannya dengan bijak serta tetap menjaga kelestariannya.
Sejak zaman dahulu kala, hutan sudah ada. Penelitian MacKinnon (1997) menyimpulkan bahwa pada zaman dahulu kala, hampir seluruh wilayah Indonesia tertutup hutan. Tempat-tempat yang tidak dapat mendukung pertumbuhan pohon hanyalah lereng-lereng gunung yang sangat curam dan jalur-jalur pesisir yang sempit. Pada tahun 1950, Indonesia diperkirakan memiliki 145 juta hektare hutan primer. Namun saat ini, menurut Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan, luas hutan di Indonesia terus berkurang, hingga kurang dari 50 persen total hutan yang ada.
Sebagai contoh adalah kondisi hutan di Pulau Jawa yang semakin memprihatinkan dan mengancam kehidupan masyarakat dan kelestarian satwa endemik Jawa. Berdasarkan data laju deforestasi yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan periode 2003-2006, diketahui bahwa laju deforestasi terbesar terjadi di Sumatra, yaitu sebesar 268 ribu hektare/tahun atau 22,8 persen dari total angka deforestasi rata-rata di Indonesia sebesar 1,17 juta hektare/tagun. Kemudian diikuti Pulau Kalimantan sebesar 239 ribu hektare/tahun (20,4 persen), Pulau Sulawesi sebesar 114,7 ribu hektare/tahun (9,8 persen), dan Pulau Jawa sebesar 2,5 ribu hektare/tahun (0,2 persen).
Jika dihitung secara konservatif dengan laju deforestasi yang tetap, maka saat ini untuk Pulau Jawa pengurangan jumlah hutan yang terjadi selama 2007-2010 adalah seluas 10 ribu hektare. Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi masyarakat dan satwa langka yang ada di Pulau Jawa. Lebih jauh lagi, berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan tersebut, diketahui bahwa penyumbang terbesar terjadinya deforestasi untuk wilayah Pulau Jawa adalah Jawa Timur, yaitu sebesar 438,1 hektare/tahun. INi terjadi pada hutan primer 25,1 hektare/tahun atau 5,7 persen, pada hutan sekunder 43,6 hektare/tahun atau 9,9 persen dan pada hutan lainnya 369,5 hektare/tahun atau 84,3 persen.
Meskipun laju deforestasi di Pulau Jawa paling kecil, namun hutan yang tersisa di Pulau Jawa sangatlah vital. Pulau Jawa sebagai pulau dengan penduduk terpadat adalah sebuah pulau yang nyaris kurang terperhatikan kondisi hutannya. Padahal, hutan yang ada di Pulau Jawa juga menyimpan begitu banyak satwa endemik yang langka yang akan terancam punah jika hutan di Jawa tidak dijaga kelestariannya. Sebut saja elang Jawa, owa jawa, lutung Jawa, kukang, surili, badak Jawa, dan masih banyak lagi yang lain.
Pembukaan Hutan Menyebabkan Kerusakan
Sampai saat ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Beberapa faktor penyebab tingginya laju deforestasi di Indonesia adalah karena illegal logging, konversi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan, serta pembukaan hutan untuk kebutuhan pertambangan.
Pembukaan hutan di Jawa misalnya, berimpilikasi secara langsung terhadap peningkatan perburuan satwa liar di hutan-hutan Jawa, khususnya Jawa Timur. Pemantauan menunjukan bahwa perburuan satwa liar masih terjadi secara rutin di kawasan-kawasan konservasi alam, seperti Taman Hutan Raya (Tahura) R Soerjo dan Taman Nasional Merubetiri (Sumber: ProFauna). Pengawasan yang lemah dan ditunjang kemudahan akses untuk menuju kawasan konservasi tersebut mendorong perburuan satwa dan juga perusakan hutan tersebut terjadi hingga kini.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi laju deforestasi. Akan tetapi hal ini tidak sejalan dengan kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah dalam sektor kehutanan. Salah satunya adalah janji Presiden untuk mengurangi buangan emisi sebesar 26 per tahun hingga tahun 2020 dalam pidato pada konverensi iklim di Copenhagen. Akan tetapi apa yang diucapkan oleh presiden ini sangat kontradiktif dengan kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang masih mencadangkan 17,91 juta hektare hutan untuk dikonversi menjadi areal pembangunan diluar sektor kehutanan. Paradoks yang bertentangan dengan pidato tersebut juga terlihat dari rencana pemerintah untuk memperluas perkebunan sawit 26,7 juta hektare di 17 provinsi yang juga akan mengkonversi hutan alam.
Secara nyata implikasi dari deforestasi yang terjadi ini telah berdampak pada berkurangnya daya dukung lingkungan yang berakibat pada terjadinya berbagai macam bencana yang terjadi hampir diseluruh bagian di negeri ini. Kelompok masyarakat yang merasakan secara langsung dari terjadinya deforestasi ini adalah kelompok masyarakat petani. Petani yang secara umum mengandalkan sistematika bertani yang berlandaskan pada musim, saat ini menjadi kehilangan arah dalam menentukan musim tanam. Pengaruh deforestasi yang berdampak pada perubahan iklim telah sangat nyata dirasakan oleh para petani.
Laju deforestasi juga telah menimbulkan kelangkaan dan kelimpahan hampir secara bersamaan. Pada musim penghujan misalnya, kelimpahan air sangat dirasakan, bahkan menjadi sangat berlebih dan menjadi bencana. Karena daya dukung alam untuk menahan laju air hujan sudah semakin berkurang. Sedangkan ketika musim kering tiba, yang terjadi justru sebaliknya. Karena semakin berkurangnya daya dukung alam untuk menyimpan air, maka yang terjadi adalah kemarau panjang yang telah menyebabkan masyarakat petani harus melakukan ekspansi pekerjaan hanya untuk mempertahankan hidupnya. Fakta ini sangat jelas terjadi karena daya dukung alam (hutan) sebagai penyaring, penahan, penampung hujan, telah berubah fungsi.
Mengurus Hutan perlu Langkah Praktis dan Politis
Pertambahan populasi manusia yang terus meningkat setiap tahun memberikan ancaman yang luar biasa terhadap eksistensi hutan. Alhasil, hutan pun berubah menjadi lahan pertanian, penggembalaan ternak, perkebunan, pertambangan, akses jalan, perumahan, pertokoan, pabrik-pabrik/industri, atau bahkah hanya menjadi lahan kritis yang saat ini luasnya mencapai 30 juta hektare.
Sekitar 95 persen gangguan hutan disebabkan oleh manusia. Manusia secara sengaja melakukan pembakaran hutan, penebangan pohon yang berlebihan, atau mengkorversi lahan hutan menjadi non hutan. Sedangkan 5 persen lainnya berasal dari alam, seperti gunung meletus, angin kencang, atau hama penyakit. Karena itu, sesungguhnya manusialah yang paling bertanggung jawab atas kerusakan hutan.
Lantas, apakah pertumbuhan populasi dunia yang terus meningkat akan menjadi kabar buruk? Jangan khawatir, karena kita bukan pengikut teori Malthus karena Tuhan sudah menciptakan semuanya secara proporsional. Sebagaimana firman Allah swt, "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." (Al Qamar, 54 : 49).
Hutan akan tetap lestari walaupun tidak disentuh oleh manusia sama sekali. Bahkan, ketika terjadi bencana alam sekalipun, hutan dapat me-recovery dirinya dengan proses suksesi. Jadi, sebenarnya hutan tidak perlu diurus karena dia bisa mengurus dirinya sendiri.
Lalu, jika hutan bisa mengurus dirinya sendiri, lantas siapa sebenarnya yang perlu diurus? Jelas sekali bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh manusia. Jadi, manusianyalah yang harus diurus dulu, bagaimana pemangku kebijakan, masyarakat dan seluruh pihak terkait dapat bekerja dengan baik dalam mengelola hutan.
Melihat kondisi hutan di Pulau Jawa yang memprihatinkan itu perlu diambil langkah-langkah praktis dan politis oleh pemerintah. Langkah praktis adalah dengan penghijauan berbasis masyarakat dan penempatkan pos-pos pengamanan di semua titik keluar-masuknya orang di kawasan konservasi alam. Sedangkan langkah politis perlu diambil dengan mengeluarkan sebuah kebijakan yang benar-benar "pro hutan" dengan melarang semua bentuk alih fungsi hutan alami. Pelarangan ini bukan hanya di atas kertas saja, namun dengan penegakan hukum bagi pelanggarnya.
Berdasarkan data yang ada di atas dapat dicermati bahwa permasalahan kehutanan bukan hanya monopoli pemerintah, namun harus melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat. Salah satu cara adalah dengan melakukan penghijauan yang berbasis masyarakat. Masyarakat harus terlibat langsung dan mendapatkan keuntungan dari program penghijauan tersebut. Salah satunya adalah dengan pemilihan bibit pohon yang hanya bisa dipanen buahnya saja namun kayunya tetap lestari.
Perlu sekali ketegasan pemerintah mengambil tindakan praktis dan politis untuk mengamankan hutan dan satwa liar yang tersisa sedikit di Pulau Jawa. Perlu sekali ada pos-pos pengaman di jalur-jalur keluar-masuknya kawasan konservasi alam. Selama ini menunjukan bahwa tidak ada banyak pos pengamanan di jalur-jalur keluar-masuknya orang di kawasan konservasi alam. Orang dengan begitu mudah untuk keluar-masuk kawasan konservasi alam, termasuk untuk berburu satwa liar yang dilindungi.
Surjono Hadi Sutjahjo, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB
source : link
0 komentar:
Posting Komentar